Bab 31

5.5K 766 7
                                    

Laura terbangun dari tidurnya karena rasa sakit pada luka-lukanya. Sepertinya efek obat penahan sakit sudah habis. Dia berusaha untuk bangun perlahan-lahan untuk minum obat lagi. Saat itu Laura melihat Ergi sedang duduk bersimpuh di lantai dengan kepala merebah pada sofa. Laura mengamatinya sejenak. Rambut berantakan tanpa gel, kaus belel, celana jins yang tidak kalah lusuh. Kalau orang-orang di rumah sakit melihat penampilan Ergi saat ini, mungkin dia akan diledek habis-habisan, atau... people would think he's cute.

Laura mengusap matanya. Dia berjalan menuju dapur, membuka kotak obat dan mengambil obat penahan sakit untuk diminum. Jam menunjukkan pukul empat pagi. Hari ini baru hari Minggu, Laura memang masih punya waktu untuk beristirahat di rumah, tapi sepertinya sampai beberapa hari ke depan dia masih belum bisa melakukan operasi. Laura membuka kulkas, mengambil sekotak susu dan menuangkannya ke gelas. Sambil menunggu segelas susu itu dihangatkan di microwave, Laura melayangkan pandangan kepada Ergi.

Dia tidak menyangka, ternyata orang itu adalah Ergi. Ya, Laura tahu, saat Maxime tengah berbuat bejat padanya ada murid lain yang lewat dan melihat. Laura berusaha meminta bantuan, tetapi suaranya terlalu lemah dan murid itu kabur. She felt so helpless. Kenapa Ergi tidak menolongnya saat itu? Kenapa Ergi malah kabur? Kenapa Ergi membiarkannya menderita? Saat itu, meskipun Laura tidak tahu siapa murid yang menyaksikannya, dia kerap bertanya-tanya mengapa murid itu tidak menolongnya. Sekarang, ketika Laura sudah tahu bahwa ternyata murid itu adalah Ergi, rasa kecewa dan pedih yang sudah lama dia kubur jadi bangkit kembali.

Bip! Bip! Bip! Bunyi microwave yang selesai menghangatkan segelas susu membuat Ergi tersentak dan segera bangkit. Matanya segera mencari sosok Laura. Sesaat dia panik ketika tidak menemukan Laura di sofa. Ergi menghela napas lega saat melihat Laura di dapur. Kedua mata mereka bertemu.

"Laura, kamu udah bangun?" tanya Ergi. Well, obviously.

Laura hanya mengangguk.

"Gimana keadaan kamu?"

Laura mengangguk lagi. Ergi tidak tahu apa artinya.

"Udah enakan?"

Tidak. Tangannya masih terasa sakit. Antara perih, nyeri, panas, semua bercampur menjadi satu. Laura khawatir jika keadaannya masih belum membaik sampai Senin, dia harus mengoper sebagian jadwal operasi dan mengundur sebagiannya lagi. Dia pusing harus mengurus mobilnya yang masuk bengkel dan tidak tahu kapan mobil itu bisa digunakan lagi. On top of everything, there's Aimee.

Ucapan Aimee begitu mengejutkannya dan langsung menghidupkan kembali semua memori Laura yang selama ini membeku di kepalanya. Apa yang disampaikan Aimee seakan-akan menyedot Laura keluar dari dunianya yang sekarang dan menempatkannya pada sebuah limbo dengan sejuta pertanyaan. Bagaimana Aimee bisa tahu? Siapa yang memberitahunya? Sejak kapan dia tahu? Apa yang Aimee rasakan mengetahui bahwa Laura adalah ibu kandungnya? Apa juga yang diharapkan Aimee darinya? Dan yang paling membuat Laura penasaran sekaligus ketakutan: did Laura, at some point, through some ways, ruin Aimee's life the way her parents ruined hers?

"Laura, kamu nggak apa-apa?" Ergi menyentuh punggung tangan Laura. Refleks, Laura menarik tangannya karena kaget.

Ergi menatap Laura dengan pedih. Dia menganggap Laura sudah menolaknya, bahkan membencinya. Siapa juga yang tidak? Jika Ergi adalah Laura, dia juga akan membenci orang yang sudah membuat hidupnya berantakan. Tiba-tiba Ergi merasa dirinya tidak berguna. Dia punya sejuta alasan untuk membela diri dan membenarkan mengapa dirinya kabur. Dia ingin menjelaskannya kepada Laura. He was too scared. He was too young. He didn't even know her personally. Ergi tidak mau terseret ke urusan Laura dan Maxime. Dan seterusnya, dan seterusnya.

SINCERELY (Completed)Where stories live. Discover now