Bab 4

408 32 0
                                    

Andin terbangun dari tidur akibat guncangan dari pesawat. Terjadi turbulensi sedetik lalu yang hampir membuat jantungnya copot dari dadanya.

"Apa Anda baik-baik saja?"

Rendy yang berada di kabin sebelah lantas segera menghampiri. Wajah tenangnya tetap terpasang walau goncangan pesawat tadi lumayan kuat.

"S-saya baik-baik saja," Dengan raut pucat dan kedua tangan gemetar, Andin menjawab serak. Sungguh pengalaman pertama kali baginya, mengalami turbulen kencang seperti yang barusan terjadi.

Andin mengelus dadanya pelan, berharap detak jantungnya yang berdebar keras jadi berubah normal kembali.

Melihat keadaan Andin, Rendy mengulurkan sekotak tisu yang entah dari mana pria itu ambil. Tiba-tiba, muncul begitu saja dari tangannya.

Andin mengambilnya, "Terima kasih,"

Lalu sebotol air pun terulur pula. Kembali, Andin menerimanya dengan wajah malu-malu.

"Jika Anda butuh sesuatu, Anda bisa langsung panggil saya atau pramugari yang berjaga." Kata Rendy mengingatkan.

Andin mengangguk mengerti. Kemudian berterima kasih lagi karena Rendy begitu perhatian dan menjaga.

Sebelum kembali ke tempat duduknya, Rendy terus mengawasi kabin di depannya. Raut wajahnya yang datar kini terdapat emosi lain, mirip kebingungan karena wanita yang di jemputnya tak seperti yang ia tahu.

Dalam beberapa bulan terakhir, setelah tanggal pernikahan di ungkap, tuan mudanya tidak begitu saja meninggalkan sang calon tunangannya itu. Melainkan secara diam-diam, mengawasi setiap gerak-geriknya.
Ini bermula setelah kematian tuan besarnya, satu-satunya orang yang pernah bertatap muka dengan calon mempelai wanita dari tuan mudanya tersebut. Setelah kematian tuan besar, kediaman utama Al Fahri terjadi gonjang-ganjing besar.

Tak lain dan tak bukan adalah penentuan ahli waris yang menjadi pengganti dari si pendahulu. Maka dari itu, pernikahan yang mulanya direncanakan akan dibatalkan, terpaksa harus dilanjutkan. Karena salah satu syarat untuk bisa menjadi kepala keluarga Al Fahri harus sudah menikah, dan memiliki pewaris.

Dalam satu tahun, tuan mudanya itu diharuskan memiliki keturunan setelah pernikahan resmi dilangsungkan.

Selain Aldebaran dan Hartawan, tidak ada seorang pun yang tahu seperti apa rupa calon istri masa depan Aldebaran. Ini termasuk Rendy yang tidak tahu wajah asli calon istri tuan mudanya itu.

Meski informasi keseharian sang calon mempelai wanita senantiasa dipantau, informasi itu akan langsung diterima oleh Aldebaran. Tidak ada yang berani melangkahi atau bertindak di luar aturan pada tuan mudanya itu dengan mengintip lebih dulu semua informasi, berita, maupun surat yang datang ke kediaman Al Fahri. Semua kaki tangan Aldebaran tahunya, bahwa sang mempelai merupakan seorang artis terkenal di ibu kota. Hanya itu saja.

Andin tidak lagi melanjutkan tidur setelah ketakutan beberapa menit lalu yang dialaminya. Sebagai gantinya ia menghabiskan waktu di dalam kabin dengan membaca buku atau menonton film.

Setelah menghabiskan waktu tiga jam di dalam pesawat, akhirnya mereka sampai. Mobil pribadi telah menunggu kedatangan rombongan Rendy dan Andin di luar bandara.

Andin sampai terkantuk-kantuk saking lamanya perjalanan yang harus dia tempuh.

Langit telah berubah warna menjadi keemasan dan matahari mulai terbenam di ufuk barat saat mobil yang membawa gadis itu tiba di tujuan.

"Nona muda, bangun. Kita sudah sampai." Rendy membangunkan Andin dengan pelan, penuh ke lemah lembutan.

Gadis itu mengucek kedua matanya pelan, tanpa sadar menguap dan baru sadar bahwa tindakan tak sopannya barusan telah dilihat oleh Rendy maupun pelayan di belakang pria itu.

"Maaf," ucapnya lirih malu-malu. Ia keluar dari mobil di bawah tatapan banyak pasang mata dari para pelayan.

Saat Andin akhirnya berdiri mantap di atas kavling, sepasang matanya membelalak kaget. Tepat di depannya, sebuah rumah bergaya Eropa klasik ala Victorian berdiri cantik dan megah. Pilar-pilar tinggi yang menyangga bangunan itu membuat Andin kehilangan kata-kata.

Tak seperti dalam angannya, ia kira kediaman yang akan ditinggalinya akan menjadi rumah sederhana. Tapi tak tahunya, rumah tiga lantai ini bahkan lebih mewah dari rumahnya sendiri maupun rumah-rumah yang pernah dia lihat.

"Silakan masuk. Saya akan mengantarkan Anda ke dalam." kata Rendy lagi membuyarkan lamunan Andin.

"Selamat datang di rumah, Nona Muda." Secara serempak, empat pelayan wanita dan satu kepala pelayan pria menyambut kedatangan Andin.

Gugup melanda Andin seketika, membuat gadis itu kikuk dan tak tahu bagaimana harus merespons. Hanya senyum dan anggukan ringan saja dia tunjukkan sebagai gantinya pada pelayan-pelayan ramah itu.

Rendy membawa Andin masuk ke dalam. Karena sudah malam dan pastinya gadis yang dia bawa itu lelah, Rendy menyuruh Andin untuk beristirahat di kamarnya dulu sebelum makan malam siap.

"Pukul delapan malam, pelayan akan datang menjemput Anda, nona. Masih ada waktu dua jam, seharusnya itu cukup buat anda istirahat dan membiasakan diri di sini."

Rendy menunjuk seorang gadis yang merupakan salah satu pelayan di rumah itu untuk membawa Andin ke kamarnya.

"Mari, ikuti saya." ajak gadis itu dengan senyum ramah.

"Terima kasih,"

Mengikuti gadis itu menaiki tangga ke lantai dua, tak sekalipun Andin melewatkan kesempatan untuk memindai seluruh ruangan yang memasuki bidang penglihatannya.

"Ini akan menjadi kamar Anda. Apabila Anda membutuhkan sesuatu, Anda bisa langsung menghubungi kami menggunakan telepon rumah. Ada catatan berisi nomor di atas nakas yang bisa Anda lihat."

"Ya, saya mengerti. Terima kasih."

"Apa Anda membutuhkan sesuatu sebelum saya pergi?"

Andin menggelengkan kepalanya ringan, "Tidak, tidak ada. Terima kasih."

Gadis itu tersenyum. Merasa lucu karena dalam waktu singkat nona muda di depannya ini sudah mengucapkan terima kasih berkali-kali.

Selepas kepergian gadis itu, Andin membuka pintu kamarnya. Koper yang berisi barang-barangnya telah dinaikkan oleh pelayan menggunakan lift dan itu telah lebih dulu ada di kamarnya.

Dikarenakan lelah, Andin memutuskan memejamkan mata sejenak. Siapa yang dapat menyangka, bahwa pada akhirnya dia akan jatuh tertidur lagi dan saat dia sadar, terdengar ketukan dari pintu kamarnya. Dua jam telah berlalu dan saat ini waktunya makan malam seperti yang tadi Rendy beritahukan.

"Seharian ini yang aku lakukan tidur saja." Keluh gadis berambut panjang sepinggang itu merasa malu sendiri.

Andin keluar dari kamar tanpa alas kaki. Begitu dia membuka pintu, gadis yang tadi mengantarnya kini berdiri di hadapannya.

Terkejut melihat Andin yang tampak acak-acakan, gadis itu menyentuh hidungnya sebab merasa canggung.

"Apakah saya menganggu istirahat Anda?"

"Tidak, justru sebaliknya. Saya harus berterima kasih karena kalau bukan mendengar ketukanmu, mungkin saya masih nyenyak tidur. Maafkan saya." ujar Andin menundukkan kepalanya melihat lantai marmer di bawahnya.

"Makan malam telah siap. Anda bisa membersihkan badan dulu, berganti pakaian dengan yang baru lalu turun. Saya akan menunggu Anda di bawah."

Sebelum gadis itu pergi, Andin mencegahnya.

"Ya?"

"Apa, apa tidak apa-apa kalau saya tidak perlu mandi? Takutnya, saya menganggu yang lain apabila saya mandi dulu."

Seolah memahami sesuatu, gadis itu lantas memberitahu. "Anda tenang saja, tak perlu khawatir. Selain kami dan tuan muda, anggota keluarga yang lain tidak tinggal di rumah ini. Jadi malam ini, hanya ada Anda saja yang akan makan malam. Tuan muda tidak bisa menemani karena kesehatan beliau akhir-akhir ini memburuk."

"Apa?"

Pengantin Pengganti (On-Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang