3. Keluarga Harison.

12.4K 1.4K 83
                                    

Aldrewana Harison adalah anak bungsu di keluarga Harison. Semua anggota keluarga Harison memiliki otak jenius, keterampilan yang memukau dan sifat yang bijaksana. Namun itu tidaklah terlihat begitu sempurna seperti di media, Wana sebagai anaknya merasa jika keluarga itu setara makhluk neraka.

Ketika sampai di rumah pada jam sepuluh malam, Frans sudah berdiri di ujung tangga dengan tangan yang bersidekap. Lalu kakak pertama Wana yang sudah duduk di kursi, dengan piring di tangannya yang berisi bebek goreng ukuran kecil.

"MENUL!" Wana histeris, ia berlari dan merebut piring yang dibawa Azka itu. Ditatapnya peliharaan kesayangan yang ke lima puluh dua. Lagi-lagi Menul berakhir sama seperti peliharaan yang sebelumnya.

"Papa kenapa jahat!" teriak Wana pada Frans. Pria yang memakai piyama hitam itu mendekat, tanpa diduga langsung menampar pipi Wana hingga pemuda itu terhuyung.

"Apa yang kamu lakukan hari ini? Apa kamu kira Papa tidak tahu?" katanya tajam. Wana mendadak ciut dan menunduk dalam.

Plak

Wana ditampar sekali lagi, seorang wanita yang berdiri di ambang pintu dapur hanya melihat dalam diam, itu ibunya Wana yang bernama Berlin. Kerah baju Wana ditarik dengan kuat hingga membuat Wana tersentak kaget.

"JAWAB!" bentak Frans. Wana mencebik dan terisak. Ia mencengkram lengan Frans yang berada di kerahnya.

"Wana cuman bolos sekali," katanya. Hal tersebut membuat Frans semakin berang, baginya prestasi adalah yang utama.

"Cuma katamu? Apa kamu pikir Papa menyekolahkan mu hanya untuk membuatmu melompat pagar hah?"

Wana terisak semakin keras, ia merasa sesak akan cengkraman Frans. Melihat Wana yang mulai mengambil napas lewat mulut membuat Frans melepaskan kerah baju sang anak dengan kasar.

"Kamu punya otak Wana, Papa menyekolahkan mu agar kamu pintar, bukan membuatmu semakin bodoh. Lihat abang mu, dia selalu menang OSN dan berhasil membangun restoran saat umurnya bahkan seusia denganmu. Jia bahkan lebih pintar, dia mendapatkan banyak prestasi dan beasiswa ke luar negeri. Apa yang kamu dapatkan? Tidak ada, karena kamu bodoh!" cercanya.

"Papa menyekolahkan mu agar kamu bisa seperti dua saudaramu yang lain. Mereka membanggakan dan membuat nama keluarga semakin baik. Bukan malah mencoreng nama keluarga seperti mu! Lihat, hari ini Papa mendapatkan telepon dari gurumu, mereka mengatakan kamu bertengkar dengan murid lain, apa itu benar?"

Nada suara Frans semakin merendah, membuat Wana semakin tertekan dan terintimidasi. Hati Wana sakit ketika lagi-lagi ia dibandingkan, padahal Frans tahu mengapa ia bisa terlambat begitu jauh.

"Papa bertanya padamu, apa itu benar?" tanya Frans sekali lagi. Wana yang tidak bisa menjawab hanya bisa menganggukkan kepala, membuat Frans menamparnya lagi detik itu juga.

Tamparan kali ini begitu kuat, hingga Wana merasa dunianya semakin berat hanya untuk sekedar mengais oksigen, bahkan sudut bibirnya robek karena itu.

"Jangan berlindung dibalik penyakit sialan mu itu. Anak lemah yang hanya bisa menyusahkan pantas mendapatkan nya. Papa tidak akan memberimu ampun lain waktu," kata Frans yang suaranya semakin samar di telinga Wana.

Pria dewasa itu menghela napas pelan sebelum mengendong anaknya yang setengah sadar menuju ke kamar. Jam sepuluh malam, membuat sinar rembulan masuk ke dalam kamar Wana melalui sela-sela jendela yang terbuka.

"Hirup ini," kata Frans sembari memasang masker oksigen di wajah Wana. Ia mengambil suntikan yang merupakan resep dokter, kemudian menyuntikkan nya di lengan Wana.

"Frans sialan," gumam Wana yang mengigau. Frans mengepalkan kedua tangannya sebelum membuka kancing baju sang anak.

"Anak sialan, dasar durhaka," kata Frans. Tak lama pintu kamar itu kembali terbuka, Berlin masuk ke dalamnya dengan sebaskom air hangat.

"Keluarlah, ganti bajumu dan mandi terlebih dahulu. Kamu belum makan malam juga kan," kata Berlin membuat Frans bangkit dan bergegas pergi.

"Dasar tsunder," gumam Berlin. Pria yang merupakan suaminya itu bahkan lupa makan malam karena terlalu sibuk mencari Wana di sekolahnya. Meskipun caranya sedikit salah, Frans tetaplah seorang ayah yang khawatir jika anaknya hilang.

Berlin membuka tablet obat yang ada di atas nakas, ia memaksa sebuah kapsul masuk ke dalam mulut Wana yang sudah tertidur.

Keesokan paginya, Wana sengaja mengunci diri di kamar mandi agar tidak pergi ke sekolah. Memang ia sedikit benci dengan yang namanya belajar, oleh sebab itu ialah yang paling bodoh di antara dua saudaranya.

"Aldrewana Harison!" teriakan itu milik Azka, pria muda itu biasa mengantar Wana ke sekolah sebelum pergi ke restorannya. Namun Wana yang tidak juga keluar dari kamar mandi membuat Azka jelas telat.

"Wana."

"Mampus," gumam Wana ketika mendengar jika itu adalah suara Frans. Ia menghela napas pelan sebelum menatap jendela di kamar mandi, jika ia melompat mungkin akan langsung tamat, jika orang biasa patah kaki, Wana akan tamat karena serangan jantung sebelum menyentuh tanah.

Karena belum menikah dengan Yeyen, Wana tidak mau mati muda. Ia akhirnya memilih keluar dari kamar mandi, tatapan Frans dan Azka langsung tertuju padanya yang hanya mengenakan celana pendek.

"Wana gak sekolah, masih sakit hati Wana," katanya sembari memegang dada kanan.

"Kamu tidak sekolah, Papa memanggilmu karena Lio berkunjung."

Wana langsung kehilangan pijakan begitu mendengar ucapan Frans. Ia terduduk di atas kasur dengan pandangan kosong. Lebih baik ia sekolah jika seperti ini.

"Pa, Wana lupa ada ulangan MTK. Wana harus sekolah sekarang, Wana tinggal ganti baju aja kok." Wana hendak berlari sebelum Frans menarik kerah bajunya untuk kembali duduk.

"Hanya diperiksa dan disuntik, tidak akan sakit. Lebih baik kamu diam dan jangan membuat Papa marah, atau Papa akan memukulmu seperti semalam." Wana terbatuk.

"Kalo gitu pukul Wana aja Pa, Wana murid baik. Gak mau bolos lagi, udah ketinggalan pelajaran banyak." Wana bersikukuh ingin sekolah ketimbang bertemu dengan dokter yang senang sekali melihatnya sengsara.

"Aldrewana Harison," tegur Frans dengan suara dalam. Wana menghela napas pelan sebelum menendang lutut Azka yang sedari tadi memandang nya penuh hina.

"Tidak sopan, sepertinya kamu ingin dipukul dengan ikat pinggang lagi?" Wana menggeleng sebelum menatap lurus ke depan.

"Ya udah, Wana gak sekolah. Keluar sana, Wana mau mandi dulu." Frans dan Azka menurut. Keluar dari kamar Wana detik itu juga.

Namun mereka tidak tahu, jika si empu pemilik kamar tengah mengukur ketinggian balkon kamarnya dengan tanah, lalu mengikat tali tambang dan terjun dari sana. Wana yang berhasil menginjak tanah itu memukul dadanya pelan.

"Kerja sama ya kita, gua gak akan biarin lo kena suntik."

Wana membawa dua buah inhaler sekaligus, ia meninggalkan ponselnya dengan sengaja. Wana berniat kabur selama seminggu, meski nanti mungkin Frans akan menghajarnya habis-habisan. Lebih baik dihajar ketimbang disiksa Lio.

Benar-benar mengerikan.




____

To Be Continue

Lampung, 28 Mei 2022
Selsawi01

Aldrewana H.L [End]Where stories live. Discover now