Bab 36

16.8K 1.1K 267
                                    

Setelah membaca surat Aimee di hari itu, Laura hanya bisa termenung. Dunianya terasa terhenti, sampai Ergi datang ke ruang kerjanya dan memanggilnya untuk ikut rapat.

"Aimee udah tau semuanya," ucap Laura pelan.

"Tau... soal kamu?" Ergi bertanya dengan hati-hati.

Laura mengangguk. Dia melipat surat Aimee dan menyelipkannya di jurnal harian miliknya. Laura menatap jurnal itu dengan pandangan kosong.

"Terus, kamu mau gimana?"

Laura menggeleng. "Saya nggak tau. Aimee knows everything already, there's nothing left for me to explain."

"Kalau saya jadi dia, I would still like to hear it from you," ucap Ergi. "Kamu nggak mau ketemu sama dia? Atau at least kontak dia?"

"Apalagi yang harus saya ucapkan ke dia?"

"Your side of the story. Yang kamu rasakan, yang kamu pikirkan. What do you see in her? How do you feel about her? Aimee nggak tau semua itu. You need to talk to her."

Talk. Bicara. Laura paling tidak suka berbicara, apalagi berbicara tentang isi hatinya.

"Kamu harus bicara sama dia, Laura. Nggak mudah buat Aimee untuk mengumpulkan keberanian dan bicara terbuka sama kamu. Nggak fair buat Aimee kalau kamu cuma diam aja."

"Jadi menurut kamu, saya harus ke Jerman ketemu sama Aimee?"

"Maksud saya nggak perlu sampai ketemu segala, di telepon juga bisa. But now that you mention it, it's not a bad idea. Lagian, kamu udah lama banget nggak pernah cuti, kan?"

Laura terdiam.

"Perlu saya anterin juga ke Jerman?" ledek Ergi.

"Iya, perlu."

Jawaban Laura mengejutkan Ergi, bahkan juga dirinya sendiri.

"Kamu butuh saya sekarang?" Ergi masih lanjut meledek.

"Iya. Saya butuh kamu sebagai partner, di rumah sakit dan juga di luar pekerjaan."

Ergi tidak tahu apa maksud Laura, tapi jawaban seperti itu membuat wajahnya merona merah. Ergi berusaha menyamarkannya dengan tawa dan canda. "Oke, siap. Saya akan mengabdi dengan setia sama kamu."

"Please cut it off."

Ergi tertawa lagi. Perlahan-lahan tawanya memudar menjadi senyum. Terbawa suasana, Ergi mengucapkan sebuah kalimat tanpa sadar. "I think I really like you," bisiknya.

"Hah?"

"Ehm. Never mind."

Maka di sinilah Laura sekarang, duduk di Ofra cabang bandara. Banyak orang yang heran kenapa dia suka duduk di Ofra. Kedai kopi itu terlalu ramai dan bising. Berbagai macam orang duduk di sana dan mengopi, tidak jarang hembusan asap rokok dari luar terbawa angin sampai ke dalam.

Tapi, Laura suka tenggelam dalam suasana riuh seperti itu. Dia tidak suka berdiam diri di rumah dalam keheningan. Itu hanya akan membuat otaknya melayang-layang pada memori masa lalunya. Itu sebabnya Laura lebih suka berada di Ofra, mengamati keramaian di sekitarnya yang tak mengenalnya. Itu sebabnya dia lebih suka menghabiskan waktu di rumah sakit dan disibukkan oleh kepanikan menolong pasien. Semata-mata agar otaknya tidak punya waktu dan celah untuk mengunjungi memori masa lalu yang tak bisa dihapusnya.

Orang-orang di Ofra tidak tahu siapa dirinya. Mereka tidak tahu dia adalah ibu dari seorang anak yang dia sembunyikan identitasnya. Mereka tidak tahu dia adalah orang dewasa yang punya luka batin karena tak mendapat kasih sayang kedua orangtuanya saat kecil dan remaja. Mereka tidak tahu dia adalah seorang dokter yang menyembuhkan banyak orang, namun dia sendiri telah rusak jiwanya.

Namun, Laura baru sadar sekarang, bahwa kegemarannya meleburkan diri di antara keramaian kedai kopi Ofra adalah juga karena dia senang setiap kali melihat ada seorang ibu lalu lalang di depan pintu masuk sambil menuntun anak perempuannya. Dia merasa damai setiap kali melihat seorang ibu tertawa kecil sambil membersihkan sisa minuman dari sudut bibir anak perempuannya atau berbagi sepiring kue sambil bercengkrama. Sebab semua itu diam-diam mengingatkannya bahwa dia pun memiliki yang orang-orang itu juga miliki: seorang anak perempuan.

Bagi Laura, Aimee bagaikan api.

Laura ingin mendekatinya supaya bisa merasakan kehangatan, namun dia takut akan terluka dan sakit jika terlalu dekat dengannya. Laura lebih dulu mencampakkan Aimee sebelum Aimee membencinya, sebab Laura yang egois itu hanya ingin melindungi dirinya sendiri.

"Laura, udah mau boarding?"

Laura tersentak dari lamunannya. Dia melihat jam di tangan dan mengangguk. Laura menenggak habis sisa kopi di cangkirnya sebelum beranjak.

"Udah di airport aja masih milih Ofra. Apa kamu nggak bosan?" celetuk Ergi.

Laura menggeleng, mengulum senyum. Malam ini, dia dan Ergi akan berangkat ke Jerman untuk menemui Aimee. Terus terang, Laura merasa sangat lega ketika Ergi menawarkan diri untuk ikut. Entahlah, dia merasa lebih percaya diri dan nyaman jika Ergi ada di dekatnya. Saat sedang mengantri untuk naik ke pesawat, ponsel Laura bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari Tante Rena.

Tante Rena
Lau, udah mau boarding?

Laura
Ini lagi antri, Tante.

Tante Rena
Hati-hati di jalan ya, Laura. Salam buat Dokter Ergi.

Laura
Terima kasih, Tante.

Laura memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Tapi, beberapa detik kemudian, dia mengeluarkannya lagi.

Laura
Tante dan Om, terima kasih ya, udah merawat dan membesarkan Aimee sampai sekarang dan menjadikannya seperti ini. Sampai kapanpun aku nggak akan pernah bisa membalas jasa Tante dan Om.

Tante Rena
Ngomong apa kamu, Laura. Nggak seperti itu. Aimee lahir ke dunia sebagai anak yang baik, karena ibunya juga orang baik. Laura, jangan berpikir kamu dan Aimee adalah orang yang berbeda. Kamu juga lahir sebagai anak yang baik, cuma nggak pernah dapat kesempatan untuk menunjukkan dirimu yang sebenarnya. Everything good that Aimee has, she got it from you.

Laura memejamkan mata dan menarik napas panjang. Kata-kata Tante Rena begitu meringankan hatinya. Everything good that Aimee has, she got it from you. Tidak ada pujian yang lebih menyenangkan hati Laura daripada yang diucapkan Tante Rena barusan.

Laura menyerahkan boarding pass untuk di-scan dan melangkah masuk belalai pesawat bersama dengan Ergi. Laura melihat jam sekali lagi. Masih ada belasan jam yang harus dilaluinya untuk bisa bertemu Aimee, namun jantungnya sudah berdebar-debar. Dia duduk di kursi dan memasang sabuk pengaman. Ketika dia hendak mematikan ponsel, ada satu pesan lagi yang masuk.

Aimee
Ci Laura, besok sampai di Frankfurt jam 6.45 pagi, kan?

Laura
Iya, Aimee.

Aimee
Take care ya, Ci. Have a safe flight :)
Aku udah nggak sabar buat jemput Cici sama Dokter Ergi :)

Laura mengulum senyum. Dia membalas pesan Aimee sebelum mematikan ponselnya.

Laura
Iya, aku juga.

"So... how do you feel?" tanya Ergi.

Senyum Laura perlahan mengembang, senyum yang sudah terlalu lama tidak terukir di wajahnya, senyum yang tak pernah dilihat orang-orang yang hidup di sekitarnya, senyum yang membuat mereka menyadari bahwa masih ada sisa cahaya dalam jiwa Laura yang rusak dan redup.

"I'm ready."

~END.

If I had to do it all again
wouldn't take away the rain
'Cause I know it made me who I am
If I had to do it all again
I've learned so much from my mistakes
That' s how I know He is watching me
Faith Evans — Again

आप प्रकाशित भागों के अंत तक पहुँच चुके हैं।

⏰ पिछला अद्यतन: Aug 17, 2021 ⏰

नए भागों की सूचना पाने के लिए इस कहानी को अपनी लाइब्रेरी में जोड़ें!

SINCERELY (Completed)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें