18. Sisi lain Zach.

11.2K 1.4K 100
                                    

Ketika membuka mata, pemandangan yang Wana lihat pertama kali adalah wajah seseorang yang menatapnya dengan ekspresi tidak terbaca. Ia meringis, merasakan sakit di sekujur tubuhnya ketika hendak bergerak.

"Diam bocah," kata Zach yang ada di ruangan itu.

Wana mengedarkan pandang, kamar asing yang begitu familiar di matanya, rumah sakit. Mengingat kejadian terakhir kali membuat Wana bersyukur setidaknya ia masih diberi kehidupan sampai sekarang. Ia masih dapat membuka matanya dan melihat dunia.

"Daddy?" tanyanya. Alex adalah wajah yang terkahir kali ia lihat ketika menutup mata. Ketidakhadiran pria itu membuatnya bingung. Ia juga sempat heran saat Zach ada di sini, bukankah pria ini tidak suka padanya?

"Heh anak manja," gumam Zach yang masih mampu didengar Wana. 

Yang lebih muda menghela napas panjang. Hidup tidak semudah kelihatannya, meski Joe sangat menyayanginya, tapi belum tentu dengan ketiga putranya. Mengingat hal ini membuat Wana kembali ditampar kenyataan, ia hanyalah orang asing yang tidak memiliki rumah.

"Wajahmu sangat jelek bocah." Ucapan Zach itu membuat atensi Wana teralihkan. Ia juga baru sadar jika di ruangannya kini terdapat seorang dokter dan beberapa perawat, temasuk Alex yang baru masuk ruangan.

Menghadapi sikap Zach entah mengapa membuat Wana yang sedang sensitive merasa tidak nyaman. Ia berbalik dengan perlahan membelakangi orang-orang itu, bahkan Wana menghempaskan tangan sang dokter yang memintanya tidur telentang.

"Mau pulang," gumamnya dengan suara tercekat seperti menahan tangis. Zach yang mendengar itu mendengus pelan sebelum berujar dengan mulut pedasnya itu.

"Anak manja menyusahkan, lebih baik diam di sini hingga kau sembuh. Aku tidak mau membawamu ke rumah sakit kalau kau kambuh lagi," katanya. Wana yang mendengar itu langsung terisak.

"Anterin hiks ke rumah Papa, Wana mau pulang ke Indonesia." Alex yang mendengar itu langsung mendekat, berbeda dengan Zach yang melotot tidak percaya, dengan perlahan pemuda itu mundur teratur. 

"Jangan menangis, kau tidak boleh memikirkan banyak hal yang akan membuat mu stres," kata Alex sembari menepuk dahi Wana. Dengan perlahan namun pasti, pria dewasa itu mampu membalik tubuh Wana untuk telentang, membuat dokter lebih mudah untuk memeriksanya.

Jolyon membuatnya kambuh, bahkan tidak membantunya yang nyaris sekarat. Dan Zach secara terang-terangan mengungkapkan ketidaksukaannya. Lantas apa Wana akan merasa nyaman dengan hal itu? Ia adalah tipe orang yang terlalu banyak berpikir.

Salah satunya, kehadiran Wana di tengah keluarga ini memang tidak diharapkan. Mungkin hanya Joe, tapi meskipun begitu mereka adalah anak-anak Joe yang lebih berhak. Wana hanya orang asing yang diberikan tumpangan.

"Mau pulang hiks, Wana mau pulang." Setelah sang dokter selesai memeriksa, Alex langsung memberikan rengkuhan pada anak itu. Ia tidak tahu trauma apa yang Jolyon saat di perjalanan hingga membuat Wana ingin kembali ke keluarga aslinya.

"Hei, aku hanya bercanda." Sahutan Zach itu tidak membuat tangisan Wana berhenti. Anak itu menyembunyikan wajahnya di dada Alex. Hingga napas tidak teratur itu membuat Alex melepaskan rengkuhan. Dokter yang ada di sana dengan sigap menyalurkan kadar oksigen lewat Nassal canula lebih tinggi.

"Jangan menangis, Nak. Tenang, apa yang terjadi padamu." Alex mengusap punggung kecil itu dengan lembut, tak kuasa melihat air mata yang menetes di kedua pipinya. Entah mengapa Alex tidak suka melihat anak ini menangis palagi kesakitan seperti sebelumnya.

"Maaf udah nyusahin Daddy, Wana mau pulang aja." Alex melirik ke arah Zach sedari tadi menunduk dengan raut bersalah. Ia menghela napas pelan, tampaknya mengerti apa yang terjadi. Zach itu pendiam dan benci keramaian, namun sekalinya berbicara tanpa berpikir dan peduli bahwa bisa saja ucapannya sudah kelewatan.

"Jangan katakaan itu, nanti sore Joe kembali. Dia membawa sepeda baru yang dipesankan Zach untukmu. Sepeda itu memiliki roda di sampingnya, jadi kau tidak akan bisa terjatuh." Tangisan Wana langsung berhenti detik itu juga. Ia mengintip ke balik punggung Alex dan menemukan Zach yang langsung berbalik ke arah lain.

