Bab 5

7.1K 956 6
                                    

The more we avoid something, the closer the universe tries to tie us with that thing. Setidaknya, itu yang dirasakan Laura tentang Aimee. Malam itu selepas maghrib, ketika Laura hendak pulang, tiba-tiba saja dia dipanggil oleh salah seorang dokter co-ass yang sedang bertugas di IGD.

"Dok! Dok!" serunya panik, memanggil-manggil Laura yang baru saja mengunci pintu ruang prakteknya. "Ada pasien di IGD, kepalanya bocor!"

Laura mengernyit. "Dokter jaganya ke mana?"

"Tadi bilangnya mau beli gorengan sebentar, tapi sampai sekarang belum balik. Gimana, Dok? Cuma ada 2 co-ass sama 1 perawat. Kita harus gimana?"

Melihat wajah panik dokter co-ass yang jelas-jelas belum punya pengalaman, Laura jadi kasihan. Dia pun bergegas menuju IGD diiringi langkah dokter co-ass yang panik.

"Nggak apa-apa, nggak usah panik," ucap Laura pada dokter co-ass itu. She hates talking, but she will do it if she has to—menenangkan junior yang panik adalah salah satunya.

Buat Laura, hal-hal seperti ini sudah biasa. Tapi, dia pun sadar bahwa dirinya tak jauh berbeda dengan dokter co-ass itu dulu. Butuh waktu bertahun-tahun hingga dia menjadi dirinya yang sekarang. Namun, sikapnya yang tenang seketika berubah saat melihat siapa yang menjadi pasien di ruang IGD. Laura menemukan Aimee dengan kepala bersimbah darah dan pandangan mata nanar. Sontak dia terkesiap.

"Aimee? Aimee, kamu bisa dengar aku?" Laura berusaha berbicara pada Aimee.

Aimee tak menjawab namun matanya melirik ke arah Laura.

"Dokter Laura kenal dengan pasien ini?" tanya Suster Lisa, perawat yang berjaga.

"Iya, sepupu saya," jawab Laura singkat. Dia mempersiapkan diri untuk segera menangani Aimee.

"Kalau begitu Dokter Laura jangan mengambil tindakan. Peraturan rumah sakit nggak membolehkan seorang dokter menangani pasien dari kalangan keluarga sendiri."

"Kamu mau nunggu dia sekarat?!" semprot Laura.

Suster Lisa terdiam, tepatnya kaget. Dokter Laura memang terkenal pendiam seantero rumah sakit, tetapi dia juga dikenal sebagai dokter yang tenang dan tidak pernah marah-marah, apalagi membentak orang. Ditambah lagi, sebagai seorang dokter bedah, seharusnya dia tidak perlu panik seperti itu melihat pasien dengan kepala berdarah.

Setelah pemeriksaan visual, Laura menyadari bahwa ternyata keadaan Aimee tidak parah. She's just overreacting. Kemungkinan besar Aimee hanya mengalami cedera luar yang tidak berat. Namun, saat itu entah mengapa Laura tidak bisa mengendalikan emosinya. Dia tidak mengerti darimana letupan panik itu berasal, padahal dia sama sekali tidak dekat dengan Aimee.

"Kamu ke sini sama siapa?" tanya Laura, setelah selesai menjahit kepala Aimee.

"Pasien diantar teman-temannya, Dok. Mereka nunggu di luar." Dokter co-ass menjawab untuk Aimee, sementara Aimee hanya menudingkan kepalanya ke arah pintu IGD.

Laura keluar dari IGD dan menemui dua orang perempuan yang usianya kira-kira sebaya dengan Aimee. Mereka tengah duduk di kursi sambil menunduk cemas. Keduanya mengangkat kepala saat melihat Laura menghampiri mereka.

"Kalian teman-teman yang mengantar Aimee ke sini?"

"I-iya, Dok."

"Apa yang terjadi?"

"Tadi kita bertiga lagi jalan pulang dari kantor, tiba-tiba tas Aimee dijambret motor yang lewat, lalu Aimee jatuh. Kepalanya berdarah, jadi kita panik dan cepet-cepet bawa dia ke sini."

Laura ingat cerita Tante Rena yang bilang bahwa kantor Aimee dekat dengan rumah sakit Laura. Dia tidak menyangka akan bertemu Aimee dalam keadaan seperti ini.

"Kepala Aimee barusan dijahit, seharusnya lukanya ringan. Tapi, tetap harus dipantau apakah nanti ada keluhan lain seperti pusing, muntah atau kejang. Terima kasih, ya, kalian udah bawa Aimee ke rumah sakit."

Kedua teman Aimee saling pandang, bingung mengapa malah Laura yang mengucapkan terima kasih kepada mereka.

"Jadi Aimee harus rawat inap atau bagaimana, Dok?"

"Dia boleh pulang sebentar lagi. Kalian berdua satu kos sama Aimee?"

Mereka berdua mengangguk. Laura kembali ke dalam ruangan dan menghampiri Aimee. Dia duduk di atas ranjang dengan kepala terbalut perban. Matanya mengikuti langkah Laura. Aimee sangat terkejut, takjub akan kebetulan yang mungkin lebih tepat disebut takdir. Bahwa dari sekian banyak dokter di Jakarta, dokter yang menolongnya di rumah sakit adalah Laura, sepupunya sendiri.

"Apa yang kamu rasakan sekarang?" tanya Laura.

Aimee bingung harus menjawab apa. Dia hanya melontarkan apa yang ada di benaknya saat itu. "Kaget."

"Kamu bisa ngenalin aku kan?"

"Ci Laura."

Laura dan Aimee saling pandang tanpa berkata apa-apa. Laura ingin memberitahu Aimee bahwa dia sudah boleh pulang dengan kedua temannya yang menunggu di luar. Dia ingin meminta salah seorang teman Aimee untuk menemaninya semalaman di kamar kos, agar bisa memantau keadaan Aimee. Namun, kalimat yang meluncur dari mulutnya mendadak berubah.

"Kamu pulang ke tempatku aja malam ini, supaya aku bisa pantau keadaan kamu."

Aimee tercengang. Mulutnya menganga tanpa ada kata terucap. Dia terkejut dan heran, Laura, sepupunya yang hampir tidak pernah muncul di acara keluarga, yang juga selalu menjaga jarak dan bersikap dingin padanya, menawarkan diri untuk membawa Aimee pulang dan merawatnya. Bagai tersihir, Aimee hanya mengangguk. Setelah Aimee menjelaskan singkat pada kedua temannya bahwa Laura adalah sepupunya, dia pun ikut dengan Laura pulang ke apartemennya.

Ini adalah pertama kalinya Aimee duduk satu mobil dengan Laura. Laura merawat mobilnya dengan baik. Meja dasbor tanpa debu, layar display yang jernih tanpa baret, jok kulit warna hitam yang bersih tanpa noda. Sepanjang perjalanan di mobil, baik Laura maupun Aimee sama-sama membisu. Hanya suara radio yang mencairkan suasana hening di antara mereka. Ketika mobil berhenti di lampu merah, Aimee menolehkan kepala dan menatap Laura. Pandangan Laura lurus ke depan, satu tangan di atas persneling, satu lagi memegang setir.

"Ci, tolong jangan bilang Papa dan Mama kalau aku terluka, ya," celetuk Aimee tiba-tiba. "Aku nggak mau mereka jadi khawatir."

Laura bisa membayangkan Tante Rena yang sebetulnya sangat khawatir dan kurang setuju jika Aimee magang di Jakarta. Anak itu tidak pernah tinggal jauh dari orangtuanya. Walau pernah beberapa kali ke Jakarta, tetap saja ini bukan kota yang ramah untuk seorang mahasiswi yang tinggal sendirian untuk pertama kalinya.

Sekilas Laura menengok Aimee sebelum lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Tangan Laura mendorong persneling dan matanya kembali menatap jalanan. "Iya," balasnya singkat. She's such a nice girl. Ketika sedang terluka pun, Aimee masih lebih memikirkan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Untuk kesekian kalinya Laura bertanya-tanya dalam hati, apakah Laura juga akan menjadi anak yang baik seperti Aimee jika dibesarkan oleh Tante Rena? Apakah Aimee akan menjadi anak yang brutal seperti Laura jika dibesarkan oleh orangtuanya? Who knows.

~

SINCERELY (Completed)Where stories live. Discover now