Bab 2

9.9K 1.1K 16
                                    

Ketika pukul 4 sore tiba, Laura tidak muncul untuk menyambut rombongan koas dan menjawab pertanyaan wartawan. Dia malah duduk di Kafe Ofra, yang lokasinya ada di gedung kantor sebelah rumah sakit, menyeruput teh Darjeeling yang masih mengepul dari cangkirnya. She will get a lot of scolding after this, for sure. Tapi persetan dengan Dokter Arifin, toh dia sama sekali tidak mengangguk atau mengiyakan permintaan atasannya itu. Laura bahkan sengaja mematikan ponselnya supaya tidak bisa dihubungi.

Setiap ada waktu selesai operasi, Laura pasti mampir ke Ofra untuk beristirahat. Kafe ini selalu ramai, ada saja pemandangan dan interaksi yang bisa disaksikan Laura, yang membuatnya betah duduk di sana. Ada eksekutif kantor yang sedang berbisnis sambil minum kopi. Ada mahasiswa yang tengah membuat tugas. Ada sekumpulan murid SMA yang cekikikan tidak jelas. Ada juga beberapa pasang ibu dan anak yang sedang berbagi kue sambil bercengkrama.

"Dokter kok suka sih duduk di Ofra? Di sana kan rame banget."

Suster Gita heran dengan kebiasaan Laura. Tidak suka bicara, tidak mau bekerja diiringi musik, tapi senang mengunjungi kafe yang hiruk pikuk. Bukan Suster Gita saja yang heran dengan Laura yang betah duduk di Ofra, tapi juga rekan-rekan kerja lain yang mengenal kepribadiannya. Tak hanya pelit kata, Laura juga terkenal senang menyendiri dan tidak suka bergerombol. Itu sebabnya Laura senang mengemban tugas jaga malam. Dia tidak keberatan melewati malam yang sepi di rumah sakit dengan staf medis yang minim. Or with ghosts.

Orang-orang di sekitarnya tahu, Laura menjaga jarak dengan mereka. Laura tidak pernah berminat duduk bareng dokter-dokter lain dan makan siang bersama. Laura juga tidak pernah terlihat bercengkrama dengan para perawat yang tengah berjaga. Begitu tertutup dan misteriusnya Laura, tak ada satupun rekannya di rumah sakit yang tahu kehidupan pribadinya, padahal sudah lima tahun Laura mengabdi sebagai dokter bedah di sana.

Yang aneh bagi mereka, ternyata Laura senang berada di antara keramaian orang-orang asing yang tak menggubris kehadirannya, seperti suasana yang ditawarkan Ofra. Hiruk pikuk mereka membuat Laura mampu mengubur perasaan-perasaan yang tidak ingin diselaminya dan menghalau berbagai memori yang tidak ingin diingatnya.

Ketika Laura menyalakan ponselnya kembali satu jam kemudian, pesan masuk bertubi-tubi pesan tanpa henti. Dokter Arifin, Suster Gita, Suster Boni, dan Bu Magdala, semua sibuk mencarinya. Tidak satupun dibalas Laura. Dibaca pun tidak. Di antara pesan yang masuk bertubi-tubi, hanya satu pesan yang kemudian dijawab Laura—dari Aimee.

Aimee adalah sepupu Laura yang tinggal di Bandung. Highly talented, extremely friendly, exquisitely beautiful—you can't hate her, you can just be jealous of her. Ketika Aimee berulang tahun yang ke-20 beberapa hari yang lalu, Laura mengirimkannya buku sketsa yang mahal sebagai hadiah.

Aimee
Ci* Laura, terima kasih banyak buku sketsanya, ya. Udah lama banget aku pingin itu :)

Laura tidak tahu apakah hadiahnya akan berguna untuk Aimee atau setulus apa Aimee mengucapkan terima kasih padanya, jadi dia hanya membalas singkat saja.

Laura
Sama-sama. Semoga berguna, ya.

Aimee
Pasti, Ci. Aku senang banget, terima kasih, ya.
Oh ya, Cici hari Sabtu nanti datang ke Bandung kan?

Beberapa waktu lalu Tante Rena, ibu Aimee, mengundangnya untuk makan malam kecil-kecilan merayakan ulang tahun Aimee. Laura tidak punya agenda apa-apa, namun dia tidak mau pergi ke Bandung. Bukan karena jauh atau malas menyetir, melainkan karena dia tidak ingin bertemu Aimee.

Laura tahu Aimee mengaguminya. Dia bisa merasakan betapa senangnya Aimee jika Laura berada di dekatnya dan mengobrol dengannya. But the thing is, Laura doesn't want to be close to Aimee. Sebab setiap kali Laura bersamanya, dia merasakan perasaan tidak menyenangkan yang selalu membuat dadanya terasa sesak.

