Bab 26

4.7K 693 6
                                    

Ketika Laura menaikkan kacamata hitamnya ke atas kepala, sinar matahari langsung membuat matanya menyipit karena silau. Dia mencondongkan tubuh ke arah kaca spion di bagian dalam mobil, mengerjapkan matanya beberapa kali. Sh*t. Wajahnya terlihat begitu lelah, ditambah lagi matanya yang bengkak. Laura hanya terlelap selama dua jam semalam. Dia sama sekali tidak bisa tidur. Double shot espresso yang sudah ditenggaknya dua kali sejak pagi gagal membuat penampakannya terlihat lebih segar.

Meskipun lelah, Laura tetap melakukan perjalanan ke Bandung. Dia menyetir sendiri, membawa oleh-oleh kecil yang sengaja dibelinya dulu sebelum dia berangkat. Saat Laura tiba di Bandung nanti makanan itu pasti sudah dingin, namun Laura berharap Aimee masih mau menerimanya. Selain itu, amplop cokelat berisi uang yang dititipkan Aimee kepada Ergi juga tersimpan rapi di dalam tasnya.

Laura ingin menyerahkan uang itu lagi kepada Aimee. Dia bukan bank, Aimee tidak perlu mengembalikan uang yang sudah dipinjamnya. Actually, it was not a borrowed money in the first place. Laura tidak pernah berniat meminjamkannya kepada Aimee sejak awal, dia berniat memberikannya secara cuma-cuma, secara tulus tanpa harus dikembalikan, sebab dia merasa itu adalah hal yang sudah seharusnya dia lakukan kepada Aimee.

Sudah lama sekali Laura tidak pernah mengunjungi rumah Aimee. Sudah dua puluh tahun berlalu sejak terakhir kali dia menjejakkan kaki di sana, tetapi sampai sekarang Laura masih ingat alamatnya dan bagaimana rupa rumah tersebut. Ketika akhirnya Laura tiba di depan pintu rumah Aimee, jantungnya berdegup kencang. Rumah Aimee berwujud sederhana, sangat kontras dengan rumah tempat dia tumbuh besar.

Rumah itu tidak terlalu luas, tetapi memiliki dua tingkat, dengan pagar rendah yang catnya sudah mengelupas di beberapa bagian. Tante Rena sudah tinggal di sana sejak menikah dengan Om Lim. Menikah dengan orang sederhana dan pindah ke rumah kecil seperti itu sudah pasti merupakan sebuah downgrade bagi Tante Rena yang adalah anak orang kaya lama di Bandung, tetapi nampaknya Tante Rena sama sekali tidak peduli.

Sebelum Laura mematikan mesin mobil, dia melihat sosok Om Lim yang melongok dari teras dan berjalan menghampiri pagar. Ketika Laura keluar dari mobil dan menyapanya, Om Lim membalas sambil tersenyum dan membukakan pintu untuk Laura.

"Ayo, masuk," Om Lim mempersilakan tanpa canggung, seolah Laura memang sering bertamu ke rumahnya. Tidak ada celetukan basa-basi yang memuakkan seperti yang dilontarkan sanak saudaranya yang lain, seperti "Tumben kamu datang" atau "Sombong banget sekarang nggak pernah ke Bandung lagi" dan sebagainya.

"Duduk dulu, Laura." Om Lim mempersilakan, ketika Laura sudah menjejakkan kaki ke dalam rumah. "Itu mata kamu kenapa?"

"Ah, i-itu—" Laura terbata. "—kurang tidur aja, Om."

"Sibuk di rumah sakit?"

Laura mengangguk.

"Jangan kecapekan, Lau," ucap Om Lim singkat. "Sebentar ya, Om panggilin Tante sama Aimee. Mereka di atas."

Laura mengangguk sekali lagi. Setelah Om Lim menaiki tangga, Laura tidak segera duduk. Mendadak dia merasa tertarik dengan seisi rumah keluarga ini. Dia penasaran apa yang sudah pernah mereka lakukan bersama dan apa yang biasanya mereka lakukan dalam keseharian mereka.

