52. Sayatan Hati.

7K 827 67
                                    

Ketika semuanya terwujud, maka tidak ada yang bisa dilakukan. Manusia yang berhasil adalah mereka yang mampu bertahan dari rasa sakit. Namun, berkata terlalu eksplisit. Nyatanya paku yang terbuat dari baja pun akan patah pada akhirnya ketika dihantam palu berkali-kali.

Benih kaca yang mulai retak dari ujung netra, bahkan petrikor pun tak mampu membuat tenang. Ketika renjana hadir, Wana terbiasa melupakan segalanya. Nyatanya keadaan terlalu kejam hingga aphrodite bahkan tidak bisa menghibur dengan kecantikannya.

"Sakit, Mom."

Keadaan saat ini benar-benar aneh. Wana menangis di pelukan Joe, pria muda itu terisak-isak penuh sendu. Hatinya sakit. Teringat wajah Berlin yang seolah benar-benar mengharapkannya kembali, namun teringat bagaimana perlakuan wanita itu dulu padanya.

Wana jadi ragu, akankah itu hanya pertunjukan agar membuatnya kembali. Untuk apa mereka kembali hadir di saat ia telah menemukan sebuah tempat yang disebut rumah. Bukankah Frans yang mengusirnya dengan mata penuh tekad dan keyakinan, dan saat itu mereka diam.

Berlin yang hanya menonton ketika ia diseret ke gudang, ketika ia sekarat oleh keegoisan Frans, ketika ia butuh sebuah tangan untuknya kembali bangkit. Pada saat itu ia benar-benar sendiri, mungkin ia akan sangat bahagia dan merasa bahwa salah satu anggota keluarganya ada yang menyayanginya.

Mengapa harus sekarang.

"Hentikan sialan! Tidak ada gunanya kau menangisi mereka yang tidak peduli padamu. Benar-benar bodoh!"

James membentak, entah mengapa ia tidak senang mendengar anak sialan itu menangis, mungkin terlalu berisik.  Wana sedikit tersentak oleh suara James yang bernada tinggi. Namun itu semua tidak membuatnya berhenti menangis, justru anak itu semakin keras terisak.

"Hei sayang, kesayangan Mom. Katakan pada Mommy, apa yang membuat kesayangan Mom sangat sedih?" tanya Joe dengan nada yang begitu lembut dan penuh perhatian.

Ia mengusap rambut sang anak yang saat ini menyentuh dagunya, dan melototi James dengan mata setajam laser. Joe tahu, ia paham apa yang dirasakan Wana meski tidak pernah berada di posisinya. Namun Joe adalah ibu yang baik, sehingga ia mencoba memahami bagaimana perilaku, sikap dan pemikiran anaknya.

Wana menggeleng pelan," bukannya Wana mau jadi anak durhaka. Tapi sekarang Wana belum mau pulang, Wana gak mau ngelawan Mama. Tapi papa sendiri yang usir Wana. Wana gak mau pulang sebelum Wana bisa jadi kaya yang papa mau, Wana belum siap Mom."

Teringat jelas bayangan bagaimana angan-angan Frans tentang dirinya. Mata tajam yang penuh tekad, mulut lurus yang seakan kata-katanya tidak dapat ditarik kembali. Tubuh tegap bak benteng perlawanan yang telah mengeluarkan dekrit mutlak dan tidak bisa disanggah.

"Sttt sayang dengar nak dengar."

Ketika tangisan sang anak semakin keras, maka semakin hangat peluk yang coba Joe keluarkan. Ia masih di dapur ketika James membawa Wana dengan paksa. Anak itu sudah menangis, ia hampir saja melempar James dengan tabung gas.

"Wana tidak salah, anaknya Mom bukan anak yang akan melawan orang tua, Mommy paham. Mungkin saat ini Wana sedang tidak tenang, tapi dengar apa yang Mommy katakan. Wana tidak perlu menjadi sesuatu untuk membuat puas seseorang, Wana hanya harus menjadi diri sendiri sebelum menunjukannya ke orang lain."

Joe menangkup pipi anaknya, mengecup air mata basah dan bibir yang terus berkata negatif. Ia menatap dalam ke arah mata sang anak yang saat ini membuatnya terpana. Matanya dalam, namun orang yang memperhatikannya akan melihat bahwa sinarnya tidak seperti biasanya. Seolah kaca yang menutupi selama ini retak sedikit demi sedikit.

"Idup Wana gak gratis. Papa bilang Wana harus bayar. W-wana tau Wana gak---"

Alex memejamkan mata, kalimat selanjutnya ia tidak mau dengar. Pria tegap yang sedari tadi diam itu mulai mengepalkan tangannya. Orang tua macam apa yang menjatuhkan mental anaknya seperti itu? Frans benar-benar bajingan. Alex bersumpah tidak akan membiarkan Frans hidup tenang.

Aldrewana H.L [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang