Bab 33

5.5K 747 4
                                    

Sudah dua minggu berlalu sejak kecelakaan yang dialami Laura. Mobilnya sudah kembali seperti sedia kala. Berarti tanpa terasa sudah dua minggu berlalu juga sejak Aimee terakhir mengirim pesan kepada Laura, memberitahu sesuatu yang membuat Laura begitu kaget bagai tersambar petir. Namun, sampai sekarang masih belum juga membalas pesan Aimee. Dia tidak tahu bagaimana harus meresponnya. Iya, kamu anakku. Begitu? Kedengarannya sinetron banget dan menurut Laura it sounds just stupid, even if it's the fact.

Laura berharap Aimee tidak lagi mengungkitnya. Dia sendiri tidak akan pernah lagi mengungkitnya, meskipun Laura sungguh penasaran dari mana Aimee tahu. Dia yakin bukan dari Tante Rena, dia sudah berjanji pada Laura untuk tidak pernah memberi tahu Aimee siapa Laura sebetulnya. Juga tidak ada orang lain yang tahu bahwa Aimee adalahnya anaknya selain kedua orangtuanya yang sudah meninggal. Laura memutuskan, biarlah hal ini menjadi sesuatu yang 'tahu sama tahu' di antara mereka.

Maka ketika ponselnya bergetar dua minggu sejak pesan itu dan Laura melihat nama Aimee di layar, jantungnya langsung berdebar kencang. Dia tidak berani membukanya, hanya membacanya lewat notifikasi. Kalau Aimee marah padanya, setidaknya Laura punya waktu untuk berpikir bagaimana dia harus membalas.

Aimee

Hai Ci Laura, lagi sibuk nggak? Lusa aku bakal ke Jakarta untuk jadwal apply visa di kedutaan Jerman. Cici ada waktu buat ketemu aku?

Sh*t. Laura menelan ludah. Bukan cuma karena Aimee mengajaknya untuk bertemu, tapi juga karena Laura tidak menyadari ternyata tidak lama lagi Aimee akan pergi ke Jerman. Laura menggigit bibir. Dia meredupkan layar ponselnya dan memasukkan kembali ke saku jas dokternya. Dia akan membalas nanti, bukan sekarang.

Namun, hari itu Laura sungguh sibuk. Dia sama sekali lupa dengan pesan dari Aimee dan baru teringat saat Ergi menyebut Aimee ketika dia hendak pulang. Laura berpapasan dengan Ergi di lapangan parkir yang sudah sepi.

"Laura!" Ergi memanggil Laura, berlari-lari kecil menghampirinya. "Saya kira kamu udah pulang dari tadi."

Laura menggeleng. "Ada apa?"

"Aimee message saya. Dia nanya, apa kamu marah sama dia? Kamu nggak balas pesannya."

Laura menghela napas dan mengusap wajahnya. Dia merasa bersalah sudah kembali mengabaikan Aimee, walaupun kali ini tidak disengaja.

"Aimee bilang lusa dia datang ke Jakarta buat apply visa. Kamu nggak mau ketemu sama dia?" tanya Ergi.

"Saya nggak tau." Laura menggumam.

"Kenapa?"

Laura meremas-remas jarinya. "Saya nggak tau harus ngomong apa sama Aimee. Saya nggak tau gimana harus bersikap sama dia."

Ergi mengernyit. "Just talk to her like a normal person."

"Is it even possible to be normal again after what she told me?"

Ergi mengembuskan napas. "Laura, kamu cuma perlu bicara jujur ke Aimee tentang apa yang kamu rasakan, seperti saat kamu ngasih tau saya. Kalau kamu bisa ngomong ke saya, kamu pasti juga bisa ngomong ke Aimee."

Laura hanya mengangguk-angguk. "Nanti saya pikirin."

"Dia akan pergi jauh, Laura. Seenggaknya kamu ngomong apa kek ke dia? Don't ditch her."

"Dia cuma baru mau apply visa, Ergi. Saya masih punya banyak waktu sebelum dia berangkat." Laura membela diri. "Oke deh, saya pulang dulu."

"Hati-hati di jalan."

"Kamu juga."

Ergi mengulum senyum. Walau diucapkan dengan nada datar, setidaknya kali ini Laura sudah membalas ucapan Ergi alih-alih langsung menyalakan mesin mobil dan pergi begitu saja. Laura melirik jam digital di mobilnya sementara dia berkendara pulang menembus malam. Pukul dua belas. Apa Aimee masih bangun?

SINCERELY (Completed)Onde histórias criam vida. Descubra agora