Bab 7

6.5K 886 28
                                    

"Ah, ternyata permafrost baru datang!"

Laura kaget bukan main saat dia membuka pintu mobil dan mendengar suara Ergi di sebelahnya. Bukan pertama kalinya Ergi mencegat Laura di mobilnya, tepat ketika Laura baru saja selesai parkir. Laura menahan diri agar emosinya tidak terpancing. Ergi, dokter yang menurutnya childish ini, masih terus berusaha mengganggu Laura bagaikan anak SD yang menjahili teman sebangkunya.

"Tau nggak kenapa saya manggil kamu permafrost?" celetuk Ergi.

Laura tidak menyahut. Dia mengunci pintu mobilnya.

"Oh, jadi begini bunyi alarm Alfa Romeo. Ini Alfa Romeo Guilia, kan? Keluaran tahun 2016? Boleh nggak, sekali-kali saya coba duduk di dalam? Rasanya kayak apa, sih?"

Laura masih diam seribu bahasa. Dia mempercepat langkahnya menuju elevator. Ergi mengiringi di sebelahnya. Sebetulnya lucu juga kalau dilihat dari sudut pandang orang ketiga. Ergi nampak seperti hewan peliharaan Laura yang sedang mencari-cari perhatian dari tuannya.

"Tau nggak, kenapa saya manggil kamu permafrost?" Ergi mengulang pertanyaannya.

Sumpah, rasanya Laura ingin berteriak "Shut up!" kepada Ergi yang sedari tadi tidak berhenti merecokinya!

"Karena kamu itu persis permafrost, dinginnya everlasting!" Ergi menjawab sendiri pertanyaannya sambil tertawa. Orang gila. "Ngomong-ngomong, sepupumu kemarin ke sini?"

Ekspresi wajah Laura berubah. Dia tidak lagi menganggap Ergi angin lalu. Laura memutar kepalanya dan menatap Ergi. Dari mana dia tahu? Laura bertanya-tanya dalam hati.

"Suster Lisa cerita ke saya," lanjut Ergi, seakan-akan bisa membaca pikiran Laura. "Kemarin sore dia jaga di IGD. Katanya sepupumu datang, kepalanya bocor dan kamu panik. Ternyata, kamu bisa panik juga? You must really love your cousin, huh?"

Ergi memijit tombol elevator, tidak menyadari bahwa Laura sedang menghujamnya dengan pandangan tajam. Ekspresi wajahnya begitu keras.

"Kamu yang kemarin jaga di IGD?" tanya Laura.

Ergi mengangguk.

PLAK! Tiba-tiba saja tangan Laura melayang, menampar Ergi dengan keras. Ergi terperanjat. Dia menyentuh pipinya yang kini terasa panas dan membalas tatapan Laura dengan mulut menganga. Laura tidak gentar. Dia menantang Ergi balik lewat sorot matanya, seolah berkata, "Tampar saya balik kalau memang kamu berani!"

"A-a-apa-apaan?" ucap Ergi dengan terbata-bata.

"Kamu pikir lucu, nyawa pasien ditukar dengan gorengan?!" Laura membentaknya.

"Haaaah?!"

"Jangan kira kamu anaknya Dokter Arifin lalu kamu bisa bersikap seenaknya di rumah sakit!" bentak Laura. "Tempat ini nggak butuh dokter yang cuma jadi beban dan nggak berguna kayak kamu!"

Mulut Ergi menganga lebar. "Tunggu, tunggu! Kenapa kamu seenaknya ngatain saya? Atas dasar apa?"

Saking marahnya, Laura sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Dia bahkan tidak sudi lagi satu elevator dengan Ergi! Laura membalikkan badan dan bergegas menuju tangga darurat. Dia mendengar suara Ergi yang memanggil namanya, tetapi Ergi tidak mengejarnya. Sambil menaiki anak tangga, Laura baru sadar sikapnya pada Ergi sedikit berlebihan. Namun, dia juga tidak mengerti mengapa tiba-tiba dia merasa sangat marah terhadap Ergi. Ya, Ergi memang lalai karena pergi meninggalkan IGD untuk membeli makanan dan tidak juga kembali. Ya, Ergi memang salah sudah menelantarkan dokter co-ass sendirian begitu saja. Tapi, apakah reaksi Laura juga akan berlebihan seperti ini jika pasien yang terluka kemarin bukanlah Aimee? Tapi, apakah pantas Laura menampar rekan kerjanya? Di area rumah sakit pula. Bagaimana kalau ada yang melihat?

Dan ternyata, memang ada yang melihat. Berita tersebut langsung tersebar cepat ke satu rumah sakit. Laura si permafrost menampar Ergi, putra mahkota departemen bedah. Saat jam makan siang, Laura dan Ergi sama-sama dipanggil ke ruangan Dokter Arifin. Bukan hanya malu, Laura kesal sekali diperlakukan seperti anak SMA yang melanggar peraturan sekolah. Dia dan Ergi berdiri di depan meja Dokter Arifin, sementara Suster Boni diam-diam menonton mereka.