"Zach juga memesankanmu alat olahraga yang bisa melatih jantung. Jadi kau bisa mulai olahraga secara teratur mulai sekarang." Alex sengaja, Wana hanya tidak tahu seberapa antusiasnya Zach akan kehadirannya, sementara Zach yang juga tidak bisa mengungkapkan perasaannya dengan baik.

"Jangan menangis lagi, setelah keluar dari sini Daddy akan mengajarimu naik sepeda lagi." Wana menjadi sedikit lebih tenang, ia mengelap cairan kental yang keluar dari lubang hidungnya ke dasi Alex.

Srottt.

"Bagaimana?" tanya Alex yang tidak memerdulikan cairan lengket di dasinya. Ia merebahkan Wana ke posisi awal sebelum menatap dokter penuh tanya. Sang dokter tersenyum tipis.

"Bisa kita bicarakan di ruangan saya?" tanyanya. Alex menatap telunjuknya yang digenggam Wana. Sang dokter seolah mengerti dan berkata bisa dibicarakan seteelah Wana tertidur. 

Setelah itu keheninganya menguasai ruangan yang didominasi warna putih, hingga akhirnya Alex berujar.

"Sudah menangisnya?" tanya Alex yang dijawab anggukan langsung oleh Wana.

"Udah," jawabnya jujur. Alex tak kuasa menahan kekehan, baru kali ini ia mendengar orang berhenti menangis dan bisa menjawab. Menghela napas pelan, Alex menoleh ke arah Zach yang masih terdiam.

"Pulanglah, laporkan padaku jika terjadi sesuatu." Zach mengangguk, melirik Wana sejenak sebelum berlalu dari ruangan itu. Wana yang memang masih lemah itu kembali memejamkan mata, hingga tak sadar senja mulai datang, pun dengan Joe yang sudah berada di ruangannya.

Menatap penuh kelembutan. Wana tahu, seharusnya Joe pulang dua hari lagi. Namun entah mengapa wanita itu sudah berada di sisinya saja. Setelah disuapi oleh Joe, Wana kembali terdiam. Memikirkan sesuatu yang selalu mengganggu kepalanya, namun Wana tak bisa mengungkapkannya.

"Mommy," panggil Wana membuat Joe yang tengah melipat selimut Wana itu menoleh. Dikecup nya kening Wana dengan lembut.

"Wana mau ngomong sesuatu," lanjutnya dengan wajah serius yang membuat Joe menatapnya tak biasa. Wanita itu mengesampingkan selimut yang seharusnya ia lipat, kini atensinya sepenuhnya jatuh pada Wana.

"Katakan sayang, jangan ragu. Mommy akan mendengarkan mu." Sikap Joe yang seperti ini yang membuat Wana lengket dengannya dan sellau berandai-abdai Berlin adalah Joe. Namun Wana tahu tidak seharusnya, karena bagaimanapun juga mereka adaalah dua orang yang berbeda.

"Dari awal, Wana bilang ke Mommy kalo Wana numpang kan di rumah Mommy." Kalimat itu entah menagapa tak terdengar bagus di telinga Joe dan Alex yang sedari tadi mendengarkan di sofa pojok ruangan.

"Dari awal juga Mommy sudah katakan, rumah Mommy rumahnya Wana juga," sahut Joe secara impulsif. Ia tak suka topik yang akan dibawa Wana kali ini.

"Wana gak pernah ngasih tau Mommy kalo Wana punya Opa sama Oma yang sayang Wana, gak kaya Papa. Jadi mereka pasti bakal terima Wana di rumah mereka, gimanapun juga Wana kan cucu mereka." Ketika sedang tertekan, Wana lupa akan superhero nya yang satu itu.

"Dan meninggalkan Mommy sendirian?" tanya Joe yang membuat Wana menghela napas. 

"Mommy lupa, Wana juga kan punya keluarga. Kalo Opa tau Wana diusir Papa, Opa pasti bakal marah ke Papa. Lagian, Wana orang asing buat Mommy, Wana cuman kenal Mommy karena Wana gagal ngerampok." Joe terdiam, ia tak berbicara dan mengalihkan pandang. Menatap Alex dengan tatapan yang berbeda seakan sedang mengatakan;

"Aku ingin egois Alex."

Alex yang mengerti langsung memutar otak dengan cepat. Hingga sebuah kejadian menguntungkan membuatnya tampak semakin tenang.

"Wana," panggilnya yang membuat atensi Wana teralihkan.

"Opa mu itu, tidak bisa diandalkan." Wana bingung, hingga ucapan Alex selanjutnya membuat ia tidak percaya.





_____

Emangnya Daniel aja yang bisa nipu. Alex juga bisa kaleee



Aldrewana H.L [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang