Bab 9

5.9K 838 28
                                    

Seminggu berlalu sejak kejadian Aimee datang ke IGD rumah sakit Laura. Meskipun Laura ingin tahu bagaimana keadaan Aimee selama seminggu itu, dia tidak mengirim pesan sama sekali. She just doesn't know how to talk to her. Dia baru kembali menghubungi Aimee untuk memintanya datang dan membuka jahitan.

Laura
Aimee, besok datang ke rumah sakit untuk buka jahitan, ya. Langsung aja ke IGD.

Aimee
Oke, Ci.

Keesokan harinya, Aimee datang ke rumah sakit ketika Laura sedang menjalani operasi. Tak lama setelah Laura kembali ke ruang kerjanya, Ergi muncul dengan kantong plastik berisi makanan.

"Hai, Kutub Utara. Ini buat kamu." Ergi memanggil Laura seenaknya dan menyodorkan makanan itu.

Laura mengabaikannya. Dia tahu mengapa Ergi memanggilnya Kutub Utara, tentu saja karena sikapnya yang dingin. Namun, bukan itu namanya, jadi dia tidak akan menyahut.

"Glacier, ini buat kamu." Ergi tidak menyerah.

Laura masih mengabaikan Ergi. Dia menyalakan laptop untuk mengetik laporan pasien.

"Laura, tadi sepupumu titip ini buat kamu." Akhirnya Ergi berbicara dengan serius dan berhenti main-main. "Dia datang ke IGD untuk buka jahitan, kebetulan saya lagi di sana. Jadi, saya yang ngurus."

Laura memutar kursinya dan menghadap Ergi. Dia melirik bungkusan makanan yang diletakkan Ergi di atas meja.

"Lukanya sembuh sempurna, jahitannya super rapi, as expected from Laura Sudibyo." Ergi mengedipkan mata, membuat Laura bergidik. "Btw, sepupumu cantik, ya. Namanya Aimee, kan? Tadi saya lupa minta nomor HPnya."

"Jangan—"

"Dia mirip sama kamu, lho. Wajahnya tentunya, bukan sikapnya. Bedanya dia murah senyum, sementara kamu—" Ergi menghentikan kalimatnya. Dia hanya menaikkan sebelah alis, lalu menyeringai.

Laura memutar kursinya lagi dan memunggungi Ergi. "Kalau nggak ada kepentingan, silakan keluar."

Mulut Ergi menganga. Boro-boro bilang terima kasih karena Ergi sudah mengantarkan titipan Aimee padanya, Laura malah terang-terangan mengusirnya! Tahu begitu dia habiskan saja makanan dari Aimee! Ergi meninggalkan ruang kerja Laura tanpa basa-basi. Setelah Ergi pergi, Laura mengambil bungkus makanan yang sudah mulai dingin. Meskipun demikian, dia masih bisa mencium aroma yang sedap dan familiar saat membukanya. Nasi ulam dengan dendeng, sepotong tahu dan kerupuk yang dikemas terpisah. Bagaimana Aimee tahu, bahwa nasi ulam adalah makanan favorit Laura? Bukan cuma itu, bahkan Aimee juga tahu dia tidak suka perkedel atau tempe dan hanya ingin makan nasi uduk dengan dendeng dan tahu? Nobody knows about this, except—

Tak! Laura menekan buku-buku jarinya dan menarik napas panjang. Tidak penting juga bagaimana Aimee bisa tahu. Dia pergi mengambil sendok garpu di pantry, lalu mulai makan. Rasanya enak. Entah di mana Aimee membelinya. Waktunya pas pula, Laura memang lapar bukan main setelah operasi. Dalam sekejap satu porsi nasi ulam habis. Saat hendak membuang bungkusnya, Laura menemukan sebuah post-it yang ternyata menempel pada bungkus itu. Ada pesan dari Aimee.

Ci Laura, terima kasih, ya, udah merawat aku waktu itu. Mudah-mudahan Cici suka.

Pesan itu sangat singkat dan sederhana, tapi mampu membuat tubuh Laura bereaksi tidak keruan. Mendadak dadanya terasa sesak dan napasnya menjadi cepat. Mengapa Aimee masih bersikap baik padanya, meskipun Laura memperlakukannya dengan begitu dingin?

BRAK!

Tiba-tiba pintu ruang kerja Laura dibuka tanpa permisi. Laura melonjak kaget. Darahnya segera mendidih melihat sosok yang muncul. Siapa lagi kalau bukan Ergi?!

"Laura, ada emergency, ikut saya sekarang." Ekspresi wajah Ergi berbeda dengan biasanya. Dia tidak sedang cengengesan dan ada urgensi di nada suaranya.

Laura bergegas meraih stetoskop dan keluar mengikuti Ergi. "Ada apa?" tanyanya sambil mengunci pintu. Ergi tidak menjawab, malah menarik tangan Laura. Jantung Laura mencelus. Untuk sepersekian detik dia membayangkan sesuatu telah terjadi pada Aimee. Tetapi, dirinya mulai bingung saat Ergi menyeretnya menuju pantry.

"Ergi, ada ap—"

"Happy birthday, Dokter Laura!"

Laura tercengang saat dirinya disambut oleh segerombolan staf medis di pantry. Suster Gita berdiri paling depan, memegang kue dan satu batang lilin yang tertancap menyala.

"Selamat ulang tahun, Everest." Di sebelah Laura, Ergi tersenyum puas. "Tadi Aimee cerita, hari ini kamu ulang tahun. Pasti selama ini nggak pernah ada yang ngasih kamu surprise, kan? Makanya saya—Laura!"

BRUK!

Tiba-tiba saja Laura jatuh, membuat semua yang ada di pantry memekik. Tubuhnya gemetar, napasnya terengah-engah, keringat dingin mulai bercucuran. Baru saja Laura merasakan sakit yang luar biasa menghujam perutnya, seolah-olah ada yang menusuknya.

"Laura! Kamu kenapa?" Ergi segera berjongkok di sebelahnya.

Laura hanya bisa membuka mulut tanpa sanggup mengucapkan apa-apa. Rasa sakitnya membuat dia kehilangan tenaga bahkan hanya untuk berbicara. Tubuhnya meringkuk di atas lantai pantry yang dingin.

"Laura! Are you okay? Bagian mana yang sakit?" Ergi mulai panik. "Stretcher! Ambil stretcher!"

Beberapa perawat buru-buru berlari keluar, mengikuti komando Ergi.

"Laura, kamu salah makan atau—" Mendadak Ergi terkesiap. "Bukan gara-gara makanan dari Aimee, kan?"

******! Laura mengumpat dalam hati. Kenapa Ergi luar biasa bodohnya dan jadi menyalahkan Aimee? Ini tidak ada hubungannya dengan Aimee! Aimee tidak mungkin meracuninya! Apa dia sudah gila?! Mereka memang tidak dekat, tetapi Laura sangat yakin Aimee tidak akan mungkin mencelakakannya!

"Laura, Aimee bilang kalian nggak dekat dan kamu selalu bersikap dingin sama dia. Apa Aimee—"

"Usus—" Setengah mati Laura berusaha memberi tahu Ergi apa yang terjadi padanya. "—buntu."

Ergi mengernyit. Awalnya dia tidak mengerti maksud Laura, namun kemudian kedua matanya melebar. "Ah! Oke, oke! Suster Gita, tolong siapin CT scan dan ruang operasi. Sepertinya usus buntu. Tenang, Laura. Saya langsung operasi kamu sekarang."

Mata Laura membelalak. Ergi yang akan mengoperasinya?! Rasanya mau pingsan ketika Laura mendengarnya. Dia percaya dengan setiap dokter bedah di rumah sakit ini, kecuali Ergi. Bukan karena Ergi baru saja menjadi spesialis dan masih bertugas sebagai asisten utama ayahnya, tapi karena pembawaan Ergi yang tidak terkesan kredibel. Tahu kan, kadang ada orang-orang cerdas yang nilai akademiknya sangat bagus, tetapi luar biasa ceroboh, pelupa dan suka membuat kesalahan konyol? Itulah Ergi di mata Laura.

"Saya akan buat incision yang rapi, jahitan yang perfect, supaya kamu tetap bisa dengan pede pakai bikini nantinya," ucap Ergi sembarangan. "Itu stretcher-nya datang! Hang on, Laura! Satu, dua, hup!"

Ergi menggendong Laura dan merebahkannya di atas stretcher. Setelah itu dia ikut berlari-lari mendorong stretcher di lorong rumah sakit. Laura merasa kesadarannya mulai menipis. Di antara rasa sakit dan kepalanya yang terasa semakin ringan, tiba-tiba dia teringat sesuatu. Jangan sampai Ergi sok ide menghubungi Aimee untuk segera datang ke rumah sakit. Aimee tidak perlu tahu. Dia tidak ingin Aimee datang.

"Ergi—" Suara Laura terdengar begitu lirih, tenggelam di antara kehebohan rekan-rekan kerjanya yang sedang mendorongnya dengan stretcher.

"Dokter Ergi, kayaknya Dokter Laura manggil!" seru Suster Gita.

"Kenapa, Lau?" Ergi mencondongkan telinganya ke wajah Laura.

"Ai—" Laura setengah mati menahan sakit yang barusan menghujamnya lagi. "Aimee—"

"Iya, nanti saya hubungi Aimee untuk segera ke sini! Jangan khawatir, Laura!"

Oh, no. Kali ini Laura betul-betul kehilangan kesadarannya.

~

SINCERELY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang