Bab 17

5.3K 846 20
                                    

Hari sudah larut malam ketika semua pengunjung sudah pulang. Yang tersisa hanya Laura dan beberapa anggota keluarga lainnya, termasuk juga keluarga Tante Rena.

"Laura." Tante Rena memanggil. "Kita harus ke ambil barang-barang mamamu dulu di rumah buat kremasi besok."

Wajah Laura langsung menegang. Di rumah? Laura tahu rumah mana yang dimaksud. Tentu saja rumah tempat dia besar dulu, namun Laura tidak ingin menginjakkan kaki di rumah itu lagi. Tidak ada satupun kenangan indah yang terukir di rumah tersebut.

"Tante aja yang ambil." Laura menolak.

Tante Rena menatap Laura dengan pandangan yang melunak. "Memangnya kamu pulang ke mana malam ini? Nggak nginap di rumah itu?"

Laura menggeleng. Menginap di sana? Dia tidak sudi.

"Kalau begitu, seenggaknya kamu anterin Tante ke sana? Kasihan Om sama Aimee udah capek. Boleh ya, Lau?"

"Tapi, aku nggak mau masuk, Tante."

"Iya, nggak apa-apa. Kamu tunggu di luar rumah aja."

Akhirnya, Laura terpaksa mengiyakan. Dia meminta tolong Ergi untuk menyetir menuju rumah masa kecilnya di kawasan Dago. Rumah itu mewah dan luas, tetapi sayang sangat dingin dan sepi. Ada seorang satpam yang berjaga di dekat pintu gerbang yang tinggi. Satpam itu menyapa Tante Rena yang keluar dari mobil.

Laura menatap rumah itu dengan tegang. Tidak banyak yang berubah sejak dia meninggalkannya, tetap megah, tetap terawat. Bahkan taman depan yang dihiasi berbagai pohon dan bunga warna-warni juga tidak menunjukkan seolah pemiliknya sudah tiada. Untuk sepersekian detik, Laura bertanya-tanya apa yang akan terjadi pada rumah ini mulai dari sekarang. Kemungkinan besar dia yang akan mewarisinya. Kalau sampai hal itu terjadi, dia akan menjual rumah ini secepat mungkin, rumah tempat dia merajut kenangan paling buruk sepanjang hidupnya.

"Kamu nggak mau ikut masuk?" tanya Ergi heran.

Laura menggeleng.

"Kenapa?"

Laura tersenyum getir. "Kamu beneran mau tau?"

"Kalau saya boleh tau."

Buat Laura, sulit baginya menceritakan apa yang dia alami di rumah itu. Bukan karena malu, tapi karena kadang bercerita berarti mengungkit kembali luka lama. Dia tidak yakin apakah dia sudah memaafkan, yang pasti dia belum bisa melupakan. Mungkin, selamanya dia tidak akan bisa melupakan. Bagaimana bisa? Jika yang dia alami sungguh-sungguh telah merusak semua memori di dalam otaknya?

Di rumah ini, Laura pernah dihajar habis-habisan oleh ibunya dengan rotan. Punggungnya terasa begitu perih dan panas. Laura setengah mati menahan sakit dihajar ibunya yang seolah kesetanan. Dari sudut matanya, dia sempat melihat beberapa asisten rumah tangga diam-diam menyaksikan dengan pandangan horor. Tetapi, tidak ada satupun dari mereka yang berani menghentikan ibu Laura. Siapa juga yang berani? Dia adalah monster. Ibunya masih juga terus menghajar Laura bahkan ketika baju seragamnya sudah penuh dengan rembesan darah. Dia baru berhenti ketika Tante Rena datang.

"Ci! Udah, Ci! Udah!" Tante Rena berusaha menahan tangan ibu Laura.

Dulu, karena ibu Laura jarang di rumah, seminggu sekali Tante Rena datang untuk mengecek keadaan Laura dan rumahnya. Untung saja Tante Rena menemukan Laura. Kalau Tante Rena tidak datang untuk menyelamatkannya, barangkali dia sudah mati.

"Ci! Apa-apaan, sih?!" seru Tante Rena, merebut rotan dari tangan ibu Laura dan melemparnya jauh-jauh. "Kenapa mukulin Laura kayak gitu?!"

"Kamu tau anak ini ngapain?!" Ibu Laura menunjuk Laura yang jatuh terduduk di lantai dengan napas tersengal. "Anak haram ini betul-betul nggak punya otak! Seharusnya kamu mati aja dari awal!"

SINCERELY (Completed)Where stories live. Discover now