Bab 2

441 26 1
                                    

Andin mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia tidak lagi berada di gudang, melainkan kembali ke kamarnya. Apa yang terjadi?

"Kau sudah bangun?"

Seorang pria mengenakan jas dokter menyapanya dari sisi tempat tidur. Ternyata sedari tadi dia tidak sendirian di ruangan itu.

Andin diam tidak menjawab. Sepasang matanya mengamati lekat setiap gerak-gerik yang dokter itu lakukan.

Ini adalah dokter pribadi keluarganya, dulu, yang ikut berkhianat dan bergabung untuk menjadi kaki tangan sang ibu tiri saat ini setelah ayahnya jatuh koma dan tanggung jawab rumah berada di tangan ibunya.

Dokter itu mencibir singkat, segera menyelesaikan pemeriksaan lalu keluar dari kamar sempit itu untuk melaporkan kondisi Andin pada Sarah.

Melihat kedatangan dokter pribadinya, Sarah yang asyik ngeteh lantas bertanya. "Dia sudah sadar?"

"Ya, Nyonya, baru saja."

"Bagaimana luka-lukanya? Bisa di obati kan?"

Dokter itu mengangguk, "Selama Anda tidak memukulnya lagi, seharusnya setelah sampai hari pernikahan tiba, dia sudah sepenuhnya sembuh."

"Aku mengerti, terima kasih. Kau boleh pergi sekarang." ujar wanita itu seraya berdiri. Dia pergi ke loteng, menaiki tangga berkarat, dimana kamar Andin terletak di sana.

Saat memindahkan gadis itu, anak buahnya cukup kesulitan, tapi dia enggan, begitu jijik apabila meletakkan Andin di ruangan kosong yang ada di kediaman utama.

Andin mencoba bangun, susah payah gadis itu hanya untuk sekedar duduk saja. Ia haus, dan di kamarnya tak ada air disediakan. Dalam benaknya ia mengeluh, tak tahukah kalau beberapa hari ini, ia tidak di kasih makan dan minum?

Ia dapat merasakan bibirnya begitu kering, lidahnya juga terasa pahit. Diberi infus untuk mengisi tenaganya yang habis, tetap saja tak membuat tubuhnya yang lemas jadi bugar seketika.

Ketika Andin mencoba turun dari tempat tidur, ia terhalang oleh infus di tangannya. Ia pun melepas infus itu menggunakan tangan lainnya yang terdapat perban dan darah kemudian menitik.

Bersamaan dengan langkah terhuyungnya untuk keluar, pintu kamarnya di dorong terbuka dan sosok ibu tirinya tepat berdiri di hadapannya. Tanpa sadar, Andin mengambil langkah mundur. Ketakutannya pada sang ibu sudah mendarah daging dalam benak dan raganya.

"Mau kemana kau?"

"S-saya haus," balasnya dengan kepala menunduk.

"Duduk."

"Tapi...?"

"Kau mau aku pukul lagi? Apa susahnya kalau tidak membantah?!" Tegur wanita itu dengan mata melotot.

Enggan dipukuli, Andin patuh kembali duduk di kasur singlenya. Ia menunggu untuk apa ibu tirinya itu datang ke kamarnya. Dan yang pasti alasan mengecek keadaannya bukanlah tujuannya.

Sarah mengamati naik turun pada gadis di hadapannya. Ia kemudian menelepon asisten rumah tangga, memerintahkan mereka untuk naik ke atas. Tak lupa, dia pun menyuruh agar membawa makanan dan air minum.

Sontak saja, mendengar perintah itu membuat Andin tercengang. Ia menatap tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Apakah dia tak salah dengar?

Seolah mengetahui pikiran Andin, Sarah lantas memberitahukan alasannya, "Kau harus aku gemukkan, atau kalau tidak, aku lah yang akan disalahkan oleh pihak Al Fahri. Melihat kau yang hanya tulang dan mirip tengkorak, bagaimana nanti kau mau melayani suamimu?"

"Aku dengar si Aldebaran itu cukup kejam pada perempuan. Jadi kau harus bisa menjaga diri sampai saat itu tiba. Jangan mempermalukan aku!"

Bibir Andin bergetar keras. Keringat dingin membasahi keningnya saat ia pun telah mendengar fakta ini. Walau Aldebaran belum pernah datang ke rumah ini, tapi berita tentangnya yang suka main wanita dan kejam memperlakukan mereka bukanlah berita baru lagi.

Andai bukan karena harta kekayaan dari pria itu, mana mungkin para perempuan jatuh ke dalam pelukannya? Termasuk pun di sini, saudari tirinya itu?

Berkat bantuan Aldebaran, Elsa yang memiliki cita-cita ingin menjadi artis terkenal mendapat sokongan dana dari pria itu, yang menyebabkan jalur karirnya jadi mulus. Aliran dana senantiasa masuk ke rekening pribadi Elsa dalam setiap bulannya. Itulah yang ia tahu dari kakak tirinya itu sendiri.

Meski tak pernah bertemu, Aldebaran bisa dikatakan sangat loyal pada calon istrinya tersebut. Walau kedengarannya aneh mengingat sifat terkenal yang Aldebaran miliki, namun begitulah kenyataannya.

Tak lama kemudian, dua pelayan wanita tiba. Mereka membawa nampan yang berisi makanan dan minum. Sedangkan pelayan satunya membawa peralatan mandi dan tas berukuran kecil.

"Kemari. Berdiri di hadapanku." Suruh Sarah memanggil Andin.

Kedua kaki Andin terlihat gemetaran. Pelayan yang melihat hal itu lantas membantunya. Melihat gadis lemah yang siap pingsan itu, Sarah memberi isyarat agar Andin diberi minum.

"T-terima kasih," ucap Andin pada pelayan itu saat gelas berisi air didekatkan ke mulutnya.

Ia menenggak habis isi gelas tersebut, sampai dia terbatuk-batuk dan wajahnya memerah. Tak lama kemudian, terdengar perintah yang cukup mengejutkan Andin.

"Mulai telanjangi dia."

"A-apa?" Andin kaget mendengar perintah itu. Ia ingin menjauh tapi pegangan pelayan di tangannya menghentikan niatannya tersebut. "Tidak... A-Anda tidak boleh melakukannya." imbuhnya menolak.

"Apa yang kalian berdua tunggu? Lucuti semua pakaiannya! Bagaimana aku bisa memastikan seluruh tubuhmu baik-baik saja dan layak untuk Aldebaran kalau aku tidak memastikannya sendiri dengan kedua mataku?!"

Dibandingkan dengan putri cantiknya yang senantiasa melakukan perawatan, gadis buluk di depannya ini tidak pernah dia lihat merawat diri. Kalau nanti waktu malam pertama Aldebaran ingin bergumul dengan sang istri dan mendapati kulit istrinya yang diketahui seorang artis terkesan kasar dan tak terurus, dia harus menjawab apa bila ditanya?

Sejujurnya, dia juga tidak mau merawat gadis busuk ini dengan tangannya sendiri, tapi dia tak punya pilihan. Daripada dia harus mengeluarkan uang untuk membawa Andin perawatan ke salon, lebih baik dia sendiri yang melakukannya. Lebih hemat biaya.

Perjuangan Andin sia-sia bila dibandingkan dengan dua pelayan yang lebih kuat dan sehat dibandingkan dirinya yang lemah. Air matanya bercucuran deras saat dia hanya bisa pasrah dan tak berdaya kala melihat satu persatu kain yang menutupi tubuhnya berjatuhan di lantai.

Perasaan malu luar biasa seketika menghantam Andin. Dia ingin bersembunyi dari tatapan lekat ibu tirinya dan dua pelayan itu tapi dia tidak bisa. Kedua tangannya dipelintir di belakang punggungnya sehingga dia tak bisa menutupi dada serta kemaluannya yang terpapar ke hadapan orang-orang ini.

Dibawah sentuhan tangan ibu tirinya yang mengenakan sarung tangan karet, seluruh tubuh Andin gemetar keras.

"To-long, berhenti...." mohonnya dengan suara lirih dan serak. Tetapi seperti biasa, permohonannya tak di dengar.

Sarah memberikan serangkaian intruksi pada dua pelayan itu seraya menunjuk pada badan Andin yang telanjang.

"Kita tidak punya waktu untuk menghilangkan bekas-bekas luka ini. Untungnya, itu tidak masalah. Lagipula Aldebaran sudah buta sekarang. Jadi, pria malang itu tak bisa melihat tubuhnya bila nanti mereka melakukan hubungan intim." Komentar wanita itu saat dia ditanya oleh pelayannya.

"Setelah kalian selesai mengurusnya, beri dia pengetahuan juga cara menyenangkan pria di ranjang. Tugas-tugas dan kewajiban akan kodratnya menjadi seorang istri, aku serahkan pada kalian berdua. Apabila gadis pembangkang ini menyusahkan kalian berdua, beritahu aku. Aku akan langsung membawanya ke madam Chandra agar dia saja yang melatihnya."

"Baik, Nyonya. Kami mengerti."

Sarah pergi dengan raut jijik dari kamar Andin setelah dia selesai memberikan perintahnya.

Selepas kepergian ibu tirinya itu, Andin langsung jatuh ke lantai dengan lemas begitu cekalan di kedua tangannya terlepas. Dengan kedua tangannya yang gemetaran, ia berusaha menutupi buah dadanya dari dilihat lebih jauh oleh kedua pelayan itu.

"Demi ayah." gumamnya sedih menguatkan dirinya sambil berurai air mata.

Pengantin Pengganti (On-Going) Where stories live. Discover now