Bab 8

471 34 4
                                    

Berada di dalam mobil, duduk bersama dengan pria yang telah sah menjadi suaminya, Andin menemukan bahwa dirinya sangat gugup. Kedua tangannya terdapat di pangkuan, sedangkan kepalanya menunduk mengamati tangannya yang terkepal. Tidak berani melihat ke sembarangan arah, meski tahu pria beraura dingin di sebelahnya ini tak dapat melihat.

"Apa yang mau kau lakukan setelah ini?" Suara dalam tanpa intonasi itu memecah hening.

Andin sedikit tersentak, malu-malu memalingkan muka menghadap Aldebaran yang kini menatap ke luar jendela.

"Setelah datang dari pemakaman?" tanyanya tak yakin, tapi tidak ada jawaban dari pria itu. Ia pun kembali melanjutkan ucapannya, "Saya di rumah saja."

Ketukan jari jemari dari pria itu seirama dengan detak jantung Andin yang saat itu di penuhi ketakutan. Entah mengapa, hanya menyadari pria ini diam tanpa bicara sudah mampu membuat dia ngeri. Apakah itu masuk akal? Takut pada pria yang telah sah menjadi suaminya?

Sayangnya, memang seperti itulah kenyataannya. Berdekatan dengan Aldebaran, membuatnya merasakan ketakutan. Mungkin itu disebabkan dari kenyataan dia telah membohongi pria ini. Hingga membuat dia tanpa sadar merasa bersalah dan setiap saat dihantui perasaan ngeri akan terbongkar kebohongannya.

"Kalau kau ingin pergi jalan-jalan, kau bisa mengajak pelayan di rumah. Asal, beritahu aku. Jangan pernah keluar dari rumah tanpa izin dariku. Apa kau mengerti?"

"S-saya mengerti." balas Andin dengan suara lembutnya.

Setelah percakapan singkat itu, keduanya kembali hening. Mobil yang mereka kendarai akan pergi ke sebuah pemakaman kedua orang tua Aldebaran.

Sesampainya mereka ke pemakaman, Aldebaran di bantu oleh Riza duduk di kursi rodanya. Sedangkan Andin yang keluar dari pintu mobil lainnya diam-diam mengintip pada pria dingin berwajah tampan itu. Sayang sekali sejak pertemuan mereka, dia sama sekali belum melihat senyum ditunjukkan pria tersebut.

Dengan wajah tampan seperti itu, apabila tidak senyum, bukankah pemborosan wajah dan kesia-siaan belaka?

Tanah pemakaman yang mereka datangi bukanlah pemakaman sebagaimana pada umumnya. Pemakaman itu terawat dengan baik, setiap makam tertata dengan rapi, dan batu nisannya terbuat dari bahan granit berkualitas yang tak akan pudar termakan cuaca.

Sejauh mata memandang, terdapat pepohonan lebat, dan hijau dimana-mana. Bahkan terdapat gazebo yang bisa dijadikan tempat istirahat bagi para keluarga yang datang mengunjungi makam.

Andin berjalan di sisi Aldebaran yang kursi rodanya di dorong oleh pengawal terpercayanya. Sedangkan asisten yang bernama Rendy, berjalan menemani di belakang mereka bersama dua orang pengawal berpakaian hitam.

Saat mereka tiba di makam kedua orang tua Aldebaran, dua pengawal itu berhenti tak jauh dari tempat itu. Keduanya memiliki tugas untuk mengawasi sekeliling, berjaga-jaga menghindarkan bahaya yang bisa datang kapan saja mencelakai tuan muda mereka.

Andin meletakkan dua buket bunga yang telah mereka beli dalam perjalanan menuju kemari. Akhirnya, dia tahu seperti apa wajah kedua orang tua suaminya itu dari foto yang ada di batu granit di depannya. Dalam hati dia berpendapat kalau Aldebaran lebih mirip ibunya, terutama bentuk mata, mulut dan warna kulit pria itu. Sedangkan rahang tegas serta tatapan tajam, didapatnya dari ayah kandungnya.

Bahkan meski wajah pria itu kini tertutup topeng perak, dimana hanya bisa dilihat bentuk mulut, mata dan rahang, ia dapat membayangkan setampan apa rupa dibalik topeng dingin tersebut. Sayangnya, akibat kecelakaan yang menimpanya ia mendengar dari Kiki kalau pria itu mendapatkan luka bakar di wajah sebelah kiri yang mengharuskan pria itu menutupi wajah.

Mereka tidak tinggal lama di pemakaman itu. Karena Aldebaran tidak mengatakan sepatah katapun, Andin hanya bisa menutup mulutnya rapat, tidak berani mengeluarkan suara barang sedikitpun.

Mobil itu kembali membawa mereka pergi pulang ke rumah. Setibanya di rumah, kepulangan mereka disambut hangat oleh para pelayan.

"Aku tidak akan turun untuk makan malam. Bawa saja makan malamku ke kamar." kata Aldebaran pada Rendy.

