Bab 24

4.7K 698 4
                                    

Sejak kecil, Laura senang menggambar. It's a way to relax, to drown herself in a completely different world that gives her peace. Dia sempat terpikir untuk menjadi seorang pelukis, ilustrator atau desainer. Tapi, ibunya bilang semua pekerjaan itu tidak ada gunanya karena tidak menghasilkan uang. Sedari dulu, ibunya Laura memang money-minded. Apapun yang tidak menghasilkan uang, artinya tidak berguna, tidak perlu dihargai apalagi dipelihara. Itu sebabnya dia tidak mendukung hobi Laura dan juga merendahkan ayah Laura, suaminya.

Gara-gara hobinya dicap tidak berguna oleh ibunya saat Laura SMP, dia jadi berhenti menggambar. Semua coretan doodles yang dibuatnya tidak pernah lagi muncul di sela-sela buku catatannya. Laura jadi lebih senang menulis. Ketika masuk SMA, seiring dengan drama keluarganya yang lebih panas, Laura juga jadi lebih sering menulis. Dia lebih sering menyebut buku yang selalu dibawanya ke mana-mana itu sebagai jurnal ketimbang diari. Alasannya sederhana, dia tidak pernah menuliskan perasaannya di sana. She was just stating facts. Seperti misalnya:

23 Oktober. Untuk kelima kalinya, Maxime minta aku untuk jadi pacarnya. Akhirnya aku mengiyakan.

Atau

1 November. Mama pulang dan aku digampar. Alasannya, dia nggak suka aku belum pulang ke rumah ketika dia tiba. Saat itu aku lagi pergi dengan Maxime.

Atau

31 Desember. Maxime itu racun yang sangat berbahaya. Aku harus lepas dari jeratnya di tahun baru.

Tetapi Laura pun akhirnya berhenti menulis saat dia pindah sekolah ke Perth. Dia baru melanjutkan dua hobinya itu saat kuliah kedokteran, mengisi buku catatan pribadinya dengan pengalamannya di rumah sakit beserta gambar-gambar yang memudahkannya belajar. Laura tidak pernah menyangka, bakatnya yang dicap tidak berguna oleh ibunya itu ternyata bisa membantu para co-ass.

"Dok, boleh pinjam gambarnya sebentar? Mau saya foto." Salah seorang dari mereka maju ke depan, menuding buku catatan Laura, tempat dia barusan menjelaskan secara visual lewat gambar.

"Dokter Laura jago banget gambarnya, bisa tiga dimensi begitu."

Meskipun hanya dokter-dokter co-ass yang memujinya, diam-diam Laura merasa senang. Tiba-tiba saja dia teringat Aimee. Kalau Aimee melihat gambarnya, apa Aimee akan memujinya juga? Walaupun jelas kemampuan mereka jauh berbeda. Speaking of Aimee, ajaib sekali, karena baru saja nama Aimee terlintas di benak Laura, mendadak ponsel di saku jas dokter Laura bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari Aimee.

Aimee
Hai, Ci Laura. Kemarin aku ketemu Dokter Ergi, terus ngobrol sebentar.
Aku kasih tau dia kalau besok hari terakhirku magang.
Kita makan malem bareng yuk, Ci, sebelum aku balik ke Bandung hari Sabtu.

Laura memandangi pesan itu untuk beberapa saat, ragu antara menjawab atau membiarkannya. Lama-lama Laura sadar, semua tatapan mata para co-ass tengah mengarah kepadanya, menontonnya dengan penasaran.

"Dari Dokter Ergi, Dok?" celetuk salah seorang dari mereka.

"Jawab dulu aja, Dok."

Ergi? What? No! Cepat-cepat Laura memasukkan ponselnya kembali ke saku jasnya. Laura melihat para co-ass masih menatapnya sambil menahan senyum. Bahkan Suster Lisa juga! Setelah urusan Laura dengan para co-ass selesai, dia meninggalkan ruangan dengan Suster Lisa mengekor di belakangnya.

"Dokter Laura, jangan lupa Dokter Ergi-nya dibalas," celetuk Suster Lisa, mengulum senyum.

"Bukan Ergi." Laura membalas. "Kenapa pada mikirnya itu Ergi?"

"Soalnya muka Dokter Laura kaget-kaget senang gitu pas lagi baca pesannya."

"Hah?" Laura mengernyit. Apa itu berarti tanpa sadar dia merasa senang mendapat pesan dari Aimee? Well—

"Nggak usah malu-malu gitu, Dok. Wajar kalau senang, pasti kangen karena Dokter Ergi lagi nggak di sini."

"Kangen?!"

"Wajar juga kalau kangen, namanya juga lagi dekat."

Dekat?! Laura tercengang.

"Siapa yang bilang kalau kita lagi dekat?" bisik Laura.

"Nggak perlu ada yang bilang juga semua orang bisa ngelihat." Suster Lisa senyum-senyum. "Dokter Laura yang dingin kayak kulkas, pendiam kayak patung, tertutup kayak stoples, tiba-tiba jadi sering ngobrol sama Dokter Ergi, ke mana-mana bareng Dokter Ergi, bahkan sampai ngebelain Dokter Ergi waktu kena kasus. Bukan cuma itu, Dokter Ergi sampai cuti segala buat nganterin Dokter Laura ke Bandung. Kalau nggak dekat, itu apa namanya?"

Laura hanya bisa mengerjap. Dia kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan Suster Lisa. Apa namanya? Tidak ada namanya.

"Nggak perlu menyangkal, Dok. Nggak ada yang salah kok sama yang namanya jatuh cinta. Dan lagi, nggak ada peraturan rumah sakit yang melarang romance at the hospital, kok."

"Tunggu, tunggu!" Laura segera memotong tawa Suster Lisa. "Bukan begitu. Semua yang saya lakukan sama Ergi itu biasa aja. Nggak perlu didramatisir apalagi dibikin gosip."

"Biasa aja? Kalau misalnya yang kena kasus itu saya, apa Dokter Laura akan ngebelain sampai segitunya?" balas Suster Lisa. "Kalau yang ada urusan itu saya, apa Dokter Ergi mau cuti segala untuk nemenin saya? Dokter Laura tau sendiri jawabannya, kan?"

Suster Lisa melempar senyum lebar kepada Laura sebelum mengangguk pertanda pamit. Laura tertegun. Semua yang diucapkan Suster Lisa benar. Tanpa sadar, Laura telah mengizinkan Ergi masuk ke dalam hidupnya. Sh*t, Laura telah mengulang kesalahan di masa lalu untuk kedua kalinya! Laura tersentak ketika ponsel di saku jasnya bergetar lagi. Kembali masuk pesan baru dari Aimee.

Aimee
Oh iya, aku juga ngajak Dokter Ergi buat makan bareng.

Jangan bilang bahkan Aimee pun berasumsi bahwa Laura dan Ergi memiliki hubungan spesial! Wait a second. Laura memang tidak pernah memperkenalkan Ergi kepada keluarganya saat di rumah duka, tetapi Ergi mengaku kepada Diana, teman sekolahnya bahwa dia adalah suami Laura. Sementara itu, suami Diana adalah rekan bisnis ibunya, yang berarti suami Diana juga kenal dengan Steven, sepupunya yang ikut terjun di bisnis yang dikelola ibunya. Yang berarti juga bisa jadi seluruh keluarga besarnya menganggap bahwa Ergi memang adalah orang yang spesial bagi Laura! Cepat-cepat Laura membalas pesan Aimee.

Laura
Kenapa ngajak Ergi juga?

Karena Ci Laura lagi dekat sama Dokter Ergi, kan? Laura menebak jawaban Aimee dalam hatinya.

Aimee
Karena Dokter Ergi baik, nenangin aku waktu panik pas Cici kena usus buntu, udah bantuin nyetir ke Bandung, jadi aku juga mau pamit sama Dokter Ergi.

Aimee benar. Ergi memang baik. Ergi memang sudah banyak membantunya. Why wouldn't she let someone as kind as him into her life? Sederhana. Manusia belajar dari pengalaman, terutama pengalaman pahit. Laura let Maxime into her life and he successfully destroyed her, how could she be sure that this time Ergi did not step into her life with another sweet poison to kill her? Setelah apa yang terjadi pada dirinya dan Maxime, sejujurnya Laura sudah tidak punya lagi nyawa cadangan. If this time Ergi decides to be as evil as Maxime, then this would just be the end of her.

~

SINCERELY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang