Bab 4

8K 1K 24
                                    

"Saya nggak nyangka, ternyata jadi dokter bedah di RS Petra itu cepat kaya, ya."

Ketika tiba di rumah sakit pagi itu, Laura hampir memekik kaget saat dia membuka pintu dan mendapati Ergi ada di sebelah mobilnya. Dia sama sekali tidak melihat sosok Ergi di kaca spion saat sedang parkir di B1. Dari mana Ergi muncul?!

"Nggak nyangka juga ternyata kamu suka otomotif." Ergi mengangguk-angguk sambil mengelilingi mobil Laura. "Who would have known, you like Alfa Romeo? Biasanya orang Indonesia kalau beli mobil mewah ya nggak jauh-jauh dari Mercedes Benz atau BMW."

Laura berdiri terpaku di sebelah pintu mobilnya. Matanya mengekor gerak-gerik Ergi dengan heran, tetapi mulutnya tetap terkunci.

Ergi berhenti di depan plat nomor mobil Laura, setengah membungkuk membacanya. "D 14 RS. RS? Namamu kan Laura Sudibyo, bukan Raura Sudibyo?"

Laura hanya diam saja. Dia berusaha menebak mau apa Ergi sebetulnya.

"Kenapa platnya D? Kamu kan tinggal di Jakarta?" Ergi lanjut mencecarnya.

Laura masih diam saja, tetapi dalam hati sudah menyimpulkan bahwa Ergi orang yang aneh dan tidak usah diladeni. Laura memutuskan untuk pergi meninggalkannya. Ergi tetap gigih. Dia cepat-cepat menjajari langkah Laura.

"Let me be Sherlock Holmes and guess, mobil ini punya orangtuamu?"

Laura tidak menyahut.

"Atau tepatnya, mobil ini bekas orangtuamu lalu dihibahkan ke kamu?"

Laura tetap tidak mau menyahut. Dia mempercepat langkahnya, namun lagi-lagi Ergi menjajarinya.

"Nggak apa-apa, nggak usah dijawab," ucap Ergi, menyunggingkan senyum yang menyebalkan. "Nanti saya akan cari tau sendiri. Gampang kok, berapa banyak sih orang Bandung yang punya Alfa Romeo dengan plat nomor dua digit?"

"Kamu mau apa?" Mendadak Laura berhenti berjalan. Dia menatap Ergi dengan tajam.

"Ohhh, now she talks!" Ergi tertawa. "Saya cuma penasaran aja sama kamu. Considering kemarin jelas-jelas kamu menolak untuk kita get to know each other, jadi saya pakai jalur lain."

Laura memutar bola matanya. Dia melanjutkan langkah menuju elevator dan memencet tombol naik.

"I'm annoying you, right?" Ergi malah nyengir. "Salah sendiri kamu yang mulai nyebelin kemarin. You picked the wrong enemy. Eh, Laura, kenapa sih kamu diam aja? Kamu itu punya selective mutism atau apa?"

Ting! Laura bersyukur saat elevator datang, berharap bahwa elevator itu penuh sehingga Ergi tidak punya kesempatan untuk melanjutkan cerocosnya. Sesuai keinginannya, elevator pagi itu penuh sesak. Sayangnya, Ergi tidak juga berhenti berbicara.

"So, about that car—" Ergi mencondongkan kepalanya pada Laura dan berbisik. "Keluargamu punya usaha apa? Cuma orang kaya yang bisa terpikirkan beli Alfa Romeo. Terus, kamu kenapa jadi dokter di sini?"

Laura tidak tahan lagi. Ketika elevator berhenti di lantai 1, dia keluar begitu saja meskipun departemen bedah ada di lantai 3. Ergi hendak mengejar Laura, tetapi pintu elevator keburu menutup. Laura menghela napas lega. Lebih baik dia naik tangga saja.

~

"Kenapa kamu cuma makan nasi sama sup ayam? It's so plain."

Laura hampir tersedak saat ada suara yang mengejutkannya tiba-tiba. Ketika dia menoleh, Laura melihat wajah tengil Ergi sedang tersenyum padanya. It's a mocking smile. Tanpa minta izin, Ergi meletakkan nampan makanannya dan menarik kursi kosong di hadapan Laura. Berbeda dengan makan siang Laura yang sangat sederhana, nampan Ergi dipenuhi berbagai jenis makanan.

"Makananmu sama makanan orang sakit nggak ada bedanya, tau." Ergi lanjut berkomentar.

Laura mengernyit melihat Ergi yang mulai menyantap makanannya. Orang ini rakus sekali. Selain semangkuk rawon dengan nasi putih yang menggunung, Ergi juga memesan sepiring siomay. Tidak ada sayuran. Minumannya pun cola dingin yang jelas-jelas tidak sehat.

"Mau nge-judge makanan saya?" celetuk Ergi. "Jadi dokter bukan berarti juga punya pola hidup sehat. I thought you out of all people know best about it, secara kamu minum double shot espresso udah kayak minum air."

Dari mana dia tahu?!

"Nggak usah bingung, saya dapat info dari Suster Gita," ucap Ergi, seolah bisa membaca pikiran Laura. "You are a very interesting person, Laura. Seru banget deh, nyari tau tentang kamu."

Laura berusaha mengabaikan Ergi, meskipun wajahnya jelas-jelas menunjukkan rasa kesal. Buat apa Ergi mencari tahu tentang dirinya?! Betul-betul kurang kerjaan. Laura hanya bisa berharap sebentar lagi Ergi akan bosan makan dalam diam bersamanya, lalu pergi. Tanpa menggubris Ergi, Laura mengeluarkan ponsel untuk lanjut membaca novel Killing Commendatore yang baru setengah jalan dibacanya.

"Kamu suka Haruki Murakami?" celetuk Ergi, kepalanya melongok ke arah ponsel Laura yang diletakkan di atas meja.

Laura segera mematikan layar ponselnya dan mendengus kesal.

Ergi tertawa. "I wouldn't have to snoop into anything if only you would talk. Apa susahnya ngomong, sih? Apa yang terjadi sampai kamu nggak suka ngomong?"

Laura tidak menjawab. He wants to annoy her for whatever childish reason. Tapi, kalau dia melakukannya, itu berarti Ergi menang. Laura hanya ingin cepat-cepat menghabiskan makanannya dan pergi dari sana.

"Jangan cepat-cepat makannya, nanti keselek," celetuk Ergi, melap sisa kuah rawon dari sudut bibirnya. Dia terlihat begitu menikmati makanannya. "Nggak lucu kan dokter bedah masuk IGD gara-gara keselek pas makan?"

Laura tidak menyahut.

"So, I have researched a bit." Ergi masih belum juga menyerah untuk mengajak Laura bicara. "Ada beberapa keluarga konglomerat di Bandung. Ada yang punya perkebunan teh. Ada yang jadi juragan tembakau. Ada juga pengusaha tekstil. Apa keluargamu termasuk salah satunya?"

Laura terlihat sangat risih dengan pertanyaan Ergi. Dia membuang pandangan, menyendok makanannya semakin cepat, bahkan tidak lagi mengunyah dengan benar.

"So, which one?" Ergi terus mencecar Laura. "Perkebunan teh?"

Laura membuka mulutnya, seolah hendak mengatakan sesuatu, namun mengatupkannya lagi tanpa mengucapkan apa-apa. Dia menyeruput segelas air putih di sebelah mangkuk supnya.

Ergi menjejalkan potongan siomay ke mulutnya dan kembali mengunyah, sementara keningnya mulai berkerut. Dia terlihat seperti sedang berpikir keras, menganalisa sumber-sumber yang dia dapatkan agar tidak salah menebak lagi. "Tapi nama keluargamu kan Sudibyo. Saya nggak menemukan konglomerat asal Bandung bernama Sudibyo."

Laura cuma geleng-geleng kepala. Orang ini gila, ya? Kenapa juga berusaha mencari tahu Laura sampai segitunya?

Ergi sudah selesai makan nasi dan rawon. Kini dia beralih ke siomay di piring sebelahnya. Laura tidak habis pikir, Ergi yang badannya ramping ternyata makannya banyak sekali.

"Saya makannya banyak karena mikirnya juga banyak. Jadi dokter bedah itu ngabisin energi tau." Ergi menjelaskan tanpa ditanya, membuat Laura kaget karena dia seolah bisa membaca pikiran Laura. "Sepertinya kamu bukan anak satu-satunya. Kalau kamu anak satu-satunya, sudah pasti kamu dijadikan penerus. Tapi kenyataannya kamu bebas berkeliaran sebagai dokter bedah di sini. Jadi, saya rasa kamu punya saudara laki-laki yang meneruskan usaha keluargamu. Benar nggak?"

Laura meletakkan sendok garpunya di piring dan menenggak habis sisa air putih di gelasnya. Akhirnya dia selesai makan.

"Kamu udah? Cepat banget makannya!"

"Tahu diri sedikit, banyak yang antri buat duduk," balas Laura dengan sinis. "Jangan makan lama-lama!"

Laura beranjak sambil mengangkat nampan bekasnya, kemudian membalikkan badan untuk pergi meninggalkan Ergi. Ergi mengerjap takjub. Akhirnya Laura bicara juga, meskipun hanya untuk sekedar memarahinya. Ergi terlihat begitu puas dan senang. Namun, senyum Ergi tidak bertahan lama. Setelah sosok Laura tidak kelihatan lagi, tatapan mata Ergi menjadi sendu bercampur ragu. Dalam batinnya dia terus bertanya-tanya, is it really her?

~

SINCERELY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang