Bab 32

5.5K 778 15
                                    

"Huah!"

Pagi itu, Ergi memekik kaget ketika turun dari mobil dan mendapati sosok Laura yang menghadangnya. Ergi mengembuskan napas panjang. Asli, dia sama sekali tidak melihat sosok Laura di spion saat sedang memarkir mobil. Out of nowhere, Laura muncul dan membuatnya kaget. Well, Ergi juga sering melakukannya kepada Laura, dan terus terang menurut Ergi lucu rasanya ketika melihat Laura tersentak kaget melihat sosoknya yang datang tiba-tiba. Tapi, baru kali ini Ergi mengalami sendiri rasanya dikejutkan saat baru tiba di lapangan parkir, tidak enak! Oke, lain kali Ergi tidak akan melakukannya lagi kepada Laura. Tidak lucu.

"Kamu ngagetin saya, deh." Ergi mengeluh. Laura menunggu Ergi mengeluarkan tas dan mengunci mobil, sambil bersandar pada pilar dengan tangan terlipat di depan dada.

"Ergi, kamu ada waktu sebentar?" tanya Laura, setelah mendengar suara pintu mobil Ergi yang terkunci.

Ergi menjadi was-was. Untuk apa Laura meminta waktunya? Apakah untuk finally melabraknya karena sudah kabur dan tidak berani menolong Laura di masa lalu? Telat banget, sudah seminggu baru marah-marah. Well, even so, it's still better than a silent treatment.

"Kalau kamu sempat, mau ngopi bareng?"

Nada bicara Laura tidak sedatar kemarin-kemarin, melainkan sedikit melunak, lebih menghangat. Ergi pikir, mungkin Laura hanya ingin mengobrol, bukan melabraknya. Dia mengangguk, melempar senyum kecil yang canggung. Canggung karena dia tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadap Laura setelah permintaan maafnya. Canggung karena hubungan mereka menjadi canggung. Mereka berdua berjalan keluar dari parkiran menuju gedung sebelah. Tentu saja Laura memilih Kafe Ofra sebagai tempat persinggahan mereka.

"Kamu mau resign?" tanya Laura tanpa basa-basi, ketika mereka berdua sudah duduk berhadap-hadapan dengan secangkir kopi di tangan masing-masing.

Ergi tidak jadi menyeruput kopi. Dia meletakkan kembali gelasnya di atas meja. Ternyata itu yang ingin dibicarakan Laura dengannya.

"Kamu tau dari mana?" Ergi balas bertanya.

"Dokter Arifin ngasih tau aku kemarin malam."

Ergi menahan diri untuk tidak menggerutu di hadapan Laura. Kenapa sih, ayahnya sesumbar segala? Ke Laura pula!

"Jangan resign, Ergi," pinta Laura dengan lirih.

Ergi mengernyitkan dahi. "Memangnya kenapa?"

Seriously, kenapa juga Laura jadi pusing soal Ergi yang mau resign? Jelas-jelas dia membenci Ergi sekarang. Jelas-jelas mereka punya sejarah yang aneh dan tidak menyenangkan. Rasanya canggung dan tidak enak kalau mereka harus tetap bekerja bareng.

"Kamu dokter yang cerdas, bisa diajak kerja sama dan bertanggung jawab. Rumah sakit ini butuh kamu. Saya butuh rekan kerja yang seperti kamu." Laura menjelaskan panjang lebar.

Ergi tidak menangkap maksud Laura. Rekan kerja sepertinya? What is so good about him anyway? She is so smart, she can do the work of two people alone. Laura tidak butuh siapa-siapa, terlebih rekan kerja yang belum berpengalaman seperti Ergi.

Ergi melepas tawa kecil, berusaha melunakkan raut wajah Laura yang tegang. "Nggak salah? Rekan kerja kayak saya cuma jadi beban buat kamu."

"I deeply apologise that I have said such an inappropriate thing to you."

"Nggak usah minta maaf lagi, kamu kan udah minta maaf dulu." Bibir Ergi membentuk senyum tipis di wajahnya. "Saya nggak bermaksud nyindir kamu, kok. But really, nggak usah khawatir. Pasti ada dokter baru lain yang akan gantiin saya."

"Saya nggak butuh dokter lain." Laura menatap Ergi dalam-dalam. "Saya butuh kamu."

Kedua mata Ergi melebar mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Laura. Saya butuh kamu. Tiga kata itu cukup membuat jantungnya sontak berdebar-debar. Sedemikian pentingnya kah seorang Ergi bagi Laura? What does she even mean?!

SINCERELY (Completed)Where stories live. Discover now