BAB 27 : Another Chance

7.4K 522 110
                                    

Happy Reading.

Jeha dan Steffi mengusap air matanya. Kedua gadis yang sejak tadi tak henti-hentinya merengek itu membuat telinga Salsha berdengung.

"Sha, lo yakin? Masa cuma gara-gara Iqbaal sih lo sampe pergi kayak gini," kata Steffi dengan suara sengaunya. Gadis itu melempar tisunya lagi—dengan asal membuat Salsha harus menahan amarah karna tindakan kurang ajarnya.

"Lo tega ninggalin kita gitu? Plis lah jangan pergi," tambah Jeha.

Salsha mendesah. Gadis itu membuang napasnya kasar kemudian berbalik menatap dua sahabatnya yang sukses mengacaukan tempat tidurnya dengan kumpulan tisu.

"Siapa bilang gue pergi karna Iqbaal? Gue cuma mau susulin papa sama mama. Lagian nih ya, masih ada sosmed. Kita masih bisa video call. Ribet amat sih!" jawab Salsha enteng walau pada nyatanya ia berat akan keputusannya sendiri.

Jeha dan Steffi terdiam. Mereka tahu benar bagaimana hubungan Salsha dan kedua orang tuanya yang terpisah oleh jarak. Kedua orang tua Salsha harus tinggal di Boston untuk mengurus perusahaan serta neneknya yang enggan meninggalkan tanah kelahirannya itu.

"Kalian tenang aja, gue bakal sering-sering hubungin kalian kok. Lagian nih ya, Kak Al juga masih di sini kalo kangen ntar bareng aja sama kakak gue ke sana."

Jeha mencebik, "Lo kira jarak sini Boston udah kayak Jakarta Bandung apa?"

Salsha menyengir, "Ah... Pasti bakal kangen nih sama kalian."

"Ya makanya gak usah ke sana! Udah disini aja entar kita hunting ke Bromo sama Bali," tukas Steffi.

"Seandainya aja bisa semudah itu batalinnya. Oma udah nyuruh gue disana, semua berkas sama keperluan kepindahan juga udah diurus sama Papa, ya kali gitu langsung bisa dibatalin?"

Steffi dan Jeha menurunkan bahu. Kedua gadis itu lesu karna tak bisa menahan Salsha untuk tetap disini.

"Iqbaal tau?"

Salsha yang sedang sibuk dengan ponselnya itu mendongak ketika pertanyaan tersebut dilontarkan untuknya.

Memang harus ya? Lalu jika laki-laki itu apa perdulinya?

"Enggak."

"Lo gak berpikiran untuk pergi ke dia tanpa pamit kan?" tanya Steffi.

Salsha mengangguk, "Gue iya. Sebenernya gue pengen, tapi takut ntar respon yang gue harepin malah gak sesuai kenyataan."

Jeha mengangguk menyetujui, gadis itu beranjak menepuk pundak Salsha. "Janji sama gue kalo lo bakal lupain Iqbaal."

"Susah, Jeh. Dia itu cowok pertama yang udah berhasil ngambil fokus gue, ngerebut semua ruang di hati gue dan rasanya susah untuk cari pengganti dia."

"Lo susah lupain karna setiap kesempatan selalu ketemu dia. Gue yakin, kalo udah di Boston sana lo bakal bisa lupain dia. Gue harap lo bisa bener-bener ngelupain Iqbaal because he's not deserve to you. Lo pantes buat dapet cowok yang jauh lebih lebih lebih dari Iqbaal."

Sayangnya, apa yang diucapkan tak semudah yang diusahakan. Mungkin nanti di suatu hari ketika ia bangun tidur, ia bisa melupakan bagaimana paras Iqbaal tetapi satu hal yang mustahil terjadi adalah dia lupa akan kenangan yang telah Iqbaal beri padanya.

Di balik percakapan kedua gadis itu, Steffi memandang keduanya dengan seksama. Sebuah pikiran terlintas di benaknya. Entah salah atau tidak, ia rasa Iqbaal perlu tahu hal ini—terlepas dari sikap buruknya pada Salsha. Dia yakin, laki-laki itu menyimpan perasaan yang sama dengan Salsha walau hanya setitik sekalipun.

My Sweetest ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang