6. Panggilan Alex dan kehangatan seorang ibu.

12.1K 1.5K 45
                                    

"Dia mirip Mommy."

Wana menunjuk televisi yang menampilkan berita tentang seorang model cantik asal California. Joe terkekeh sembari mengusap rambut pemuda yang duduk di depannya.

"Itu memang Mommy," kata Joe membuat Wana tak percaya.

Pemuda itu mengamati baik-baik potret di televisi dan wajah Joe. Hanya riasan make up yang membuat keduanya tampak berbeda. Wana benar-benar tidak tahu jika Joe adalah seorang supermodel yang mendapat julukan Ratu Catwalk.

"Tidak percaya?" kata Joe membuat Wana menggeleng. Joe menunjukan gambar-gambar saat ia hendak fashion show di beberapa acara. Barulah Wana percaya bahwa Joe adalah seorang model.

"Mommy," panggil Wana. Pemuda itu tampak suka dengan panggilan Joe saat ini.

"Iya sayang?" balas Joe. Hati Wana menghangat, lagi-lagi ia berharap jika Berlin akan menyahut dengan lembut seperti ini suatu hari nanti.

"Boleh minta tanda tangannya gak? Wana mau usaha jualan tanda tangan Mommy. Pasti nanti Wana jadi kaya," katanya.

Wana tahu ia tidak tahu diri, sudah diberi tumpangan gratis, diberi makan layak tanpa perlu membayar, dan sekarang meminta tanda tangan Joe untuk dijual kembali. Namun anehnya, Wana merasa jika ia sudah kenal Joe sangat lama, tidak asing lagi seperti sebuah keluarga.

Mungkin karena perangai Joe yang begitu baik padanya, sehingga Wana merasa ibunya adalah Joe, bukan Berlin.

"Tidak perlu menjadi pedangan untuk hidup mapan. Wana ingin beli apa? Minta pada Daddy, pasti akan langsung diberikan," kata Joe membuat Wana mengernyitkan dahi.

"Daddy siapa? Wana gak punya Daddy tuh, adanya Papa. Itupun sekarang si Prans udah musuhan ama Wana."

Alex yang sedari tadi mendengarkan entah mengapa tidak suka. Ia berpura-pura tidak mendengar dan sibuk memainkan ponsel yang ada di tangannya.

"Jika aku adalah Mommy mu, maka dia adalah Daddy mu. Wana punya Daddy, kalau kamu mau kamu bisa menjadi tanggung jawab Daddy, jika seperti itu kamu akan mendapatkan apa yang kamu mau. Wana ingin mobil akan Daddy belikan, ingin kapal atau lainnya pasti Daddy kasih."

Wana yang mendengar itu merasa tergiur, ia memang tidak kekurangan uang, tapi ia memiliki jiwa materialistis yang meluap-luap. Frans yang selalu memberinya banyak larangan dan pantangan, membuat Wana seolah haus permintaan.

"Itu beneran?" tanya Wana dengan mata berbinar. Joe mengangguk, membuat Wana merasa senang hingga melupakan sesak yang tadi membelenggunya.

Wana bangkit dari duduknya, ia ingin melakukan sesuatu untuk menguji ucapan Joe. Wana duduk di samping Alex yang masih menatap ponsel.

"Daddy," panggil Wana. Joe tersenyum di tempatnya, ia memeluk bantal karena gemas dengan wajah Wana saat ini yang penarasan. Mata bulat itu berbinar seperti lampion malam, Joe benar-benar ingin Wana menjadi anaknya, peduli setan dengan hal lainnya.

"Daddy," panggil Wana lagi. Alex yang baru kehilangan pijakan itu perlahan sadar. Ia menghela napas panjang dan menoleh ke arah pemuda yang kini menopang dagu menatapnya.

"A-apa?" tanya Alex. Wana terdiam dan berbalik menatap Joe yang kini menggigit bibirnya. Wildan yang ada di sana juga menatap Wana.

"Kata Mommy, kalo manggil Daddy bisa dapet mobil. Beneran?" tanyanya.

Dengan tenang Alex memberikan ponselnya pada Wana. Pemuda itu awalnya bingung, namun mendengar ucapan Alex selanjutnya membuat Wana senang bukan main.

"Pilih mobil yang kamu inginkan, akan D-daddy belikan." Joe terkekeh saat Alex menyebut dirinya sendiri 'Daddy' untuk Wana. Padahal jika dengan ketiga putranya yang lain, Alex selalu menggunakan bahasa formal.

"Ini serius?" tanya Wana lagi dengan mata berbinar tak percaya. Alex mengangguk membuat Wana bersorak. Sudah diberi tempat tinggal, diberi makan gratis dan sekarang diberi mobil baru.

"Dua boleh?" tanya Wana lagi. Ia suka Lamborghini Aventador dan Buggati Veyron Super Sport berwarna biru metalik. Alex mengangguk tenang sembari memerhatikan anak itu memilih.

"Sebanyak yang kamu inginkan," balas Alex membuat Wana berjingkrak di atas sofa. Namun ketika denyut menyakitkan itu kembali, Wana memilih duduk di sofa tanpa bergerak sedikitpun.

"Ada apa? Apa tidak ada yang kamu suka di sini?" tanya Joe sembari bergeser mendekat.

Wana bersandar di sofa dan menatap Joe. Ia menggeleng pelan sebelum kembali melihat ponsel Alex. Namun detik berikutnya, Wana dikagetkan dengan sentuhan Joe di dada kirinya. Ia menatap wanita itu yang kini tersenyum lembut.

"Apa dia berulah lagi?" tanya Joe membuat rasa terkejut Wana bertambah dua kali lipat.

"Tak apa sayang, maafkan Mommy sudah mengetahui privasi mu tanpa izin. Dokter yang memeriksa mu waktu itu memberitahu Mommy penyakitmu," kata Joe membuat Wana terdiam.

"Penyakit apa?" sahut Wildan yang tiba-tiba menjadi penasaran. Alex pun turut mendekat.

"Jantung bawaan sejak lahir karena prematur. Katup kirinya tidak berkembang dengan sempurna, kamu juga pernah operasi jantung bocor saat usia empat belas tahun, apa itu benar?" kata Joe membuat Wana beringsut duduk.

"Mommy tau dari sapa?" tanyanya. Joe mengusap kepalanya dengan hangat.

"Itu benar, maafkan Mommy karena mencari tahu tentang dirimu secara diam-diam. Mommy hanya peduli, Mommy tidak mau membuat kesalahan saat kamu berada di sini. Maafkan Mommy," kata Joe pelan. Ia tahu cepat atau lambat Wana akan tahu jika ia selalu memata-matainya.

Jauh dari perkiraan Joe jika Wana akan marah, pemuda itu justru menghela napas pelan dan kembali sibuk dengan ponsel Alex.

"Gak masalah, orang-orang juga udah tau kok. Yang penting, Wana gak mau dikasianin, awas aja kalo Mommy kasian sama Wana. masalah kaya gini mah kecil. Buktinya Wana masih bisa idup sampe sekarang." Joe lega, ia kira Wana akan marah.

"Mommy tidak kasihan, Mommy hanya peduli. Wana itu--" Joe menghentikan ucapannya ketika ia sadar itu berlebihan dan belum saatnya. Wana pasti tidak akan nyaman. Namun Wana yang penarasan dengan kelanjutan ucapan Joe terus mendesak wanita itu agar berbicara.

"Mommy jujur, Wana itu apa? Wana emang ganteng, Mommy mau ngomong apa? Kalo Mommy bohong Wana bakal marah. Jujur gak? Wana pulang nih," ancamnya. Joe langsung menahan tangan pemuda itu.

"Wana itu anaknya Mommy." Wana yang sedari tadi berpura-pura merajuk langsung terdiam di tempatnya.

"Tapikan, Wana anaknya Papa sama Mama." Joe sedih mendengar hal itu, membuat Wana merasa tidak enak. Ia sudah menumpang di sini, akan sangat tidak tahu diri jika menyakiti hati Joe.

Namun diluar dugaan, Joe tersenyum sebelum meraih kedua tangan Wana. Wanita itu mengelusnya dan mengecupnya. Wana menjadi gelisah, ia semakin mendambakan jika Berlin suatu saat akan seperti Joe.

"Ikatan darah tidak menentukan sebuah hubungan sayang. Mommy memang bukan yang melahirkan mu, tapi kasih sayang seorang ibu itu selalu untuk anak-anaknya. Mungkin ini terdengar aneh dan tidak masuk akal, tapi saat melihat mu waktu itu, Mommy ingin menjadi ibumu. Tidak peduli seberapa banyak tetesan darah asing di tubuhmu, bagi Mommy, anak adalah anak."

Wana tidak tahu harus berkata apa, ia merasa tersentuh. Namun tidak bisa bereaksi banyak. Masih nyaman pada lamunannya, Wana tersentak saat Joe mengecup keningnya. Ia merasa hangat, hatinya bergetar bahagia.

Dalam hati bertanya, apa seperti ini kecupan seorang ibu?

Jangan heran ketika Wana bertanya, ingatannya saat kecil sangatlah samar, namun Wana jelas ingat sejak usia lima tahun ia tidak pernah mendapatkan kecupan seorang ibu.

Jangankan kecupan, duduk berdua dengan Berlin untuk bercerita tentang sekolahnya saja ia tidak pernah. Untuk mendapatkan waktu Frans dan Berlin, bahkan lebih sulit dibanding mengangkat gunung dengan jari kelingking.

"Izinkan Mommy menjadi ibumu. Terkait ruang di hatimu, terserah. Mommy hanya ingin menjadi ibumu."


____
GC wa udah dibuka, yang mau masuk bisa hubungi aku. Wa ku ad dideskripsi, jangan lupa cantumkan nama + tahun lahir.



Aldrewana H.L [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang