Bab 12

5.7K 830 15
                                    

Tok! Tok!

"Iya."

Pintu ruang kerja Laura perlahan dibuka. Kepala Suster Gita menyembul. Dia menarik napas lega dan melangkah masuk saat melihat Laura sedang duduk di meja kerjanya.

"Duh, Dokter Laura. Tadi Suster Prima heboh, katanya Dokter tiba-tiba menghilang dari ruang perawatan." Suster Gita menggerutu. "Nggak taunya di sini."

"Mau di mana lagi saya?" balas Laura, sementara matanya masih fokus membaca data pasiennya yang hendak dioperasi Dokter Arifin siang nanti. "Nanti siang kamu ikut Dokter Arifin operasi?"

"Iya, Dok."

"Oke, tolong bantu pastikan—"

"Dokter Laura, kenapa Dokter malah di sini, sih?" Suster Gita menyela. "Seharusnya Dokter istirahat."

"Saya baik-baik aja."

"Tapi, Dokter Laura tetap harus istirahat," ucap Suster Gita tegas.

"Ada banyak pasien yang harus saya urus."

"Saya tau, tapi kalau Dokter nggak istirahat, gimana bisa pulih? Kalau nggak pulih dengan baik, gimana bisa kerja dengan benar?"

Plok! Plok! Plok!

Laura dan Suster Gita sama-sama menoleh mendengar suara tepuk tangan. Mereka melihat Ergi berdiri di ambang pintu, menyunggingkan senyumnya yang menurut Laura menyebalkan.

"Apa yang dibilang Suster Gita benar," celetuk Ergi. "Kamu kenapa nggak percayaan banget, sih, sama orang lain? Yang handle pasien-pasienmu itu ayah saya, lho—dokter senior kepala departemen bedah."

"Dokter senior nggak berarti pasti kompeten."

Suster Gita menutup mulutnya, terkesiap mendengar ucapan Laura. Ergi melotot dan mulutnya menganga. Manusia ini memang pelit kata, tapi sekalinya bicara begitu menohok dan arogan!

"Well, kadang ada benarnya juga." Ergi mengatupkan mulutnya lagi dan mengangkat bahu. "Kamu tau, saya juga sering berdebat sama Papa soal metode-metode dia yang kadang kolot dan play safe banget. Saking safe-nya, kadang malah jadi merugikan pasien atau nggak memaksimalkan teknologi yang ada. Contohnya—"

"Can you please leave?" pinta Laura. "Saya lagi malas bicara."

"Bukannya kamu emang selalu malas bicara?" Ergi tertawa mencemooh. "Anyway, besok kamu udah boleh pulang, tapi harus istirahat dulu di rumah selama beberapa hari ke depan. Besok saya antar pulang saat jam makan siang."

"Antar pulang?" Laura mengernyit.

"Iya. Apa kamu expect udah bisa langsung nyetir Alfa Romeo dua hari setelah operasi?" balas Ergi. "Ya, terserah sih. Either saya antar kamu pulang atau kamu stay seminggu di rumah sakit."

"Lebih baik saya stay seminggu di sini."

Ergi melongo. "Segitu nggak maunya kamu diantar pulang sama saya?" "Saya tinggal sendirian di rumah. Kalau jahitan saya infeksi, saya kena sepsis lalu mati, nggak ada yang tau. Kasihan yang berikutnya jadi penghuni apartemen saya, karena nanti saya akan gentayangan."

Suster Gita menutup mulutnya lagi, setengah mati menahan tawa. Tapi, diam-diam dia terkesima dengan Ergi, yang mampu memancing Laura hingga bicara panjang lebar seperti itu. Barangkali, ini pertama kalinya Suster Gita melihat Laura berinteraksi demikian dengan rekan kerjanya di rumah sakit.

"Dead or alive, you are a mean-spirited person." Ergi mendengus. "Kenapa kamu nggak minta Aimee untuk nemenin kamu?"

"Nggak."

"Iya, kenapa?"

Laura hanya menghela napas. Dia memalingkan wajah, kembali menatap layar laptopnya, pertanda tidak ingin melanjutkan percakapan dengan Ergi.

"Fine," ucap Ergi akhirnya. "Kalau begitu, kamu butuh barang-barang apa dari rumahmu? Biar saya bantu ambilkan."

"Saya akan ambil sendiri nanti siang."

"Kamu mau ngambil sendiri? Gimana caranya? Nyetir Alfa Romeomu itu?"

"Naik taksi."

"Terus, kalau kamu kena infeksi dan sepsis di tengah jalan gimana? Mau gentayangin taksinya juga?"

Laura terdiam.

"Saya antar kamu nanti siang untuk ambil barang." Ergi menegaskan. "Setelah itu kamu dirawat seminggu di rumah sakit. Statusnya di sini saya adalah dokter kamu, oleh karena itu jangan jadi pasien yang nyebelin."

Laura tak punya pilihan lain. Mau tidak mau dia setuju dengan perintah Ergi.

"Oh ya, siang nanti naik mobil kamu, ya?"

Laura mendengus, tetapi tangannya merogoh ke dalam tas dan meletakkan kunci mobilnya di atas meja. Mata Ergi berbinar melihat benda hitam dengan logo Alfa Romeo itu. Cepat-cepat dia menyambarnya.

"Jam satu kita jalan." Ergi nyengir puas. "Jangan lupa makan siangmu di ruang perawatan hari ini, menunya favorit kamu: sup ayam. Daa!"

Blam! Ergi keluar dan menutup pintu ruang kerja Laura. Selepas Ergi pergi, Laura mengusap wajahnya.

"Dok," panggil Suster Gita. "Kayaknya Dokter Ergi naksir Dokter Laura."

Laura melongo mendengarnya.

"Dia perhatian banget, lho. Sampai mau nyupirin Dokter Laura segala." Suster Gita menahan senyum.

"Soalnya kalau saya mati di jalan, dia yang tanggung jawab karena dia dokter saya," gumam Laura.

"Nggak. Dia memang baik dan perhatian. Sewaktu tau Dokter Laura ulang tahun, dia yang ngajak kita semua untuk surprise-in Dokter Laura."

But I hate surprises, bisik Laura dalam hati.

"Dokter Laura senang, kan, pastinya? Ada yang merhatiin."

"Nggak."

"Kenapa, sih, Dokter selalu 'alergi' sama orang yang berusaha baik dan dekat sama Dokter Laura?" tanya Suster Gita. "Padahal Dokter Laura orang yang baik. Tapi, orang lain jadi sering salah sangka karena sikap Dokter Laura yang dingin."

Laura menarik napas panjang dan berdiri. "Saya balik dulu. Tolong update saya setelah operasi nanti."

Suster Gita hanya bisa mengangguk. Dia pamit dan meninggalkan ruang kerja Laura. Setelahnya, Laura pun keluar untuk kembali ke ruang perawatan. Ketika mengunci pintu, kalimat Suster Gita kembali terngiang di kepala Laura. Suster Gita bukanlah orang pertama yang bilang seperti itu padanya. Maxime said the same thing to her. Saat Maxime menanyakan hal itu padanya, Laura bingung bagaimana harus menjawab, sebab dia juga tidak mengerti. Dua puluh tahun berlalu, sekarang dia sudah tahu.

Kebaikan itu adiktif dan Laura tidak mau jadi kecanduan. Lebih baik tidak usah mengenal sesuatu yang menyenangkan jika hal itu tidak abadi, jika kehilangannya malah membuat sakit hati.

~

SINCERELY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang