Bab 13

5.6K 847 8
                                    

Laura tidak percaya, dia membiarkan Ergi menyetir mobil Alfa Romeo miliknya. Ergi tidak banyak bicara saat menyetir, sepertinya karena tegang berada di balik kemudi mobil mewah tersebut. Sama seperti saat sedang bersama Aimee, Laura membiarkan suara radio menjadi pencair suasana.

"Kalau kamu tinggal sendirian di Jakarta, lantas keluargamu tinggal di mana? Bandung?" celetuk Ergi, ketika mobil berhenti di lampu merah.

Laura tidak menyahut. Pandangan matanya menerawang jauh ke luar jendela.

"Kamu besar di sana?" Ergi masih terus berusaha mengajak Laura bicara. "Saya dulu sekolah di Bandung."

Laura menoleh. Apakah orang ini berbohong hanya supaya dia punya bahan untuk dibicarakan dengan Laura?

"Papa dulu S3 di Unpad, jadinya kita sekeluarga sempat tinggal di Bandung waktu saya SMP," lanjut Ergi. "Tapi, betul-betul cuma 3 tahun aja saat SMP, lalu pindah ke Jakarta."

Lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, tetapi Ergi tidak lantas berhenti bicara. "Saya tinggal di daerah Sukajadi. Enak banget, deh, tinggal di Bandung. Makanannya enak-enak dan jalanannya nggak sepadat Jakarta, at least dulu, ya, waktu saya masih tinggal di sana."

Mobil Laura yang disetir Ergi tiba di depan gedung apartemennya. Laura menyodorkan kartu akses kepada Ergi untuk masuk parkiran penghuni.

"Saya tunggu di sini aja," ucap Ergi. "Kamu nggak lama, kan?"

Laura mengangguk, diam-diam bersyukur Ergi sudah tahu diri tidak ikut meminta naik.

"Kamu bisa sendiri, kan?"

Laura mengangguk sekali lagi. Dia naik ke atas dan mengemasi barang seperlunya, lalu kembali lagi ke parkiran.

"Cepet banget." Ergi terkejut. "Kamu betul-betul udah sembuh, ya?"

"Kan, saya udah bilang." Laura meletakkan tas berisi barang-barangnya di kursi belakang. "Besok pun saya udah kuat operasi."

Ergi tertawa sambil geleng-geleng kepala. "You are a doctor, out of all people you should have known better about what is allowed and what is not."

Laura duduk di kursi depan dan memasang sabuk pengaman. Ergi mengemudikan mobil Laura keluar dari gedung apartemen menuju jalan raya. Ergi melirik Laura. Has she always been this quiet? Laura tidak terlihat seperti sedang menikmati musik dari radio, melainkan hanya melamun memandangi titik-titik hujan di jendela. She's zoning out.

"Apa makanan yang paling kamu suka di Bandung?"

Ergi mengerjapkan mata. Dia menoleh sekilas, menatap Laura dengan takjub. Apa dia tidak salah? Baru saja Laura mengajaknya mengobrol, for the very first time.

"Saya suka basreng," jawab Ergi. Dia menahan diri untuk tidak menyindir Laura, kenapa Laura tiba-tiba mengajaknya bicara, hal yang tidak penting pula. Jarang-jarang ada kesempatan untuk mengobrol dengan Laura seperti ini, so he prefers to just go along.

"Basreng?"

"Iya. Kamu tau, kan?"

Laura tertawa kecil. "Tau, lah."

Senyum Ergi merekah. Baru pertama kali dia melihat Laura tertawa. Tiba-tiba senang rasanya, menjadi orang yang membuat permafrost itu sedikit meleleh.

"Terus, yang saya suka banget juga itu bubur ayam di Jalan Sudirman."

"Bubur Ayam Pa Otong?"

"Kamu tau?"

"Iya, saya tau." Laura mengulum senyum. Sejenak dirinya membayangkan makanan yang dimaksur Ergi. "Saya juga suka."

"Seriously?!" Ergi memekik kegirangan. "Kamu nggak kelihatan seperti orang yang mau makan di kaki lima, lho."

Laura menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa begitu?"

Ergi mengangkat bahu. "Nggak tau, dari auramu aja."

"Saya makan apa aja, di mana aja, yang penting rasanya."

"Tapi, bubur ayam itu emang enak, sih. Abis itu makan martabak yang jualan di dekatnya."

"Martabak yang mana? Andir?"

"Nah, itu." Ergi menjentikkan jari. "Kamu juga suka beli di sana?"

"Iya, buat dibawa pulang abis makan bubur."

"Saya juga!" seru Ergi, penuh semangat. "Biasanya abis Papa pulang kerja, kita makan bubur ayam, abis itu beli martabak buat dibawa pulang. Emang paling enak makan martabak rame-rame, kan?"

"Saya makan sendirian."

"Oh." Raut wajah Ergi berubah.

"Tapi, emang enak, kok." Laura tersenyum kecil.

Ergi membalas senyum Laura sekilas. Dia senang bisa sedikit lebih mengenal Laura siang ini, meskipun hanya sebatas bahwa Laura suka makan Bubur Ayam Pa Otong dan Martabak Andir sepertinya.

Lagu Ipang yang berjudul Sahabat Kecil berhenti mengalun dari radio saat mereka kembali ke parkiran rumah sakit.

"Terima kasih," ucap Laura kepada Ergi.

"Sama-sama," balas Ergi. "Ingat, ya. Kamu masih harus banyak istirahat."

Laura mengangguk.

"Laura?"

"Hmm?"

"It's nice to know you better."

Ketika Ergi berpikir, Laura is not as bad as he thought, dia harus mengubah persepsinya lagi sore hari itu. Aimee datang lagi selepas maghrib untuk menjenguk Laura, sekalipun kedatangannya yang sebelum-sebelumnya tidak disambut hangat oleh permafrost itu. Ergi menemukan Aimee baru saja keluar dari ruang perawatan Laura. Dia menunduk, menyembunyikan wajahnya sambil terisak dan menyeka mata.

"Aimee? Kamu kenapa?" tanya Ergi.

Aimee kaget melihat sosok Ergi. Cepat-cepat dia mengusap kedua matanya, sambil terus berusaha menyembunyikan wajahnya. "Ng-nggak apa-apa, Dok."

Ergi mengernyit. Dia melirik pintu ruangan yang tertutup. Pasti gara-gara Laura. "Laura ngapain sama kamu?"

"Ng-nggak." Aimee menggeleng. Dia berusaha menghindari Ergi. Aimee perlahan mengangkat kepalanya. Senyum di wajahnya terlihat begitu dipaksakan. "Saya duluan, Dok."

Ergi tidak sempat menahan Aimee yang keburu membalikkan badan. Dia hanya menghela napas. Laura kenapa, sih? What is wrong with her? Kenapa, sih, dia benci sekali pada Aimee dan tidak berhenti juga menjadi a big bully?

"Laura! Kamu—" Ergi membuka pintu ruang perawatan tanpa permisi. Namun, langkahnya segera terhenti. Jantungnya mencelus ketika Ergi mendapati Laura sedang duduk di atas ranjang sambil menangis. Permafrost itu meleleh dengan sendirinya. Ergi baru tahu, ternyata selama ini Laura bukan hanya memendam kata, tetapi juga memendam rasa. Isak tangisnya terdengar begitu menyesakkan, seolah-olah dia sedang menumpahkan semua yang selama ini tertahan.

Ergi mundur satu langkah, kemudian satu langkah lagi. Tahu-tahu saja dia sudah keluar dari ruangan. Bukan cuma itu, dia juga sontak membalikkan badan. Pengecut. Ada suara dalam hati kecilnya yang membuat dia seketika berkeringat dingin. Suara yang sama seperti yang didengarnya dulu. Pengecut. Kaki Ergi terasa lemas. Meskipun begitu, dia mempercepat langkahnya. Pengecut, pengecut, pengecut. Ergi mendorong pintu toilet dengan keras, membuat orang-orang di dalam kaget. Pengecut. Kenapa kamu tidak masuk dan menolongnya?

Pyash! Ergi menyibakkan air yang mengalir dari keran ke wajahnya. Dengan napas tersengal dia memandang pantulannya di cermin. Orang-orang menatapnya dengan bingung. Satu per satu mereka keluar, meninggalkan Ergi sendirian di toilet. Sekali lagi Ergi menyibakkan air ke wajahnya, berharap kepalanya menjadi dingin seketika. Saat dia menatap wajahnya di cermin, lagi-lagi terdengar suara itu di kepalanya. Pengecut.

~

SINCERELY (Completed)Where stories live. Discover now