BAB 21 : Three Painful Minutes

6.4K 572 136
                                    

Happy Reading.





"Bodoh!" Salsha tertawa sumbang, menertawakan dirinya, kebodohan, dan kenaifannya.

Gadis itu tak menyangka jika selama ini yang dia rasakan hanya berjalan sebelah kaki. Ia kira semua kenangan yang mereka buat itu murni karena perasaan cinta. Nyatanya?

"Hah! Dasar naif," ejeknya pada dirinya sendiri.

Harusnya dia sadar jika respon Iqbaal yang kelewat datar sewaktu menerima cintanya setahun yang lalu itu karena rasa balas budi, rasa kasihan, dan tak enak hati. Bullshit! Salsha jauh lebih memilih Iqbaal menolaknya jika dibanding harus menjalani semuanya dengan pura-pura.

Tanpa sadar air matanya kembali menetes. Ingatan manis di masa lalu itu menguar begitu saja, terputar bak kaset rusak yang tak bisa ia kendalikan. Salsha benci ketika dirinya menjadi lemah seperti ini. Dia benci ketika ada orang yang bisa mengendalikan air matanya. Dia... tapi dia terluka—begitu dalam.

Salsha menatap pigora minimalis yang kacanya telah pecah itu. Apakah senyuman Iqbaal di dalam foto itu juga karena terpaksa? Semakin ia amati semakin sesak rasa di dadanya. Sebegitu dahsyatnya kah pengaruh Iqbaal padanya?

Salsha berdiri, berjalan menuju rak gantung yang masih utuh. Satu-satunya objek yang masih belum ia lemparkan. Ada banyak benda-benda di rak tingkat bewarna putih itu. Salah satunya adalah lima tangkai mawar mengering yang Iqbaal berikan sewaktu gadis itu sakit. Namun yang menjadi perhatiannya bukan itu, melainkan sebuah jam weker. Salsha meraih jam weker berbentuk boneka lotso itu.

Dia tersenyum memandang benda mati pemberian Iqbaal yang menurutnya paling istimewa dibanding beberapa hal yang pernah laki-laki itu beri padanya.

Salsha masih ingat, ketika ia menyuruh laki-laki itu memberinya hadiah karena tiga hari datang tepat waktu ke sekolah dan yeah, Iqbaal memberinya sebuah jam weker yang saat itu membuatnya cengo.

"Yaa biar kamu gak telat lagi, setel alarmnya sebelum tidur."

Salsha tersenyum mengingat semuanya, kemudian logika menguasai.

Apa jam ini juga karena perasaan kasihan?

***

Jeha menghela napasnya kasar. Dia tahu semuanya akan sulit mengingat bagaimana sikap Salsha. Ia tahu, bagaimana betul jalan pikiran gadis yang sudah enam tahun bersahabat dengannya itu. Jeha menendang kaleng minumannya ke semak-semak. Masa bodoh dengan aturan membuang sampah pada tempatnya.

"Gini nih yang ngebuat Jakarta sering banjir. Generasi mudanya aja ngebuang sampah sembarangan." Laki-laki yang entah sejak kapan berada di sana itu bertindak sok benar.

Bastian memungut kaleng kosong yang sebelumnya dilempar Jeha untuk ia buang ke tempat sampah.

Jeha mendengus, "Jangan ganggu gue! Gue lagi gak dalam mood nahan tinjuan," katanya ketus.

"Yaudah tinju aja guenya kalo emang itu yang bisa bikin lo puas."

Untuk kesekian kalinya, Jeha mendengus sinis. Ia ingin mengumpat dan mengusir Bastian namun hatinya seolah tak mengijinkan. Akhirnya, Jeha hanya diam saja ketika laki-laki itu duduk di sampingnya. 

Bastian mencuri pandang ke arah gadis yang hanya diam di sebelahnya. Inginnya bertanya namun dirinya lebih memilih diam dan mengamati paras manis Jeha.

"Ada masalah ya? Kenapa sih? Cerita coba sama gue, kali aja bisa bantu."

Jeha menoleh mendapati Bastian menunjukkan senyuman tiga jarinya. "Jangan senyum gitu! Ngeri guenya," katanya sambil bergedik.

My Sweetest ExWhere stories live. Discover now