Laura berjalan perlahan, menelusuri sederetan piala dan medali yang menunjukkan prestasi Aimee. Ada yang dari bidang akademik, bidang seni bahkan juga olahraga. Aimee betul-betul anak yang berprestasi. Pikiran Laura melayang. Jika Aimee tidak dibesarkan dan dididik oleh Tante Rena dan Om Lim, apakah Aimee tetap akan menjadi anak yang membanggakan seperti ini? Ataukah Aimee malah bernasib jadi seperti Laura? Mendadak Laura merasa ngilu membayangkannya.

Laura memandangi juga foto-foto yang dipajang di ruang tamu, foto-foto Aimee sejak bayi hingga dewasa, foto-fotonya tumbuh besar bersama kedua orangtuanya yang penyayang. Sepanjang hidupnya Aimee hidup sederhana, namun terlihat jelas bahwa dia besar dalam keluarga yang bahagia dan memperhatikannya.

Ada foto Aimee kecil naik komidi putar di taman hiburan. Ada foto Aimee dan Om Lim memangku anak singa di kebun binatang. Ada foto Aimee dan Tante Rena berdiri bersebelahan di dapur sedang membuat kue. Ada juga foto kelulusan Aimee memegang ijazah SMA dan medali sambil diapit kedua orangtuanya. Semua foto itu tak dimiliki Laura di rumah orangtuanya yang luas, mewah dan dingin.

"Ci Laura?"

Laura tersentak mendengar suara itu. Mendadak dia merasa tercekat saat melihat Aimee menuruni tangga bersama dengan Tante Rena. Laura menelan ludah. Wajah Aimee berseri melihat Laura, demikian juga dengan Tante Rena. Wajahnya lebih berseri lagi ketika tahu Laura datang membawakan makanan kesukaannya dari Jakarta: nasi ulam.

"Ya ampun, Ci Laura sengaja beli nasi ulam ini dulu sebelum ke sini?" tanya Aimee, menyambut pemberian Laura dengan gembira.

Laura mengangguk sambil diam-diam mengamati wajah Aimee. Dia sama sekali tidak terlihat marah, padahal kemarin Laura sengaja tidak ikut makan malam dengannya. Aimee, is your heart that pure? Laura berbisik lirih dalam hati.

"Tumben kamu ke sini, Laura. Nggak bilang-bilang dulu, kan Tante bisa siapin makanan," ucap Tante Rena.

Laura menggeleng, menyunggingkan senyum tipis. "Nggak usah repot-repot, Tante. Aku nggak lama di sini."

"Eh, itu matamu kenapa bengkak begitu, Lau?" Tante Rena mengernyit.

"Oh." Laura menyentuh kantung matanya. "Nggak apa-apa, Tante. Cuma kurang tidur aja."

"Berat ya, kerja jadi dokter." Tante Rena menggumam. "Hati-hati, harus jaga kesehatan. Jangan terlalu maksain diri."

Laura mengangguk.

Tidak banyak orang yang bersikap baik dengan tulus kepada Laura. Tante Rena dan keluarganya adalah satu-satunya yang selalu bisa membuat hati Laura meleleh, bahkan tak jarang membuat Laura bertanya-tanya dalam hati, mengapa bukan mereka saja yang menjadi keluarganya?

"Sini, nasi ulamnya Tante hangatkan dulu. Aimee temenin Ci Laura, ya."

Aimee mengangguk. Laura tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia memang butuh ruang untuk bicara dengan Aimee hanya empat mata saja. Saat itu Laura teringat tentang sketsa yang pernah diceritakan Aimee kepadanya, yang membuatnya memutuskan untuk menjadi seorang arsitek. Laura bisa meminta Aimee menunjukkannya. Aimee pasti akan mengajak Laura ke kamarnya dan saat itulah Laura akan menyerahkan amplop cokelat berisi uang itu kepada Aimee. More than that, she also wanted to tell her something else.

~

SINCERELY (Completed)Where stories live. Discover now