Laura
Sori, Aimee. Aku nggak bisa datang, harus jaga malam.

Laura memasukkan ponsel ke saku celananya dan berjalan kembali ke rumah sakit. Dia mengabaikan ponselnya yang kemudian bergetar satu kali. Pasti hanya Aimee yang membalas singkat. Ketika Laura kembali ke ruang kerjanya, dia langsung diserbu Suster Gita yang ternyata menunggunya sejak lama.

"Dokter Laura ke mana?!" pekik Suster Gita. "Saya telepon HPnya mati, saya message pending. Tadi Dokter Arifin dan Bu Magdala nyariin Dokter."

"Saya ke Ofra." Laura menjawab singkat. Dia membuka laptop dan melihat jadwal operasi berikutnya—setengah jam lagi.

"Ya ampun. Dokter Arifin marah besar. Seharusnya Dokter Laura ikut Bu Magdala buat ketemu wartawan, kan? Kenapa Dokter malah pergi?"

"Saya nggak mau." Lagi-lagi Laura menjawab dengan sangat irit.

"Tadi Dokter Arifin ngomel-ngomel, katanya dia udah berkali-kali minta Dokter Laura standby jam 4."

"Saya nggak pernah mengiyakan, jadi salah dia sendiri."

"Untung anaknya Dokter Arifin datang. Dia yang akhirnya maju. Dokter Ergi datangnya juga pas-pasan, ternyata delay pesawatnya nggak separah itu."

"Jadi nggak ada masalah, kan?" Laura membuka berkas pasiennya. "Kenapa harus dibesar-besarkan?"

"Kayaknya sebentar lagi Dokter Laura bakal dipanggil Dokter Arifin. Dia betul-betul marah banget tadi."

"Nggak, tenang aja." Laura menggumam. "Dia udah tua dan pelupa. Paling sekarang juga udah nggak ingat lagi."

Tepat saat itu pintu ruang kerja Laura diketuk. Ketika pintu terbuka, Laura melihat sosok laki-laki yang belum pernah dikenalnya.

"Hai," sapa laki-laki itu. Dia menyunggingkan senyum. Suster Gita menahan diri untuk tidak memekik. Sementara Laura menatap laki-laki itu dengan datar. "Saya Ergi, anaknya Dokter Arifin. Kamu Laura, kan?"

"Ada apa?" tanya Laura, tanpa basa-basi. Sungguh, dia paling kesal jika ada yang memanggil-manggilnya setengah jam sebelum operasi.

"Oh, nggak ada apa-apa. Cuma mau kenalan aja." Ergi mengulurkan tangannya. "Saya dokter bedah baru di sini."

Laura membalas salam Ergi sambil mengangguk.

"Anyway, tadi kamu dicariin Papa, dia bete banget." Ergi tertawa kecil. "Tapi nggak masalah, udah saya urus tanya jawab sama wartawan dan rombongan koas yang baru."

"Oke."

Kening Ergi berkerut. Dia heran dengan sikap Laura yang begitu acuh, tetapi masih berusaha bersikap ramah. "Ngomong-ngomong, kita kan bakal banyak kerja bareng ke depannya, gimana kalau kita makan malam bareng? Saya pengen ngobrol sama kamu."

"Sori, saya ada jadwal operasi setengah jam lagi."

"Setelahnya?"

"Saya harus pulang."

"Oh, oke. What about lunch tomorrow?"

"Saya nggak bisa."

"Breakfast?"

Laura menggeleng.

"Dinner?"

Laura menggeleng lagi.

Ergi terperangah untuk sesaat, lalu mengangguk-angguk. "Okay, I get it. Kamu memang nggak mau pergi makan bareng saya. Iya, kan?"

Laura mengangguk, membuat Ergi terkejut. Orang ini frontal sekali, tanpa basa-basi menolak Ergi begitu saja! Tapi, setidaknya Laura jujur.

"Fine." Ergi tersenyum kecut. Dia memasukkan tangan ke saku celananya dan membalikkan badan. Sesampainya di pintu, Ergi menghentikan langkah. "Are you always this standoffish?"

Laura hendak membuka mulut, namun mengurungkan niatnya. Dia tidak menjawab Ergi. Ergi tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. Dia keluar meninggalkan ruang kerja Laura. Namun, tak sampai sepuluh detik, Ergi membuka pintu itu kembali. "Saya nggak akan nyerah! Lihat aja, suatu hari kamu akan mau pergi makan sama saya."

Blam! Ergi menutup pintu itu lagi. Laura hanya menaikkan alis, kemudian lanjut membaca data pasien di mejanya. Dia tidak sadar dengan ekspresi Suster Gita yang setengah mati menahan gemas akan sikap Laura.

~

*berasal dari kata cici, artinya panggilan untuk kakak perempuan dalam budaya Tionghoa.

SINCERELY (Completed)Where stories live. Discover now