Kemewahan ketika Menyerah

19 2 3
                                    

2 hari terakhir—Rabu dan Kamis—sebelum turnamen dimulai: babak 16 besar hari Jumat, 8 besar Sabtu, dan final pada hari Minggu.

Hari Rabu

"Rik, bolos latihan aja," kata Elok saat menelepon Riki.

"Nggak bisa, Mbak. Saya harus latihan biar dapet 15 poin."

Ada jeda setelah jawaban Riki itu. Dari sisi Elok, ia sedang berpikir untuk membujuk. Sedangkan dari Riki, ia bingung karena sambungan telepon belum putus, tetapi tidak ada suara dari lawan bicaranya. 

Tak lama kemudian, Elok mengatakan, "Mau tahu teknik dapetin 15 poin nggak?"

"Ha?"

"Ah bukan. Teknik biar musuhnya K.O."

"Teknik rahasia?"

"Gua tunggu di kafe depan gedung 10 menit lagi."

Setelah mematikan telepon, Elok bersiap lalu berangkat. Sesampainya di sana, ia memesan minuman sembari duduk menunggu Riki. Akan tetapi, 30 menit berlalu, kedatangannya tidak terlihat. Ia terus memandang pintu masuk kafe agar sigap menempeleng Riki sebab terlambat.

Satu jam berlalu, minuman Elok sudah berujung. Ia mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor Riki. Namun, seketika ia bangun karena panggilannya tidak tersambung. Lantas, Elok membayar dan keluar menuju gedung pelatihan bulutangkis.

Di depan pintu gedung, ia menghentikan langkahnya. Terdengar percakapan dua orang yang suaranya amat familier. Itu adalah Riki dan Bapak Pelatih dari balik dinding pembatas lapangan utama dan ruang transit.

"Bapak ragu Perstevi bisa menang kali ini."

"Kenapa, Pak? Bukannya jejak prestasi Mbak Perstevi selalu bagus?"

"Sepertinya dia sedang mencoba menyembuhkan dirinya sendiri. Dia memang dominan selalu bagus dan menang layaknya kamu tahu. Tapi, pernah ada kejadian yang sangat memukul impiannya. Otoritas keluarga Perstevi sempat menjadikannya pecundang saat di lapangan. Bapak lihat, dirinya masih belum sepenuhnya menerima. Jadi dia cuma punya satu pilihan. Balas dendam."

"Separah itu, Pak?" tanya Riki risau.

"Dia hampir hilang arah di turnamen itu. Kamu tahu turnamen ini 3 tahun sekali, kan? Tentu di 3 tahun itu, Perstevi ikut laga yang tingkatnya di bawah untuk sekaligus melatih strategi demi balas dendam di turnamen ini. Tapi, performanya drastis memburuk setelah dipaksa mengulang kuliah yang sengaja ia hancurkan setahun sebelumnya. Walaupun baru berjalan 6 bulan, pengaruhnya nggak main-main."

"Kenapa Mbak Perstevi nggak nyerah saja, Pak? Saya lihat, nggak ada ruginya. Terjamin oleh keluarganya."

"Kayaknya nggak ada nyerah yang gratis, Rik," jawab Elok yang tiba-tiba memilih muncul.

***

Photo by Jan Koetsier

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Photo by Jan Koetsier

Thank you || https://www.pexels.com/photo/window-with-broken-glass-2724373/

Toko Buku di Desa Sangaleya 7 (SELESAI)Where stories live. Discover now