Bab 21

5.4K 750 5
                                    

Sepanjang hari, Laura tidak lagi ada kesempatan bertemu Ergi karena sibuk. Sampai dia pulang pun, Ergi masih belum membaca pesannya. Apakah dia baik-baik saja? Laura tidak bisa berhenti memikirkan nasib Ergi. Apa iya, dia akan dituntut ke jalur hukum? Kalau Ergi, yang merupakan anak kepala departemen bedah, bisa terseret ke pengadilan, apa kabar dirinya yang bukan siapa-siapa? Bahkan, di mata Laura, Ergi tidak bersalah. Laura teringat kata-kata Ergi waktu itu.

"But life itself is so precious, that's why we became doctors, right? Itu sebabnya setiap hari kamu, saya, berusaha menyelamatkan nyawa. That's why, we must continue to live."

Miris sekali, orang yang begitu bersemangat menolong orang lain malah jadi terjerumus. Wouldn't it be simpler if people stop trying to help each other then? Laura menarik napas dalam-dalam dan pergi tidur. Keesokan paginya, masih belum ada juga balasan dari Ergi. Sesampainya di rumah sakit, Laura memberanikan diri untuk mendatangi Dokter Arifin di ruangannya. Kebetulan, saat Laura membuka pintu, dia melihat Pak Bram dan Bu Magdala.

"Laura, nanti aja bisa? Saya lagi ada urusan penting." Dokter Arifin langsung mengusir Laura begitu melihatnya.

Wajah Laura berubah cerah melihat sosok Ergi yang juga ada di sana, demikian juga Ergi.

"Bukannya ini saat yang tepat?" Laura malah menantang balik Dokter Arifin dengan melangkah masuk. "Pak Bram tadi lagi diskusi apa dengan Dokter Arifin?"

Pak Bram melirik Dokter Arifin, meminta pendapat apakah dia harus berhenti atau melanjutkan.

"Saya penasaran, siapa yang dibela rumah sakit ini," ucap Laura. "Kalau Ergi yang anaknya kepala departemen bedah aja kena sanksi, gimana orang biasa kayak saya? Para dokter juga butuh assurance bahwa rumah sakit tempatnya bekerja emang bisa dipercaya."

"Laura!"

"Pasien sepakat untuk nggak nuntut Dokter Ergi ke jalur hukum," ucap Pak Bram. "Masalah ini diselesaikan di luar pengadilan, secara kekeluargaan. Pihak rumah sakit akan memberikan kompensasi untuk pasien sejumlah yang udah disetujui berdua dan Dokter Ergi akan kena suspend satu minggu. Alasannya, meskipun tindakan amputasi diperlukan, seharusnya Dokter Ergi bisa menjelaskan terlebih dahulu ke pasien atau pihak yang mengantarnya."

Terus terang, Laura lega karena Ergi tidak terseret ke jalur hukum. Tetapi, di sisi lain, rasanya masih juga tidak adil jika dia dihukum, seolah-olah memang benar Ergi sudah melakukan kesalahan. Oke, mungkin seharusnya dia memberi penjelasan singkat, tapi jika keadaannya sudah darurat, bukankah wajar seorang dokter menjadi panik? Laura menyampaikan itu kepada Dokter Arifin setelah Pak Bram dan Bu Magdala keluar ruangan.

"Nggak, Laura. Seorang dokter nggak pernah boleh panik." Dokter Arifin membantah. "Kamu itu seorang dokter bedah. Di ruang operasi, kamu yang pegang kendali. Kalau kamu panik, gimana dengan asistenmu? Perawat? Pasien? Keluarga pasien? Rumah sakit tempat kamu bekerja? We are saving one soul, but many other souls are dragged along too."

Dokter Arifin menghela napas.

"Kadang saya juga menyesali, kenapa sial banget kerja jadi dokter?" lanjutnya. "Nggak boleh bikin salah, nggak boleh panik, rasanya harus selalu jadi seperti dewa. Mau nyelametin nyawa orang, malah kadang dituduh bersalah. Orang bukannya terima kasih sama kita, malah kita dimaki-maki. Tapi, untuk itu kita disumpah. It's part of our duty, part of our job. Kalau nggak bisa terima, ya udah, berhenti aja."

Laura dan Ergi sama-sama terdiam.

"Kamu juga, Ergi, kalau kamu sebagai dokter juga harus yakin dengan tindakan yang kamu ambil. Kalau kamu merasa itu yang terbaik, katakan dengan yakin. Jangan ragu-ragu. Gimana dilihat sama orang awam kayak Pak Bram kalau kamu ragu-ragu menjawab saat ditanya? Ngerti, Ergi?"

SINCERELY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang