Bab 30

5.7K 785 7
                                    

Laura mendorong kursinya mundur dan merebahkan diri setelah menangis. Laura tidur. Ergi tidak mengajaknya bicara lagi. Dia menyetir dalam diam, mengantarkan Laura pulang. Setibanya di apartemen Laura, Ergi membangunkannya dengan hati-hati.

"Lau, udah nyampe."

"Terima kasih." Laura berbisik pelan.

"Saya antar kamu ke atas, ya?" Ergi menawarkan. Laura tidak menyahut, Ergi menganggap Laura mengizinkan. Mereka masih diam saja sepanjang perjalanan menuju lobi dan ketika naik elevator. Laura membuka pintu apartemennya. Dia dan Ergi saling pandang untuk beberapa saat. Tangan Ergi terulur, menyentuh kening Laura. Kali ini Laura tidak menepisnya.

"Kamu demam," ucap Ergi. "Saya nginap di sini malam ini, ya? Jagain kamu. Takutnya luka-lukamu—"

Laura memotong kalimat Ergi dengan mengangguk, membuat Ergi terkejut. Dia mengira Laura akan menolaknya dan mengusirnya. Ergi masih menunggu Laura mengungkapkan rasa marahnya kepada Ergi. Setelah Ergi masuk, Laura mengunci pintu. Dia merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan hati-hati, menggigit bibir menahan rasa sakit yang menyengat ketika dia menggerakkan tangannya.

Laura menarik napas panjang dan kembali memejamkan mata. Dia membiarkan punggung tangan Ergi menyentuh keningnya sekali lagi. Dia sangat terkejut dengan Ergi yang mau berusaha menolongnya, mampu menemukannya, sampai mencarinya ke rumah sakit dan membawanya pulang. Ergi peduli dengan Laura, tidak seperti Maxime. Ketika Laura tahu dirinya hamil, dia segera memberitahu Maxime dengan panik untuk meminta bantuan. Tetapi apa responnya?

"Bukan urusanku, itu urusan kamu."

Maxime memalingkan wajah dengan dingin dan pergi meninggalkan Laura. Saat itu Laura menyadari, Maxime was not a sweet poison anymore, he was simply just a toxic, malignant poison. Orangtua Laura jelas murka saat tahu dirinya hamil di luar nikah. Tapi, Laura tidak menyangka reaksi mereka akan sedemikian teganya. Ibunya berkali-kali memukuli punggungnya dengan rotan, sampai darah merembes ke kemeja seragam sekolahnya. Ayahnya tidak berusaha menghentikan ibunya, malah menunggu hingga ibunya puas sebelum berbicara pada Laura.

"Laura, kamu harus gugurin kandunganmu. Tinggal bilang butuh uang berapa, nanti Papa bayar."

Laura tercengang mendengarnya. Dia bahkan masih belum tahu pilihan mana yang akan dia ambil, tetapi ayahnya dengan mudahnya menentukan bagi Laura. Bukan cuma itu, ayahnya juga mengusirnya secara halus.

"Setelah itu, kamu pindah aja ke luar negeri, lanjut sekolah di sana. Nanti Papa kasih kamu uang, tapi jangan pernah balik lagi ke sini, jangan pernah tinggal di sini lagi. Kamu udah bikin malu."

Saat itu, rasanya ingin mati saja. Di tengah pikirannya yang kalut, Laura masih ingat dengan Tante Rena, adik bungsu ibunya yang selalu dijelek-jelekkan satu keluarga besar karena memilih menikah dengan Om Lim yang kurang berada. Terlebih lagi, mereka tidak dikaruniai anak pula, membuat Tante Rena semakin 'tidak ada apa-apanya' di mata yang lain.

Tante Rena kaget luar biasa mendapati Laura muncul dalam keadaan seperti itu. Dia membawa Laura ke rumah sakit, merawat luka-lukanya, dan yang terutama, jasa Tante Rena yang paling besar adalah mau mendengarkan Laura. Kepada Tante Rena, Laura menceritakan semuanya. Mulai dari ibunya yang memukulinya dengan rotan, ayahnya yang menyuruh Laura menggugurkan kandungan dan mengusirnya tanpa memberi pilihan, hingga bagaimana Maxime memaksa untuk berbuat bejat tanpa Laura menginginkannya. Tante Rena mendengarkan semuanya, tanpa bertanya kenapa, tanpa menghakimi Laura. Tante Rena meminta Laura beristirahat di rumahnya malam itu dan malam-malam berikutnya. Dia tidak memaksa Laura mengambil pilihan saat itu juga.

Laura tahu, hubungan dirinya dan orangtuanya memang tidak baik, tapi dia tidak menyangka bahwa ternyata mereka menganggap Laura begitu menyusahkan. Belakangan, Laura baru tahu, dia pun merupakan anak di luar nikah yang tidak diinginkan. Gara-gara dia, kedua orangtuanya jadi harus menikah dan menjadi tidak bahagia. Suddenly, it all made sense to her, why her parents treated her that way. Tiba-tiba, Laura menjadi takut. Dia tidak ingin menjadi monster seperti orangtuanya bagi anak yang dikandungnya. Tetapi Laura juga takut untuk menggugurkan kandungannya, karena menurutnya itu sama saja dengan membunuh nyawa yang tidak bersalah dan menjadikannya lebih kejam daripada orangtuanya sendiri.

SINCERELY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang