Bab 14

5.4K 817 25
                                    

"Dok, bangun. Makan dulu."

Perlahan-lahan Laura membuka matanya ketika lengannya diguncang pelan. Ada Suster Gita berdiri di sebelahnya. Dia datang untuk mengantarkan makan malam.

"Gimana keadaannya?" tanya Suster Gita.

Laura mengangguk, artinya baik-baik saja. Ternyata dia ketiduran, entah sudah berapa lama, gara-gara dirinya kelelahan menangis. She hasn't cried that much in so many years.

"Dimakan, ya, Dok." Suster Gita mewanti-wanti sebelum pergi.

Laura menatap sup di atas nampan tanpa nafsu makan sama sekali. Bukan karena dia sudah bosan dengan sup, but she's just not in the mood for anything. Laura turun dari ranjang dan berjalan menuju tempat sampah. Dia melihat sebuah kotak kecil persegi panjang yang terbungkus kertas kado beserta kartu kecil yang tertempel. Laura memungutnya. Kado itu dari Aimee. Dengan hati-hati dia merobek kertas kado yang membungkus. Di dalamnya, Laura menemukan sebuah pena dengan tulisan yang terukir: Thank you for saving lives, thank you for saving my life. Mata Laura kembali terasa panas. Setengah mati dia menahan agar air matanya tidak tumpah lagi. Dia tahu apa yang dimaksud Aimee.

Beberapa tahun lalu saat Aimee masih SMA dan Laura belum lama kembali ke Indonesia, dia mendapat kabar dari Tante Rena bahwa Aimee akan menjalani operasi usus buntu. Pesan Tante Rena singkat dan tidak terdengar urgen.

Tante Rena

Laura, besok Aimee operasi usus buntu. Mohon doanya, semoga lancar. Kamu ada saran supaya penyembuhannya cepat?

Alih-alih membalas pesan Tante Rena, keesokan harinya Laura malah izin dari rumah sakit dan memacu mobilnya menuju Bandung. Laura tahu, itu cuma operasi usus buntu. Tapi, ada sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan, yang membuatnya merasa dia harus pergi ke sana. Tentu saja Tante Rena dan Om Lim terkejut melihat kemunculan Laura yang tiba-tiba. Laura tidak bilang alasannya datang karena dia punya firasat buruk dengan operasi ini, takut membuat kedua orangtua Aimee khawatir. Benar saja, operasi itu tidak berjalan lancar. Entah bagaimana Aimee mengalami pendarahan dan membutuhkan transfusi.

"Biar aku yang nyumbang darah untuk Aimee."

Ucapan Laura begitu mengejutkan Tante Rena dan Om Lim, but it sounded so natural to their ears. Laura meminta kedua orangtua Aimee untuk merahasiakannya.

"Terima kasih, Laura. Kamu udah bantuin Aimee," ucap Tante Rena saat itu.

"Itu udah tugasku." Laura membalas singkat.

"Bukan, itu bukan tugasmu lagi. Kamu yang memilih untuk membantunya dan Tante merasa sangat senang, sangat berterima kasih sama kamu."

Ucapan terima kasih Tante Rena membuat Laura merasa tidak nyaman, seolah-olah Tante Rena, Om Lim dan Aimee berhutang budi pada Laura.

"Mungkin, kamu udah punya firasat, makanya kamu datang jauh-jauh dari Jakarta untuk operasi usus buntu yang seharusnya sederhana," lanjut Tante Rena. "Bagaimana pun juga, ikatan antara kamu dan Aimee itu... spesial."

"Nggak, Tante. Kami cuma berbagi DNA yang sama, nggak ada yang spesial." Laura membantah.

Ucapan Tante Rena berikutnya membuat Laura merasa lebih tidak nyaman lagi, sehingga dia memutuskan untuk cepat-cepat kembali ke Jakarta setelah operasi selesai dan keadaan Aimee dinyatakan stabil.

Sampai sekarang, dia bingung bagaimana Aimee bisa tahu bahwa Laura-lah yang menyumbangkan darah untuk Aimee. Namun, sejak saat itu, Aimee jadi berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan Laura, walaupun yang satu di Bandung dan yang satu di Jakarta. Puncak dari maksud baik Aimee itu adalah sore tadi, saat Aimee datang mengunjungi Laura lagi dan memberikan kado ulang tahun untuknya.

"Ini kado ulang tahun buat Ci Laura. Maaf, ya, telat. Baru sempat ngasih Ci Laura sekarang, gara-gara kejadian kemarin." Aimee menyodorkan sebuah kotak persegi panjang kecil yang terbungkus kertas kado, beserta dengan kartu ucapan yang menempel di atasnya.

"Nggak usah, Aimee. Terima kasih." Laura menolak dengan halus.

"Nggak apa-apa, ini emang buat Ci Laura." Tangan Aimee masih mengulurkan kado itu.

"Kamu nggak perlu membalasku kado ulangtahun juga," Laura menggumam. "It's a waste of money. Aku ngasih kamu uang waktu itu bukan untuk hal nggak penting kayak gini."

Raut wajah Aimee mulai berubah. Hatinya menciut, tapi dia masih berusaha terdengar riang. "Aku memang udah lama nabung untuk ini, kok. Ini buat Ci Laura."

"Aku nggak mau."

Aimee terperangah mendengarnya. Sejujurnya, Laura pun kaget ketika kata-kata itu meluncur dari mulutnya tanpa aba-aba.

"Ng-nggak mau?" Aimee tergagap. Dia memaksakan tawa. "Kalau Ci Laura nggak mau, lantas aku harus ngapain sama kado ini?"

"Buang aja."

Sekali lagi, Aimee dibuat terperanjat oleh ucapan Laura.

"Buang aja." Laura mengulangnya dengan nada dingin.

Seketika wajah Aimee memanas. Dia segera menunduk, menyembunyikan matanya yang berlinang.

"Oke." Aimee mengucap lirih, melempar kado yang digenggamnya ke tempat sampah. "Aku pulang dulu, Ci."

Laura tak menyahut. Dia hanya sanggup menelan ludah, agar air matanya tidak tumpah. Tetapi, setelah Aimee keluar ruangan, Laura tak bisa lagi bertahan. Dia langsung terisak hebat. Rasa sesak di dada membuat napasnya terasa sakit. Dia menangis, menangis, dan terus menangis tanpa bisa berhenti. Sejenak dia berpikir, mungkin dia akan mati karena sesak napas lantaran terus menerus menangis. Mungkin, memang sudah sepantasnya dia mati. Laura baru berhenti menangis saat dia betul-betul begitu kelelahan, sampai-sampai bekas jahitan di perutnya terasa sakit. Dia merebahkan diri, masih berusaha mengatur napasnya yang satu-satu sambil memejamkan mata. Saat itulah dia ketiduran.

Ketika bangun, hal pertama yang diingat Laura adalah kado dari Aimee. Dia mengabaikan makan malam yang tersaji di hadapannya. Laura kembali membaca ukiran di pena itu. Thank you for saving lives, thank you for saving my life. Laura merasa seolah ada yang meremas hatinya—rasanya begitu ngilu, terlebih saat dia membaca tulisan yang ada pada kartu ucapan.

Dearest Ci Laura, selamat ulang tahun! Semoga Ci Laura selalu sehat, panjang umur, berada dalam lindungan Tuhan dan dicukupkan-Nya segala sesuatu yang membuat Ci Laura bahagia. With love, Aimee.

Laura menarik napas dalam-dalam. Dia menahan diri untuk tidak menangis lagi. Laura masuk ke kamar mandi, membasahi tisu dengan disinfektan. Tidak seharusnya barang berharga seperti ini dilempar ke dalam tempat sampah. She's worse than a fool. Dengan hati-hati Laura melap pena pemberian Aimee dan kotaknya, dan juga kartu ucapan Aimee. Dia meringis saat tisu basahnya membuat sebagian tulisan Aimee belepotan.

Setelahnya, Laura mendatangi ruang kerjanya dan membuka laci teratas di meja kerja. Dia meletakkan kotak pena dan kartu ucapan tersebut dengan rapi, bersebelahan dengan post-it yang ditempelkan Aimee pada bungkusan nasi ulam dan sebuah kliping berisi kumpulan komik Aimee yang dimuat di Instagram. Laura menutup laci itu dengan perlahan, kemudian menyematkan pena pemberian Aimee di jas dokternya yang tergantung di sudut ruangan. Laura memandanginya sekilas, lalu memejamkan mata. Aimee, untuk kesejuta kalinya, maafin aku.

~

SINCERELY (Completed)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt