Bab 27

4.8K 759 40
                                    

Baru saja Laura ingin meminta Aimee untuk bicara empat mata, Om Lim muncul dari toilet. Aimee memanggil ayahnya dengan penuh semangat. "Pa, makan yuk! Ci Laura bawa nasi ulam, nih."

"Nasi ulam? Apa tuh?"

"Papa nggak tau? Ini makanan Jakarta. Enak deh, lagi dihangatkan Mama. Nanti Papa cobain." Aimee berjalan menuju meja makan. "Ayo, Ci."

Mau tak mau Laura mengekor. Aimee meminta Laura untuk duduk di meja makan sementara dia menyiapkan piring dan sendok garpu. Om Lim izin ke teras sebentar. Tak lama kemudian Tante Rena menyajikan nasi ulam di atas meja. Mereka berempat duduk di meja makan yang sempit dan begitu sederhana, tetapi menghangatkan bagi Laura.

"Waktu aku magang, hampir setiap hari aku sarapan nasi ulam," celetuk Aimee, mulai makan dengan semangat. "Ada yang jual dekat kantor, rasanya enak banget. Mmm! Rasanya persis kayak gini. Cici beli di mana?"

"Di dekat kantor kamu." Laura menjawab.

"Hah? Ci Laura emang sengaja ke sana? Cici tau tempat jualannya?"

Laura cuma tersenyum kecil. Dia sengaja sampai harus menghubungi Ergi untuk mencari tahu di mana lokasi nasi ulam tersebut. Reaksi Ergi? Tentu saja kepo. Bukan Ergi namanya kalau tidak penasaran dengan segala sesuatunya tentang Laura.

Ergi
Kenapa nanya nasi ulamnya Aimee, Lau?

Laura
Saya mau beli.

Ergi
Serius? Dalam rangka apa? Udah kangen sama Aimee?

Laura tak membalasnya. Beberapa saat kemudian Ergi memberi tahu di mana dia bisa membeli nasi ulam itu. Laura mengucapkan terima kasih, mengabaikan rasa penasaran Ergi yang menggunung.

"Eh, enak ya," celetuk Tante Rena. "Tante baru pertama kali makan ini."

"Iya, enak kan, Ma?" seru Aimee, seolah bangga dirinya berhasil menemukan kuliner Jakarta yang membuat orang asli Bandung terkesan. "Makasih ya, Ci Laura!"

Diam-diam Laura merasa senang melihat Aimee makan dengan lahap. Dia merasa lega melihat Aimee dalam keadaan riang, sehat dan baik seperti biasa. Sambil makan, keluarga Tante Rena mengajak Laura mengobrol banyak sekali hal, mulai dari berita tiap-tiap sanak saudara mereka, hingga tentang kejadian-kejadian sehari-hari di bengkel milik Om Lim. Tentang kota Bandung yang semakin tertata, hingga restoran- restoran baru yang menjadi kegemaran anak muda. Laura bersyukur, tak sekalipun Tante Rena berusaha mengorek-ngorek tentang kehidupan pribadinya. Tanpa terasa, sore hari sudah tiba. Laura berpamitan pulang pada Tante Rena dan Om Lim.

"Lau, terima kasih ya, udah datang," ucap Tante Rena. "Kamu yakin nggak mau nginap aja? Ini udah maghrib."

"Terima kasih, Tante," balas Laura singkat, sambil menggeleng.

"Aimee kelihatan sangat senang kamu datang ke sini." Tante Rena memandang ke pintu toilet, di mana Aimee tengah berada. "Mudah-mudahan berikutnya kamu sering-sering datang, ya?"

Laura hanya tersenyum tipis. Dia tidak bisa menjanjikan apa-apa. Dia tidak mau menjanjikan apapun juga.

"Setidaknya, tetap kontak ya sama Aimee."

Lagi-lagi Laura cuma tersenyum kecil. Sekembalinya Aimee dari toilet, Laura segera menangkap matanya. Laura memberi isyarat kepada Aimee untuk ikut dengannya keluar.

"Aku pulang dulu Tante, Om."

"Hati-hati di jalan, Laura."

"Aimee, boleh tolong bantu aku sebentar di mobil?" pinta Laura.

"Oh. Iya, Ci." Aimee mengangguk. Meskipun bingung, dia menurut.

Laura membuka pintu mobilnya, tetapi tidak masuk. Dia sengaja membukanya agar dirinya dan Aimee tidak terlihat oleh Tante Rena dan Om Lim. Cepat-cepat Laura mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya dan menjejalkannya ke tangan Aimee.

"Ini apa, Ci?"

"Punya kamu," ucap Laura pelan.

Aimee segera mengenalinya. Dia menggeleng, berusaha mengembalikan amplop itu kepada Laura. "Ini kan uang Ci Lau—"

Laura meletakkan jarinya di bibir. "Jangan kedengaran orangtuamu, jangan sampai dilihat mereka."

"Tapi, Ci—"

"Jangan balikin uang itu ke aku. Aku ngasih kamu, bukan minjemin ke kamu."

Aimee meringis. "Tapi—"

"Aimee." Laura menyela. Dia menggeleng, mengisyaratkan Aimee supaya tidak banyak bicara lagi dan menerima amplop itu. Aimee menatap Laura dengan pasrah. Kedua mata mereka bertemu. Jantung Laura mulai berdetak cepat. Ada hal lain yang harus diucapkannya untuk Laura. Dia jauh-jauh datang ke Bandung bukan cuma untuk mengembalikan uang itu kepada Aimee. Tetapi, ketika saatnya tiba, nyalinya malah menjadi ciut. Dia cuma bisa menatap Aimee dengan mulut terkunci.

"Ci Laura?" Aimee lebih dulu memecahkan keheningan. "Cici nggak apa-apa?"

"Hah?"

"Matanya bengkak begitu. Beneran cuma karena kurang tidur?" tanya Aimee.

Laura mengangguk cepat. Gantian Aimee yang kini mengamati wajah Laura. Dia tidak percaya dengan jawaban Laura.

"Ci Laura... semalam abis nangis?" bisik Aimee.

Laura menghela napas. Dia memalingkan wajah dari Aimee. "Aku pulang dulu."

"Ci Laura—"

"Take care." Laura tersenyum canggung, lalu masuk ke dalam mobil dan menutup pintu. Dia menyalakan mesin mobil dan memasang sabuk pengaman. Sebelum menginjak pedal, Laura melayangkan pandangan sekilas sekali lagi kepada Aimee lewat kaca spion. Tiba-tiba, hatinya terasa begitu pedih. Dia menarik napas panjang, memacu mobilnya kembali ke Jakarta di bawah langit yang sudah berubah menjadi gelap.

Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam saat Laura memperlambat laju mobilnya untuk mengantri di pintu tol dalam kota di Jakarta. Saat itu, ponselnya yang diletakkan di kursi penumpang sebelahnya bergetar. Dia melirik layar yang berpendar. Ada satu pesan masuk dari Aimee. Laura melihat sekilas antrian mobil yang masih panjang di depannya dan membuka pesan itu.

Aimee
Ci Laura, terima kasih ya, tadi udah datang dan bawain nasi ulam kesukaanku. Aku nggak seharusnya terima uang dari Ci Laura, karena buat Cici, aku bukan siapa-siapa. Bisa ketemu Ci Laura dan ngobrol singkat aja aku udah senang banget.

Tin! Laura tersentak mendengar suara klakson. Tanpa dia sadari, mobil di depannya sudah melesat pergi. Laura meletakkan ponselnya kembali di kursi penumpang dan menjalankan mobilnya maju. Saat dia sedang membayar tol, ponselnya kembali bergetar. Jantung Laura mencelus saat membaca pesan kedua Aimee.

Aimee
Meskipun Ci Laura nggak menginginkan aku, aku tetap menghargai Ci Laura. Sebab lewat Cici, aku diberi kehidupan. Jadi, sampai kapanpun Ci Laura tetap adalah orang yang spesial buatku. Terima kasih, Ci Laura udah memilih untuk melahirkan aku ke dunia.

Tiba-tiba napas Laura menjadi sesak dan sakit, seolah ada yang mencekiknya. Mendadak matanya juga terasa panas. Tubuhnya gemetar. Genggaman tangan di setirnya semakin kencang. Terima kasih, Ci Laura udah memilih untuk melahirkan aku ke dunia. Jadi, ternyata Aimee sudah tahu. Sejak kapan? Bagaimana? Aimee sudah tahu dan memilih untuk tidak membenci Laura. Aimee, anak kandungnya yang tidak pernah dia inginkan, malah berterima kasih kepadanya.

TIIINNN!!! BRAK!

Semua lamunan Laura tentang Aimee seketika buyar ketika suara keras itu berturut-turut memekakkan telinganya. Pandangannya sontak kacau, apa yang dilihatnya di depan mata menjadi tumpang tindih, tidak bisa lagi dicerna oleh kepalanya. Napas Laura mendadak berhenti. Sekali lagi dia merasa tercekik, kali ini lebih menyakitkan dari sebelumnya. Layar ponsel Laura kembali berpendar.

Aimee
Maaf, kalau aku bikin Ci Laura bingung. Hati-hati di jalan, ya, Ci :)

~

SINCERELY (Completed)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon