Bab 28

4.9K 742 8
                                    

Jadi, ini rasanya di ujung tanduk kematian. Laura tidak merasakannya saat melahirkan Aimee, sebab dia melakukannya lewat operasi caesar. Saat itu dia merasakan sakit, tetapi Laura juga tahu dia tidak akan mati. Bekas jahitannya tentu saja masih ada. Ergi pernah melihatnya saat melakukan operasi usus buntu terhadap Laura. Ergi dibuat bingung oleh bekas jahitan itu, mengapa Laura punya luka bekas operasi caesar? Namun, tentu saja Laura berkelit dan tidak menjawabnya. Tetapi kali ini, ketika rasa lelah dan suasana hati yang berantakan mengaburkan fokusnya dan membuat Laura kehilangan kendali mobilnya, barulah dia mengalami rasanya ketakutan karena hampir mati.

Mobil Laura menabrak pot tanaman pembatas jalan bertubi-tubi hingga mengeluarkan airbag. Di antara bingung dan luar biasa kaget, Laura cepat-cepat keluar dari mobil. Napasnya tersengal-sengal saat dia akhirnya berdiri di tepi jalan. Airbag itu sukses menghantam dada, bahu dan lengannya. Laura mengerang kesakitan, menyentuh bahu kirinya. Rasanya sakit luar biasa.

"Mbak! Nggak apa-apa, Mbak?"

Perlahan-lahan mobil lain mulai berhenti, orang-orang mulai turun dan berkumpul. Satu-satu mulai mengerumuninya, menanyakan apakah dia baik-baik saja. Beberapa mengagumi mobil mewah Laura yang berhasil mempertahankan keutuhannya. Laura hanya mengerjapkan mata dengan tatapan kosong. Dia masih berusaha untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Rasa sakit berdenyut makin hebat, membuat Laura jatuh terduduk sambil mengerang lagi. Sh*t. Apakah ini karma karena sudah menelantarkan Aimee? Apakah ini karma karena selalu menyakiti perasaan Aimee? Apakah ini—

"Mbak!" Di sela-sela pikirannya yang melayang ke mana-mana, Laura mendengar suara orang-orang yang berusaha menolongnya. "Mbak! Nggak apa-apa, Mbak?"

"Telepon ambulans!"

"Panggil polisi!"

Setengah mati Laura menahan sakit dan air mata. Sungguh, rasanya dia ingin menangis sejadi-jadinya. Panik, bingung, takut, semua bercampur dan bergemuruh di dalam batinnya. She could have died. Laura tidak menyangka, ternyata sedemikian takutnya dia akan kematian. Padahal dulu dia selalu sesumbar bahwa lebih baik dirinya mati saja. Death would have tasted better than life.

Tetapi saat ini, untuk sepersekian detik, Laura menyadari mengapa dia tidak ingin mati sekarang. Dia masih ingin lebih lama lagi melihat Aimee menjalani hidupnya dengan bahagia. Dia masih ingin bertemu dengan Ergi. Dia masih ingin mondar-mandir ruang kerja dan ruang operasi. Life's different for her now than before.

Tak lama kemudian polisi datang ke lokasi kecelakaan bersama mobil derek. Lima menit setelahnya ambulans ikut muncul. Mereka menolong Laura dan membawanya ke rumah sakit. Ketika ditanya, siapa keluarga yang bisa mereka hubungi untuk Laura, Laura menjawab tidak ada.

"Sama sekali nggak ada siapa-siapa?" Petugas terlihat heran mendengar jawaban Laura.

Laura mengangguk. Tentu saja beberapa nama sempat berseliweran berkali-kali di otaknya. Tante Rena dan Om Lim, Aimee, Ergi. Namun, Laura tidak mau merepotkan mereka. Laura tidak punya hak untuk meminta bantuan apapun dari Aimee setelah Laura membuangnya. Dan Ergi, well, most probably he would never show up, just like Maxime.

Laura memejamkan mata sementara petugas medis mulai memberikan pertolongan pertama pada luka-lukanya. It's crazy. Semalam dia tidak bisa tidur. Bukan karena cuacanya panas atau dirinya terlalu lelah, tapi karena Laura tidak berhenti menangis. Entahlah. Saat Ergi mengantarkan uang dalam amplop titipan Aimee, tiba-tiba hati Laura menjadi hancur.

Dia kasihan pada Aimee, yang merasa begitu segan pada Laura dan begitu takut berbuat salah jika berurusan dengannya. Lebih dari itu, Laura merasa kasihan pada Aimee karena dia tidak tahu mengapa Laura bersikap begitu dingin dan berjarak padanya. It broke her heart, sewaktu Laura membaca tulisan Aimee yang meminta Laura agar tidak membencinya. Mendadak ada luapan emosi dalam diri Laura yang ingin sekali menjelaskan kepada Aimee bahwa dia tidak membenci anak baik sepertinya.

Laura merasa sangat bersalah sudah membuat Aimee merasa seperti itu. But she did not know any better on how to treat her when she had never been treated well by her own parents. Iu sebabnya Laura memilih untuk menjaga jarak dengan Aimee, menjauh, toh Aimee juga tidak tahu siapa dirinya yang sesungguhnya. Laura tidak menyangka, Aimee bisa menjadi begitu sedih karena sikapnya yang dingin. Dia lebih tidak menyangka lagi, Aimee memiliki reaksi seperti itu lantaran Aimee sudah tahu siapa Laura. Walaupun begitu, Aimee tidak membencinya. It did not make Laura happy, it broke her heart even more. Akan lebih mudah bagi Laura jika Aimee terang-terangan membenci Laura karena sudah membuangnya.

Laura mengalami luka bakar dan memar akibat terkena airbag yang melontar saat mobilnya menabrak pembatas jalan, tetapi dia tidak perlu dirawat inap. Laura menyelesaikan administrasi rumah sakit sendirian, namun setelahnya dia tidak langsung pulang. Laura duduk terlebih dulu di kursi. Selain karena dia masih merasakan sakit, fisiknya juga lelah luar biasa, bahkan untuk berjalan pun belum ada tenaga lagi. Pandangannya kosong menatap lantai rumah sakit. Sesaat kemudian dia merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel. Laura sempat mengambil barang-barangnya keluar dari mobil sebelum diderek. Dia tertegun melihat 35 missed calls dari Ergi dan sederet pesan yang menanyakan keadaannya.

"Laura?"

Laura tersentak. Ketika menoleh, dia melihat sosok Ergi berdiri di hadapannya. Napas Ergi terengah-engah. Ada banyak jejak peluh di keningnya. Rambutnya berantakan. Dia tidak mengenakan kemeja yang rapi seperti biasa saat di rumah sakit, melainkan kaus lengan pendek Alien Workshop warna putih yang sudah belel dan sneakers Converse yang tak kalah bututnya.

"Laura!" Ergi menyerukan kembali nama Laura. Nada suaranya terdengar panik. "Kamu nggak apa-apa? Kamu baik-baik aja? What the hell happened to you?!"

Laura hanya menatap Ergi tanpa menjawab pertanyaannya. Ergi mendecak tidak sabar. "Mobil kamu tabrakan di tol? Gimana caranya? Kamu nggak apa-apa?"

"Saya mau pulang." Laura menggumam. Dia mengumpulkan tenaganya untuk berdiri. Ergi meraih tangan Laura untuk membantunya, namun secara refleks Laura menepisnya.

"Laura—" Ergi menatap Laura dengan cemas bercampus iba. "—saya bawa kamu ke rumah sakit kita, ya? Kamu masih butuh perawatan. Kalau kamu sendirian di rumah, nanti kalau ada apa-apa—"

"Nggak usah."

"Tapi, keadaan kamu masih belum—"

"Saya bisa sendiri."

Ergi menarik tangan Laura, membuatnya meringis kesakitan. "Biar saya yang antar kamu pulang. Jangan membantah. You had no idea what I went through to find you."

Laura terpaksa mengikuti Ergi ketika langkahnya setengah diseret. "Kamu tau dari mana saya kecelakaan?"

"Saya lagi liat Instagram, ada post tentang kecelakaan di akun informasi lalu lintas. Ternyata itu mobil kamu yang di foto, Alfa Romeo D 14 RS. Saya langsung ke sana, tapi kamu udah nggak ada. Saya tanya ke orang-orang, kamu dibawa ke mana. Untung kamu masih di sini. Untung saya berhasil ketemu kamu di sini."

Mata Laura menatap Ergi dengan sendu. "Ngapain kamu nyariin saya?"

"Ngapain? Jelas-jelas kamu kena musibah!"

"You could have pretended like you did not know about it." Laura mengucap lirih. "Saya kan nggak minta tolong sama kamu."

Ergi menelan ludah. Sesampainya di mobil, dia membukakan pintu untuk Laura dan duduk di kursi kemudi.

"Yes, I could." Ergi meneruskan pembicaraan mereka. "But I choose not to."

Ergi menyalakan mesin mobil dan memasang sabuk pengaman.

"Saya nggak mau mengulang kesalahan yang sama seperti dulu," gumam Ergi.

"Kesalahan apa?"

"Kesalahan yang—" Ergi menarik napas dalam-dalam. "—yang masih saya sesali sampai sekarang."

~

SINCERELY (Completed)Where stories live. Discover now