Bab 20

5.6K 773 5
                                    

Jam menunjukkan pukul sembilan malam ketika Laura akhirnya tiba di rumah. Setelah beberapa operasi back to back, rasanya lelah bukan main, seolah sekujur tubuhnya luruh. Rasa kantuk dan lapar menyerbu di saat yang bersamaan. Sampai-sampai dia bingung, apakah setelah mandi sebaiknya dia makan dulu atau langsung tidur. Akhirnya, Laura yang sesudah mandi air dingin pun masih terkantuk-kantuk, memutuskan hanya makan sepotong roti saja sebelum langsung terlelap. Dia sama sekali tidak menyadari ponselnya yang bergetar beberapa kali pukul dua dini hari. Terlebih lagi dia lupa mengeluarkan ponselnya dari tas. Laura tidur begitu nyenyak hingga baru bangun ketika matahari sudah tinggi.

"Hah?!"

Dia terperanjat melihat jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah sepuluh pagi. Dia pasti akan terlambat ke rapat harian pukul sepuluh! Cepat-cepat Laura melompat keluar dari ranjang dan bersiap-siap ke rumah sakit. Dia bahkan tidak sempat sarapan lagi. Setibanya di rumah sakit, Laura memarkir mobilnya asal-asalan dan bergegas naik ke lantai tiga. Jam menunjukkan pukul setengah sebelas lewat saat dia masuk ke ruang rapat.

"Maaf, saya terlambat," ucap Laura.

Dia mengira semua mata akan menoleh mengawasinya, nyatanya tidak. Raut wajah masing-masing dokter dan perawat di ruangan itu terlihat begitu tegang. Bahkan, Ergi yang biasanya bisa cengengesan kini juga begitu serius. Justru, wajah Ergi-lah yang paling tegang di antara semuanya. Laura memandang berkeliling. Laura baru sadar, ada Bu Magdala dari bagian public relations dan Pak Bram, kuasa hukum rumah sakit. Mendadak dia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

"Dokter Ergi, saya ulang sekali lagi pertanyaannya. Apa sebelum operasi, Dokter sudah menjelaskan prosedur penanganannya kepada pasien?" tanya Pak Bram.

"Pasien datang dalam keadaan darurat, Pak." Ergi menjawab. Nada suaranya terdengar lemas dan lelah. "Ditambah lagi keadaannya setengah sadar."

"Tapi, terucap nggak dari mulut Dokter Ergi penjelasan prosedurnya?" Pak Bram kembali mencecar.

"Seperti yang udah saya bilang berkali-kali, pasien datang dalam keadaan darurat dan setengah sadar. Menurut Bapak, apa dia bisa ngerti yang saya jelaskan?" balas Ergi.

"Ngerti atau nggaknya itu urusan belakangan. Dokter Ergi ngucapin nggak penjelasan-penjelasan itu?"

"Pasien itu datang kakinya udah membusuk, kalau nggak segera ditangani, udah pasti dia akan kena sepsis dan mati! Gimana caranya dia bisa ngasih consent secara eksplisit?"

"Setidaknya, apa Dokter Ergi udah berusaha menjelaskan secara lisan apa yang akan Dokter lakukan terhadap dia?"

Ergi terdiam. Dia menarik napas panjang. Semua mata tertuju padanya, menunggu jawaban darinya dengan gelisah, terutama Dokter Arifin. Ergi menelan ludah. Meskipun ruang rapat begitu dingin, Laura bisa melihat bulir-bulir keringat di ujung keningnya.

"Saya nggak sempat menjelaskan apa-apa."

Dokter Arifin mengusap wajahnya. Beberapa orang mulai berbisik-bisik cemas. Pak Bram pun terlihat menyesali jawaban Ergi.

"Saya langsung melakukan operasi ke pasien tanpa penjelasan apa-apa. Itu saya lakukan karena saya berkejaran dengan waktu." Ergi membela diri. "Apa tetek bengek penjelasan yang bahkan nggak bisa dimengerti pasien itu lebih penting daripada cepat-cepat menyelamatkan nyawanya?"

"Buat Dokter Ergi, seorang petugas medis, mungkin iya." Pak Bram menutup laptopnya. "Tapi buat kami, orang hukum, sayangnya nggak."

"Pak Bram," panggil Dokter Arifin. "Seperti yang tadi Ergi bilang, kalau nggak segera dioperasi, pasien itu bisa mati. Pasien itu sekarang masih hidup karena pertolongan Ergi yang sigap."

SINCERELY (Completed)Where stories live. Discover now