BAB 24 : What's It Wound?

7K 581 100
                                    

Happy Reading.


"Bener apa kata kamu, ternyata perasaan ini cuma kagum semata." Laki-laki yang menatap lurus ke arah langit mendung itu menyorot sedih. Sapuan angin semilir siang ini membuat rambut legamnya bergerak.

"Aku udah bilang kan Kak, kalo perasaan kakak ke aku itu cuma jenuh semata. Bukan semata karena emang kakak suka sama aku," jawab si gadis yang ada di sampingnya.

Laki-laki yang berada satu tingkat di atasnya itu tersenyum hambar, "Kenapa ya rasanya sakit banget ngeliat dia ketawa sama cowok lain. Rasanya gak rela. Egois gak sih Sha aku kayak gini?"

"Terlepas dari egois atau enggak, kakak punya hak untuk mempertahankan perasaan kakak, mau dia nerima atau enggak setidaknya kita pernah berusaha walau nantinya," Salsha menjeda ucapannya.

Alwan menoleh menghadap ke arah Salsha yang mulai menyendu. "Walau nantinya apa?" tanyanya.

"Walau nantinya kita menyerah akan hal yang udah diperjuangkan," sambung Salsha.

Alwan menepuk pundak Salsha, "Aku yakin, beribu keyakinan kalau Iqbaal akan punya penyesalan yang jauh lebih besar ketimbang aku."

"Perjuangin perasaan kakak semampu kakak. Ini udah waktunya buat Kak Jessi berhenti berjuang dan udah jadi tugas kakak untuk ngegantiin."

"Dan kamu juga harus berhenti untuk berharap sama Iqbaal. Di luar sana banyak cowok baik yang jauh lebih bisa ngehargain perasaan kamu."

Salsha tersenyum tipis. Dia memang akan berhenti tetapi untuk mencari pengganti Iqbaal sekarang? Rasanya tidak. Salsha tak mau masuk ke dalam lubang yang sama, setidaknya ia butuh jeda untuk hatinya.

"Janji sama aku, berhenti buat ngejar dia Salsha. Buat dia sadar kalo kamu berharga untuk didapatkan." Alwan menepuk pundak Salsha yang mana dibalas sebuah anggukan samar.

Salsha ragu, rasanya ia tak mau berharap lebih. Terlampau tak mungkin jika nantinya Iqbaal akan berbalik menyesal karena keputusannya.

***

Bel pulang sekolah baru berbunyi tiga puluh detik yang lalu dan visual Bryan sudah berdiri bagai satpam penjaga pintu kelas Salsha. Laki-laki berkulit putih itu tampak menyenderkan berat tubuhnya pada dinding, sesekali tersenyum menanggapi gadis-gadis yang menyapanya. Salsha memutar mata jengah, padahal dirinya ingin pulang dengan tenang.

"Tuh ditungguin." Jeha menyenggol bahu Salsha.

"Nungguin Steffi kali," elak Salsha.

"Mana ada nungguin gue, orang dia kan bucinnya elo," balas Steffi.

"Yaudah sih, lagian Bryan kan baik juga, kenapa gak coba buka hati buat dia?"

Salsha diam sejenak, gadis yang sibuk memasukkan peralatan tulisnya itu tampak berpikir. Mengapa ia tak mencoba membuka hati? Mengapa ia tak mencoba mencintai Bryan yang jelas memberi ruang untuknya? Karena jawabannya sama, Salsha tak mau lagi ada korban untuk perasaannya. Justru karena Bryan terlampau baik padanya, ia akan merasa berdosa jika harus menyakiti laki-laki itu lagi. Cukup kemarin dia menggunakan Bryan untuk 'acaranya'.

"Ditungguin juga malah ngelamun, main yuk!" Suara serak itu menyapa indra pendengaran Salsha hingga membuyarkan lubang pikirannya.

Salsha berdehem kemudian menoleh ke arah Jeha dan Steffi yang menatapnya dengan pandangan 'udah terima aja'.

"Ya udah sih gak usah pakai sok mikir gitu," Bryan menarik lengan Salsha kemudian tersenyum ke arah Jeha dan Steffi, "kita duluan ya, doain biar lancar hehe," lanjutnya sembari tersenyum.

My Sweetest ExWhere stories live. Discover now