"Laura, langsung aja, ya. Saya udah laper. Saya dengar, tadi pagi kamu nampar Ergi di parkiran. Apa itu benar?" tanya Dokter Arifin.

Laura mengangguk.

"Benar atau nggak?" Dokter Arifin mengeraskan suaranya.

"Benar, Dok." Laura terpaksa membuka mulut.

"Kenapa?"

Laura mengunci mulutnya. Kenapa? Kenapa dia tidak tanya saja langsung dengan Ergi?! Dokter Arifin menatap Laura untuk beberapa saat sebelum mendengus. Dia kesal, lantaran Laura yang pelit kata itu tidak mau menjawabnya. Dokter Arifin mengalihkan pandangan pada Ergi.

"Ergi! Kamu ngapain?" Suara Dokter Arifin berubah menjadi semakin galak.

"Aku nggak ngapa-ngapain," jawab Ergi. Dia melirik Laura. "Tiba-tiba aja aku ditampar."

"Makanya, jadi cowok jangan kegenitan!" hardik Dokter Arifin. "Kamu grepe-grepe Laura?!"

"Idih, Pa! Ya, nggak, lah!" seru Ergi. Dia menoleh kepada Laura. "Yang bener aja?! Aku nggak pernah grepe-grepe orang lain!"

Di sudut ruangan, Suster Boni setengah mati menahan tawa. Sungguh, pemandangan langka ini luar biasa menghibur. Dia rela kehilangan jam makan siangnya untuk menonton drama di hadapannya itu.

"Saya nggak seharusnya nampar Ergi." Laura berusaha untuk segera mengakhiri percakapan mereka dengan meminta maaf. Dia membungkukkan badannya. "Maaf, saya yang salah."

"Iya, tapi kenapa kamu nampar Ergi?" cecar Dokter Arifin. "Saya mau tau kalian ada masalah apa!"

"Nggak ada masalah apa-apa." Laura menjawab. "Sekali lagi, saya minta maaf."

Ergi menggaruk pelipisnya. "Oke. Tapi kenapa—"

"Kalau begitu, saya permisi dulu."

Laura bergegas meraih gagang pintu ruang kerja Dokter Arifin.

"Laura, tapi kenapa? Hei!"

Laura keluar ruangan dan berjalan cepat, berharap tidak ada yang mengejarnya. Tapi, tentu saja Ergi tidak menyerah. Dia menyusul Laura dan segera mencegatnya.

"Kenapa kamu nampar saya?" Ergi mencengkeram lengan Laura, menahan langkahnya agar tidak pergi lagi.

"Jangan sentuh saya!" bentak Laura. Dia menepis tangan Ergi dengan kasar. Ergi terkejut. Dia mengerjapkan mata, bingung dengan reaksi Laura. Mendadak napas Laura terdengar berat. Tubuhnya sedikit gemetar. Kakinya mundur selangkah. Matanya tak lepas dari wajah Ergi, menatapnya dengan was-was.

"Laura, kamu kenapa, sih?" Ergi melembutkan suaranya. "Saya salah apa?"

Laura memalingkan wajah. Dia menurunkan kedua tangannya dengan perlahan. Laura memejamkan matanya sejenak, berusaha mengatur napasnya kembali.

"Laura, kamu kenapa?" Ergi mengulang pertanyaannya. Kali ini dia sudah tidak peduli lagi mengapa Laura menamparnya. Dia hanya ingin tahu, apakah Laura baik-baik saja.

"Saya nampar kamu karena marah," ujar Laura. "Nggak seharusnya kamu nganggap enteng perkara di IGD. Nggak seharusnya kamu ninggalin dokter co-ass seharian."

Ergi melongo.

"Tapi, saya juga salah udah nampar kamu. Maafin saya."

Laura menundukkan kepala sejenak, lalu kembali melanjutkan langkahnya. Kali ini, Ergi tidak mengejar Laura. Dia hanya berdiri terpaku, menatap punggung Laura hingga tidak kelihatan lagi.

Langkah Laura baru berhenti ketika dia masuk toilet. Dia berdiri di depan meja wastafel dan menyibakkan rambutnya dari kening. Apa yang barusan terjadi pada dirinya? Mengapa dia bereaksi seperti itu? Ergi tidak sedang—oh my God, Laura! Dia memarahi diri sendiri di dalam hati. Laura membuka keran air dan mencuci tangan. Dia menepuk pipinya dengan telapak tangan yang basah sambil menatap cermin. Why are you so upset? What are you upset for? Everything? Has it not healed?

It would never heal.

~

SINCERELY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang