61. Ambiguitas.

4K 549 46
                                    

Semuanya terjadi begitu saja, namun waktu seolah berputar lama. Joe tidak tahu harus berbuat apa, yang bisa ia lakukan adalah berdiam diri di sisi sang anak yang kembali masuk ke kondisi rawan. Ia tidak berani masuk ke dalam ruangan, takut jika kehadirannya mampu mengganggu sang anak yang tengah beristirahat tenang.

"Ini semua salahmu, seharusnya kau lebih pintar untuk melihat peluang yang terjadi. Jika kau lebih cerdik, semua ini tidak akan terjadi."

Entah sudah berapa lama Joe terus menuduh dan mendorong kesalahan pada Alex dan Jolyon. Mereka itu pintar, bagaimana bisa mereka tertipu bajingan kotor seperti Frans dan Ferdi? Bukankan itu menyatakan bahwa kedua bajingan itu lebih pintar?

"Aku tidak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan," lirik Joe.

Sosok tersebut tampak kusam selama beberapa hari, beberapa helai rambut tampak keluar dari formasi di kepala yang biasa terlihat rapih. Joe tidak pernah terlihat lebih berantakan dari ini.

Suara lirihnya membuat Alex dan Jolyon terdiam. Tampak tak kuasa membela diri, lagi pula apa yang dikatakan Joe benar, jika mereka lebih teliti, kondisi Wana tidak akan menurun drastis dan membuat anak itu melihat pertunjukan luar biasa dari ayah kandungnya sendiri.

"Jika begini rasanya, lebih baik dari awal aku tidak dipertemukan dengan anak bernama Wana." Kalimat ini membuat orang yang ada di ruang tunggu mengangkat kepala.

Nyonya dan Tuan besar Lordeon yang langsung menuju ke sana ketika mendengar suatu yang besar terjadi itu menghela napas pelan. Tidak bisa menyalahkan Joe yang terus berkata hal-hal menyakitkan.

Sementara Joe yang kebingungan dengan situasi saat ini tidak menghiraukan. Wanita tengah berandai-andai, jika saja ia tidak bertemu dengan Wana, maka seharusnya ia tidak akan merasakan rasa sakit seperti ini, namun jika ia tidak bertemu dengan Wana, maka ia tidak tahu rasanya memiliki keluarga yang hidup dan merasakan menjadi sosok seorang ibu yang sebenarnya.

Wanita itu memejamkan matanya, memang sakit, hatinya sakit dan pikirannya bingung. Namun nuraninya terus berteriak, jika ia tidak bertemu dengan Wana, maka tidak ada artinya hidup yang benar-benar hidup. Karena tanpa ia sadari, hati dan pikirannya  hidup karena anak itu.

Joe meringis, mengepalkan tangannya hingga kuku-kuku tajam itu mengorek daging di telapak tangannya sendiri. Tak lama ia bangkit, memakai pakaian steril dari dalam lemari dan memilih memasuki ruangan isolasi tempat Wana berada.

Dokter mendiagnosis, tak hanya jantung, penyakit lambung Wana yang semula tenang kini memberontak juga membawa serta pneumonia gerd. Sehingga anak itu harus dimasukan ke dalam isolasi demi paru-parunya yang tengah bermasalah. Mengingat hal ini membuat Joe terisak tanpa suara. Menatap pada Nasogastric Tube yang dimasukan melalui hidung anaknya. Betapa tidak adilnya dunia ini untuk anaknya.

Dari semua hal yang menyakiti anaknya, Joe beruntung bisa hadir sebagai sosok yang menjadi pelipur laranya Wana.

Sebulir air mata jatuh dari pelupuk seindah teratai itu, Joe mengusap air matanya. Takut jika mengenai sang anak yang saat ini tengah berada dalam kondisi rapuh.

"Sayangnya Mommy kesakitan ya, maafin Mommy, Nak. Belum bisa memberikan yang terbaik untuk Wana, Mommy janji setelah ini dan Wana kembali sembuh, Mommy akan menuruti apapun kemauan Wana, kecuali untuk makan-makanan tidak sehat. Kata dokter, lambung Wana semakin parah, Mommy tidak tahu jika Wana sering mencuri mie instan di dapur dan memiliki kompor listrik di kamar. Anak nakal," ucapnya.

Joe bingung sendiri. Entah ia harus bagaimana untuk membuat anaknya merasa nyaman nanti. Ia takut jantungnya kambuh karena terlalu lelah, dan lambungnya semakin parah karena memakan makanan sedikit nikmat, atau paru-parunya yang bermasalah karena menghirup sedikit debu di udara.

Aldrewana H.L [End]Where stories live. Discover now