23. Keluarga Alex.

11.1K 1.4K 123
                                    

"Ketek Daddy harum."

Wana yang tengah bersembunyi di ketiak Alex itu berujar hingga membuat seorang pria paruh baya yang duduk di depan keduanya tersedak. Wana mengintip sedikit, ia bisa melihat orang yang merupakan Kakaknya Alex itu mengalihkan pandang dengan bahu bergetar. Hela napas Alex terdengar, ia menarik kepala sang anak dari sana.

"Tidak perlu malu, mereka hanya orang-orang tidak berguna," katanya yang membuat pria berumur yang duduk di sofa ujung memberikan tatapan datar. Wana baru tahu, jika kedatangan kerabat Alex kemari adalah untuk acara keluarga sekaligus melihatnya yang telah dipelopori oleh Joe.

"Hei tampan, siapa namamu?" tanya seorang wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai kakak Alex yang paling tua. Wana menelan salivanya gugup, ada banyak orang yang kini menatapnya. Semua tampak asing, Wana juga bisa melihat Wildan yang wajahnya sedikit membiru.

"Nama ya? Em Aldrewana Hari---"

"Drewana Lordeon!" sahut Joe secepat mungkin, ia tidak suka anaknya memakai nama lain. Wana yang mendengar itu langsung teringat ucapan Frans dulu, jika marga Harison tak lagi boleh ia gunakan. Menghela napas pelan, Wana menoleh kala punggungnya diusap Joe.

"Drewana Lordeon, secara hukum memang bukan anak Mommy, tapi hukum hanya formalitas. Yang menentukan adalah diri sendiri, Wana anaknya Mommy. Apapun yang terjadi, you never walk alone," Bisikan yang hanya bisa didengar Wana dan Alex itu membuat hati sang pemuda menghangat. Ia tersenyum tipis, persetan dengan ia yang diterima keluarga Alex atau tidak, ia percaya Joe akan selalu ada di sampingnya.

"Nama aing Drewana Lordeon, ada yang gak suka? Kalo gak suka ngomong sekarang, jangan kaya Zach yang bisanya cuman nyindir." Wana berkata sembari bangkit, ia menatap orang-orang itu bergantian. Ucapan Joe membuatnya semakin percaya diri. Wana tak peduli, ia tidak biasa menggunakan dua wajah hanya untuk mendapatkan hati.

"Tidak, kemarilah." Pria tua bertubuh gagah yang merupakan kepala keluarga itu mengangkat tangan, membuat Wana tanpa ragu mendekat dan duduk di ruang kosong sampingnya. Ketika melewati beberapa orang yang ia duga para keponakan Alex, Wana tak lupa mendelik garang, seolah berkata;

"Kalo lu gak terima gue, gue bantai lu. Jangan cari masalah sama orang tampan ini."

Wana yang telah duduk itu langsung menatap pria tua yang ada di sampingnya. Melihat pria itu membuat Wana jadi mengingat salah karakter John Rambo, yang berbeda pria ini jauh lebih gagah dan tampan. Wana yakin dompetnya tebal.

"Kenapa Pak Old manggil Wana?" tanyanya. Mereka semua asli orang California, pasti tidak terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Jadi Wana akan mencoba skill nya dalam berbahasa Enggres. Tuan Lordeon langsung menatap Alex dan Joe yang tampak mengalihkan pandang dengan bahu bergetar.

"Nak, jika kau tidak terbiasa menggunakan bahasa asing, gunakan lah bahasamu." Wana menggeleng tegas, ia langsung melihat ke arah Wildan yang kini bergumam tentangnya pada saudaranya yang lain. Sial, ia menjadi bahan gibahan, Wana harus lebih membuktikan.

"No! No, Wana iso kok ngomong Enggres." Wajahnya tampak meyakinkann, namun justru membuat pria tua itu melengos ke arah lain. Tak lama suara tawa terdengar, ketika menoleh Wana menemukan Wildan dan para sepupunya yang tertawa sembari menatapnya. Wana merasa ciut seketika, ia menunduk dan merasa terpojokkan.

Wana sungguh malu, sampai tak ada cara lain untuk melarikan diri, kecuali menangis seperti yang sedang ia lakukan kini. Wana menutup kedua wajahnya dengan kedua tangan. Wajah hingga lehernya memerah ketika tawa mereka semakin keras, bahkan kini adik bungsunya Alex ikut tertawa.

"Hei." Wana merasa tangannya ditarik seseorang hingga wajah basah memerah miliknya bisa dilihat semua orang. Merasa bahwa Alex tak akan menertawainya, Wana memilih menyembunyikan wajahnya di dalam tuxedo Alex, kemudian kembali menangis hingga sesenggukan.

"Hentikan," kata Tuan Lordeon membuat suara tawa itu seketika sirna. Ia menarik Wana dari belakang hingga anak itu tersadar jika wajahnya tidak lagi tertutupi. Ia menoleh ke kanan dan kiri sebelum menunduk sesenggukan.

"Jangan menangis, jangan menangis Nak. Kesalahanmu di sini adalah kau melupakan jati dirimu dan menjadi orang lain, lalu, jangan tunjukan kelebihanmu di depan keluarga. Tunjukanlah kelemahanmu, karena keluarga tidak akan menjatuhkan, melainkan membantumu merakit sebuah keajaiban." 

Joe dan Alex yang mendengar itu merasa terharu, meskipun sikapnya dingin, namun tuan Lordeon adalah pria yang amat baik dan dewasa. Lihat bagaimana cara beliau membentuk sesuatu di dalam diri Wana, meninggalkan akar baik yang kelak tumbuh pohon positif. Dari kata-katanya, Tuan Lordeon hanya ingin menyampaikan jika Wana adalah bagian dari keluarga mulai sekarang.

Lantas jadilah diri sendiri agar Wana menjadi nyaman, melengkapi satu sama lain dan tidak menganggap mereka orang asing.

"Hiks Wana gak punya keluarga." Joe yang mendengar ucapan tiba-tiba itu merasa sakit, ia bangkit menarik anaknya dari sana. Sesudah pamit, ia langsung membawa Wana kembali ke kamarnya. Cukup sudah untuk hari ini, Joe tidak mau anaknya semakin tertekan.

Hari ini cukup melelahkan baginya, masalah pagi tadi dengan James, dan sekarang kehadiran banyak orang asing. Joe mengerti pasti sulit untuk putranya. Ia membaringkan Wana sebelum akhirnya ikut berbaring. Anak itu masih sesenggukan dan tertidur membelakanginya. Namun Joe tak akan membiarkan anaknya sendirian.

Dengan lembut ia membalik tubuh Wana, kemudian merengkuhnya dengan begitu hati-hati. Anaknya sedang bersedih dan Joe harus mencari cara untuk menghiburnya.

"Lupakan semuanya, hanya ada Mommy dan Wana di sini. Biarkan Mommy ceritakan sebuah kisah."

_____

"Waktu kalian hanya seminggu. Cari jejak jelmaan iblis itu secepatnya. Temukan dari CCTV atau orang-orang terdekatnya." Ferdi berujar melalui ponselnya. Ia telah bertekad untuk menemukan anak nakal itu secepatnya, mengandalkan Frans yang saat ini sedang berada di rumah sakit tidak ada gunanya. 

Maka Frans menyuruh semua kaki tangannya untuk bergerak. Ia benar-benar kesal, dua bulan ponakannya menghilang dan ia baru tahu sekarang. Bukankah jika ia tahu lebih cepat, peluang menemukan anak nakal itu masihlah besar. Jika seperti ini, siapa yang bisa meyakinkan Ferdi jika anak iblsi itu masih berada di dunia yang sama dengannya?

Ferdi jelas tahu bagaimana kondisi anak iblis itu, meskipun sifatnya seperti iblis, namun tubuhnya seperti kaca yang mudah pecah. Ferdi benar-benar tidak akan memberitahu Frans jika ia menemukan anak iblis itu, biarkan saja Frans menderita dalam penyesalan selamanya.

Sementara di sisi lain, ruangan yang didominasi warna putih itu terasa sepi dan tanpa kehidupan. Hanya terisi sepasang suami istri yang saling berdiaman tanpa mau buka suara. Frans menghela napas pelan, saat itu juga rasa sakit langsung menusuk luka bekas operasinya.

Mengingat rasa sakit ini, apakah putranya baik-baik saja saat ia hajar atau pukul? Jika tubuh sehat saja bisa merasakan sakit luar biasa, lantas bagaimana dengan tubuh yang luar dan dalamnya sudah lemah? Memikirkan hal ini membuat Frans meneteskan air mata tanpa sadar.

Dimana putranya berada saat ini? Frans sungguh benar-benar menyesal. Bukan hanya rasa menyesal yang membuatnya sadar, namun juga rasa rindu yang telah dua bulan ini tidak terobati. Frans benar-benar merindukan putra bungsunya, ia tidak tahu jika tanpa kehadiran Wana akan membuat dunianya sesuram ini.

Lantas, masihkan Tuhan berbaik hati mempertemukan ia dan putranya yang telah ia sakiti sedemikian rupa baik melalui perkataan maupun secara fisik?

Aldrewana H.L [End]Where stories live. Discover now