Di rumah, sikap Aldebaran jauh lebih dingin pada Andin. Menyebabkan gadis itu salah tingkah dan tak tahu harus bersikap bagaimana. Pada akhirnya, dia menghabiskan waktu di rumah barunya itu ditemani oleh Kiki.

Itu adalah hari ke-enam Andin tinggal di kediaman Al Fahri dan sejak mereka resmi menikah, dia belum berinteraksi lagi dengan suaminya itu. Selain dibeberapa kesempatan mereka tak sengaja bertemu, Andin hanya menyapa singkat lebih dulu dan Aldebaran menanggapi sapaannya itu dengan sikap diam.

Andin tampaknya sudah bisa melihat seperti apa masa depannya selama dia tinggal di rumah ini. Kesepian dan tak punya kegiatan apa-apa yang bisa dilakukannya. Dia jadi bertanya-tanya, apakah kehidupan pernikahannya akan terus datar seperti ini atau tidak?

Meskipun dia merasa tak nyaman dan merasakan kesedihan yang mendalam, ia hanya dapat menanggungnya.

Malam itu, Andin duduk di dekat jendela seperti biasa. Di tangannya sebuah buku terbuka. Buku itu didapatinya dari perpustakaan pribadi milik keluarga Al Fahri. Tempat itu merupakan satu-satunya tempat favoritnya di dalam rumah. Karena ada banyak sekali buku, ia menghabiskan waktunya dengan banyak membaca.

Tok! Tok! Tok!

Terdengar ketukan dari pintu. Andin menolehkan kepalanya, menyuruh orang di luar agar langsung masuk ke dalam.

Tak lama kemudian muncul Kiki membawa segelas susu seperti biasa. Kali ini, rasa cokelat.

"Ada apa?" tanya Andin begitu dilihatnya Kiki yang telah dia anggap sebagai temannya tampak gugup. Seolah ingin mengatakan sesuatu padanya tapi tertahan.

"T-tuan... tuan muda...."

"Ya? Ada apa, Ki? Katakan dengan jelas." desak Andin jadi khawatir melihat tingkah Kiki yang tak biasa.

Tidak menjawab, yang dilakukan oleh Kiki malah menatap lekat nona mudanya itu.

"Apa Anda sudah mandi?"

Meskipun bingung dengan pertanyaan yang diajukan oleh pelayannya itu, Andin tetap menjawab jujur, "Sudah tadi sebelum makan malam."

"Malam ini, tuan muda meminta Anda agar bermalam di kamarnya. Tuan muda menyuruh saya agar membantu Anda mempersiapkan diri." kata gadis itu lirih dengan semu merah di kedua pipi.

Mendengar perintah itu, Andin membeku. Buku di tangannya jatuh di atas pangkuan. Dia tahu apa artinya itu. Tapi, tapi bagaimana? Ia pikir suaminya itu tak akan pernah sudi untuk menyentuh dirinya dan hubungan mereka akan terus seperti ini untuk selamanya. Tapi yang barusan dia dengar?

Seolah memahami kontradiksi di wajah Andin, Kiki kembali bicara.

"Tuan Muda tidak akan memaksa Anda apabila Anda tidak berkenan. Itu sebabnya beliau memberi Anda keputusan untuk memilih. Ini adalah obat perangsang, apabila Anda tidak keberatan bermalam bersama dengan tuan muda malam ini, silakan minum obat ini. Saya akan datang memeriksa Anda setelah Anda selesai mandi." kata Kiki lagi sambil menunjuk pada sebutir obat di atas wadah kecil.

"K-kenapa aku harus minum obat?" tanya Andin dengan ngeri.

"Itu, tuan muda, Anda tahu, kondisi fisiknya...." Kiki terbata-bata menjelaskan. "Pokoknya, tuan muda menyuruh saya menyampaikan perintahnya pada Anda."

Kondisi fisiknya. Aldebaran cacat, itu yang dia tahu. Mungkin karena tak mau terlihat menyedihkan di matanya, pria itu mengambil tindakan seperti ini. Tapi sepertinya itu tak perlu. Karena meskipun ini adalah malam pertamanya, dia akan dengan sungguh-sungguh melayani pria itu. Bagaimanapun, dia sudah dilatih oleh ibu tirinya untuk memuaskan pria itu di ranjang.

Dan minum obat perangsang? Andin takut membayangkan akan seperti apa dirinya apabila dia memutuskan untuk meminum obat tersebut.

Sayangnya, meski dia takut, dia tak punya pilihan. Sejak awal dia memilih kondisi ini, dia tak punya pilihan apa pun.

Dengan kepala menunduk dan tatapan sedih dari kedua matanya, Andin berkata lirih dengan suara bergetar, "A-aku akan meminumnya. Beritahu tuan mudamu ... aku bersedia."

Pengantin Pengganti (On-Going) Where stories live. Discover now