16. Tamparan dua sisi.

12.3K 1.4K 90
                                    

Suasana yang hening itu terasa mencekam, hingga tulang yang berada di balik epidermis pun terasa ikut menggigil gemetaran. Tatapan tajam itu langsung dilayangkan, meski telinga belum sempat mendengar dengan baik. Bukan belum namun berusaha mengelak informasi yang baru terdengar.

"Katakan sekali lagi," ujar pria tua yang menegakkan punggungnya. Tatapan setajam elang khas Harison itu terlihat begitu menakutkan bagi mereka yang tidak kenal. Memang, meskipun sudah tua, aura intimidasi dan kharismanya begitu kuat hingga tak mampu membuat pria yang berada di depannya mengangkat kepala.

"AKU BILANG KATAKAN SEKALI LAGI, APA KAU TIDAK DENGAR FRANS?" teriaknya penuh amarah. 

Frans yang tengah menghadapi amarah sang ayah untuk pertama kalinya itu merasa terkejut. Pria itu mendongak dan menemukan mata memerah sang ayah yang kini seolah bisa menelannya hidup-hidup.

Tak ada yang berani buka suara, baik Frans, Berlin maupun kedua anak Frans yang lain. Tuan Harison yang melihat itu hanya bisa menendang laci nakas seharga dua ratus juta di sampingnya. Ia benar-benar marah saat ini.

Datang dari Aussie untuk menemui cucu bungsu nakalnya, namun yang ia dapati justru berita tentang Aldrewana yang diusir oleh ayah kandungnya sendiri. Katakan apa yang harus Tuan Harison katakan pada istrinya nanti jika wanita itu menyusulnya ke Indonesia.

Tuan Harison benar-benar tak habis pikir oleh pola pikri Frans. Ia tahu jika hubungan pria itu dan Wana memanglah tidak baik. Berulang kali ia ingatkan pada Frans agar tak terlalu keras pada Wana, anak itu berbeda dari kedua saudaranya yang lain. Namun Frans sama sekali tidak mendengarkannya.

Bahkan saat Wana koma karena dikurung ayahnya di gudang, Tuan Harison tahu hal itu dan membuat kesepakatan. Tapi saat ini Frans melanggarnya, tentu hal ini membuat Tuan Harison marah bukan main. Yang paling membuat hatinya sakit adalah keberadaan cucunya yang entah berada di mana. Apakah anak itu baik-baik saja.

Tuan Harison benar-benar tidak dapat memikirkan kemungkinan terburuknya, ia takut. Wana itu berbeda, meski sikap anak itu yang tidak mau dibedakan. Tapi seharusnya mereka sebagai orang tua yang mengerti.

Seorang anak itu harus dibimbing dan diawasi, bukan justru ditekan terus menerus untuk menjadi sempurna tanpa mengingatkan batasan yang ada. Karena pada dasarnya, seorang anak itu hanyalah ranting rapuh yang memerlukan nutrisi untuk terus tumbuh membentuk batang kokoh.

"Kau!" Tuan Harison menunjuk wajah Frans dengan telunjuknya. Rahang pria tua itu mengeras menahan amarah.

"Temukan cucuku dalam keadaan sehat, aku memberimu waktu seminggu. Jika aku yang menemukannya terlebih dahulu, jangan harap kau melihat cucuku lagi." Tuan Harison berlalu dari sana setelah berkata demikian. Pria tua itu sempat memberikan tatapan kecewanya pada Berlin yang hanya bisa menunduk sembari menahan air mata.

Berlin adalah seorang wanita. Memenuhi kewajiban sebagai seorang istri memanglah wajib, namun jika kewajiban itu sudah melangggar dan menyakiti anak sendiri. Seharusnya jangan dilakukan. Liliana pernah memeringati Berlin, namun menantunya itu terlalu santai menanggapi. Hingga kejadian seperti ini terjadi, barulah Berlin menyesal.

"Bodoh."

_____

"Wana! Sayangnya Mommy, dimana kamu Nak?" 

Teriakan Joe itu menggema hingga ke seluruh ruangan, penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah pemuda berjaket tebal yang saat ini tengah bersembunyi di belakang sofa. Joe yang khawatir Wana pergi keluar, sementara udara di luar tengah dingin-dinginnya. 

Mnedengar teriakan Joe, Wana yang tengah menikmati mendekam di balik jaket tebal itu melongok ke belakang sofa. Detik berikutnya mata anak itu melebar dan berteriak hingga membuat Joe bisa menemukannya.

Aldrewana H.L [End]Where stories live. Discover now