Bab 15

5.6K 788 7
                                    

Tante Rena
Laura, mamamu masuk rumah sakit. Sekarang di ICU. Kamu pulang ke Bandung secepatnya, ya.

Layar ponsel Laura berpendar saat dia sedang rapat pagi dengan jajaran dokter dan perawat di departemen bedah. Laura memang masih belum bisa kembali melakukan operasi, tapi dia tidak ingin ketinggalan berita soal kasus-kasus pasien terkini. Jangan sampai setelah sembuh, Dokter Arifin malah mendepaknya.

Laura kaget membaca pesan Tante Rena yang muncul di notifikasi. Ibunya masuk ICU? Laura memang tidak pernah lagi kontak atau bicara dengan ibunya sejak dia SMA. Bahkan ketika ayahnya meninggal pun, ibunya tidak datang. Itu sebabnya, ketika membaca berita dari Tante Rena, Laura tidak merasakan apa-apa. Dia kaget, but that's it. Bagi Laura, ibunya tidak jauh berbeda dengan nama tak dikenal yang dibacanya di koran. Apakah dia anak durhaka? Mungkin. Yang jelas, ibunya menuai apa yang dia tabur.

"Laura?"

"Hah?" Laura tersentak dari lamunannya. Dia menatap layar presentasi dengan pandangan kosong, sementara Dokter Arifin dan yang lain menunggu respon darinya.

"Ngg—sori, gimana?"

"Kalau kamu masih belum fit, mendingan istirahat aja," ucap Dokter Arifin.

"Saya baik-baik aja."

Ergi segera mengambil alih untuk menjelaskan. Laura mematikan ponselnya, supaya dia tidak lagi terganggu. Seharian itu, Laura sama sekali lupa untuk menyalakannya lagi. Dia baru sadar ketika tiba-tiba mendapat kunjungan dari Aimee.

"Ci Laura!"

Aimee muncul di ruang kerjanya tanpa basa-basi. Napasnya tersengal, rambutnya berantakan. Kelihatannya dia habis berlari-lari menuju lantai tiga.

"Aimee?"

"Ci Laura HPnya mati?"

"Ah." Laura menepuk dahinya. Dia segera mengeluarkan ponsel dari saku jas dokter dan menyalakannya.

"Ci Laura, kita harus ke Bandung sekarang," ucap Aimee. "Mamanya Ci Laura meninggal."

Jantung Laura mencelus mendengarnya. Dia tidak menyangka, ibunya akan pergi secepat itu. Baru tadi pagi masuk ICU, sore harinya sudah meninggal. But it's strange. Di telinga Laura, berita itu tidak berbeda dengan berita meninggalnya pasien yang tidak dia kenal atau berita sebuah bencana dengan sederet nama asing di koran. Laura tidak menangis. Jangankan menangis, sedih pun tidak.

Tepat saat itu ponsel Laura menyala. Dia melihat banyak pesan masuk bertubi-tubi dari Tante Rena. Semua isinya sama seperti ucapan Aimee, meminta Laura segera kembali ke Bandung karena ibunya meninggal. Laura menghela napas dan mengusap wajahnya.

"Aku turut berduka cita, ya, Ci." Aimee mengucap lirih.

"Terima kasih." Laura membalas. "Kamu ke Bandung bareng aku?"

Aimee mengangguk. "Tapi belum tau naik apa. Aku udah cek, tiket kereta habis semua."

"Aku nyetir ke Bandung."

"Tapi, Ci Laura kan baru operasi—"

"It's fine." Laura beranjak. "Tunggu sebentar, aku izin dulu ke Dokter Arifin."

Laura meninggalkan ruang kerjanya dan bergegas menuju ruang kerja Dokter Arifin. Sambil berjalan, dia membalas pesan Tante Rena, meminta maaf karena ponselnya mati dan mengabarkan dia akan ke Bandung sekarang juga dengan Aimee. Sesampainya di depan ruang kerja Dokter Arifin, Laura mengetuk pintu dan membukanya.

"Hai, Laura!" Sosok Ergi segera menyambutnya dengan riang. "Baru aja lagi ngomongin kamu."

Laura menaikkan alis.

SINCERELY (Completed)Where stories live. Discover now