Bab 5

453 34 6
                                    

Gadis pelayan yang diketahui bernama Kiki itu memang tidak berbohong padanya. Waktu dia turun dari kamar, menuju meja makan untuk makan malam, seluruh kursi kosong tak ada seorang pun di sana. Hanya ada berbagai macam hidangan di atas meja yang telah di tata rapi berikut dengan peralatan makan lengkap.

Kiki menarik satu kursi untuk ditempati Andin. "Jika Anda membutuhkan sesuatu atau tidak suka makanannya, beritahu saya. Anda bisa menggunakan lonceng ini untuk memanggil pelayan. Mereka akan datang dengan segera begitu lonceng ini dibunyikan." katanya menjelaskan fungsi adanya lonceng warna emas di masing-masing kursi satu orang.

Andin tertegun, tangannya terulur mengamati lonceng itu, lalu berpindah pada Kiki lagi. "A-aku sendirian makannya?"

Kiki mengangguk.

"Tidak bisakah kau ikut makan bersamaku?"

"Tidak, tidak bisa. Saya seorang pelayan, bagaimana bisa ikut makan dengan majikan? Tapi, kalau Anda tidak nyaman sendiri, saya akan menemani di sini. Silakan makan... atau Anda membutuhkan saya membantu---"

"Tidak perlu, aku bisa sendiri. Aku bisa." Andin menolak mentah-mentah kesopanan itu. Seumur dia hidup, baru kali pertama dia diperlakukan bak ratu. Segala makan saja perlu di urus oleh pelayan.

Andin makan malam dalam hening ditemani oleh Kiki yang berdiri di sampingnya. Sesekali, gadis itu akan membantu mengambil atau menawarkan beberapa hidangan yang akan ditolaknya dengan sopan.

Setelah selesai, ia melihat pada banyaknya sisa makanan di atas meja. Desahan lemah keluar dari mulutnya.

Seolah tahu tentang apa yang dipikirkan oleh Andin, Kiki tersenyum geli. "Sisa makanan ini tidak akan di buang. Anda tidak perlu menunjukkan tanda sedih seperti itu Nona Muda. Makanan ini nanti akan diberikan untuk kami, pelayan Tuan Aldebaran."

Makanan itu tidak benar-benar sisa yang tak pantas lagi untuk dimakan. Bahkan banyak hidangan yang belum tersentuh sama sekali dan akan menjadi pemborosan apabila makanan yang kelihatannya lezat itu dibuang begitu saja.

Di rumah ini, khusus untuk tuan rumah memiliki jadwal teratur dalam hal waktunya makan maupun ngeteh santai. Sedangkan bagi para pelayan, tidak ada batasan dalam hal makanan yang mereka konsumsi dalam sehari-hari.

Tepat pukul sepuluh malam, Kiki datang ke kamar Andin, membawa nampan berisi segelas susu hangat. Ia mengetuk pintu yang tertutup itu sebelum kemudian membuka pintu setelah kata masuk dari dalam dia dengar.

Andin turun dari tempat tidur. Terheran-heran dia melihat kedatangan Kiki lagi.

"Ya, Ki? Ada apa?" tanyanya penasaran seraya melihat ke arah nampan berisi segelas susu.

"Saya membawakan Anda segelas susu hangat. Di kediaman ini para tuan dan nyonya yang saya layani memiliki kebiasaan meminum segelas susu hangat sebelum tidur. Ini dapat membantu Anda jadi lebih nyenyak tidur. Kalau Anda tidak suka susu putih, saya punya susu coklat maupun coklatnya saja." katanya menjelaskan seraya menyerahkan segelas susu itu pada Andin.

Kebetulan sekali Andin tipe orang yang bukan pilih-pilih soal makanan dan bisa dibilang dia seorang pencinta makanan. Ini juga termasuk dengan minuman. Dia sangat suka susu, terlebih susu rasa kacang hijau dan strawberry. Namun seperti biasa, tentu saja Andin tidak akan berani memberitahu kesukaannya itu pada gadis di hadapannya sekarang.

Ia pun mengambil gelas tersebut. Lalu meminumnya hati-hati di bawah tatapan pelayan bernama Kiki tersebut.

"Em, ini... bisa tinggal dulu gelasnya di sini? Aku janji akan meminum habis semuanya. Terima kasih." ujar Andin dengan wajah malu.

Kiki mengamati nona pemalu di hadapannya. Ia lantas menganggukkan kepala tanda mengerti. "Tentu saja Anda bisa. Biarkan saja gelas kosongnya di sini. Besok, pelayan akan membawanya turun. Kalau begitu saya tidak akan menganggu istirahat Anda lagi. Selamat malam Nona Muda. Selamat beristirahat, dan tidur nyenyak." ujarnya sebelum pergi dari kamar Andin.

Selepas kepergian Kiki, Andin kembali minum susu hangat itu sampai habis dan meletakkan gelas kosong itu di atas meja samping tempat tidur. Beberapa menit kemudian, kelopak matanya terasa berat dan rasa kantuk yang hebat menelan kesadarannya sedikit demi sedikit.

Ia mengulurkan tangannya, mematikan lampu, membiarkan ruangan kamar itu jadi gelap. Hanya ada pantulan cahaya dari luar jendela yang menerangi kamar Andin secara samar.

Gadis itu jatuh tertidur dengan kepala miring dan selimut menutupi perut.

Tengah malam, pintu kamar Andin yang tidak terkunci terbuka secara perlahan. Sebuah bayangan panjang terlihat di lantai marmer berwarna putih. Sosok jangkung seorang pria muncul di dalam kamar Andin.

Pria asing itu memakai setelan piyama. Wajahnya sangat rupawan dengan sepasang mata berwarna hazel gelap nan tajam. Rahangnya tegas, hidungnya mancung dan bibirnya tipis tanpa senyuman. Sosoknya dapat digambarkan sebagai seorang yang tanpa ekspresi dan dingin.

Waktu langkah kaki panjangnya mendekati ranjang, aura tegas dan mendominasi begitu kental terasa. Pria itu bergerak mendekat. Berlama-lama menatap pada wajah seorang gadis di atas tempat tidur dengan tatapan kosong.

Tanpa sepatah kata, ia duduk di sisi tempat tidur. Jari-jari kurus, panjang dan putih pucat terulur ke depan, tepat menyentuh kening sang gadis yang tampak berkerut. Dengan jarinya, pria itu membingkai keseluruhan wajah gadis yang sedang nyenyak tidur. Dari kening, bulu matanya yang lentik, hidung mancungnya, lalu turun di belahan bibir ranum sang gadis yang sedikit terbuka. Jari itu bertahan lama di sana, membelai dengan pelan seolah ingin memastikan isi pikirannya barusan apakah benar-benar lembut atau tidak. Dan nyatanya, bibir itu selembut seperti yang dia pikirkan.

Pria itu membungkuk rendah, tanpa mengalihkan tatapannya dari bibir setengah terbuka, ia mendekatkan wajahnya, mengecup singkat pada belahan ranum kemerahan yang memikat dan mengundang.

Seolah kehadiran pria asing tadi hanyalah ilusi semata, ruangan itu kembali hening, hanya terdengar suara napas sang gadis di atas tempat tidur dan gerakan gorden berbahan tile yang tertiup angin.

***

Di salah satu ruangan yang ada di rumah itu, seorang pria duduk di sofa panjang dengan kedua mata terpejam. Di sebelahnya terdapat asisten setianya yang baru saja datang untuk melihat keadaan sang tuan muda.

Tidak ada kejutan yang terlintas di sepasang mata Rendy saat dia menemukan tuan mudanya terjaga pada pukul dua dini hari dan duduk sendirian di ruang keluarga di lantai atas. Sebuah perapian tampak menyala, bunyi arang yang dibakar api meletup-letup menimbulkan suara khas dalam ruangan tersebut.

"Saya sudah mengurus data Anda dan Nona untuk keperluan persyaratan sertifikat pernikahan. Apakah Anda masih tetap pada keputusan Anda membiarkan Nona pergi sendirian ke kantor catatan sipil besok?"

"Biar aku lihat dulu dokumennya," Suara pria itu terdengar dalam, dan tangannya terjulur meminta dokumen yang dimaksud.

Seolah siap dan tahu dengan permintaan tuan mudanya itu, Rendy langsung memberikan dokumen yang dimaksud.

Pria itu membuka dokumen di dalamnya, dan langsung melewati data dirinya sendiri, untuk kemudian melihat data calon sang istri. Sepasang matanya berubah stagnan begitu nama yang tercantum di atas kertas itu tidak berada di tempatnya.

Foto itu benar milik Andin, namun nama yang tertera adalah nama Elsa Anindita.

Bibir pria itu menyeringai kejam, dan kemarahan seolah sedang dihina tampak dari wajah dinginnya, "Mereka terlalu berani! Mereka kira aku ini sebodoh apa?!"

Pengantin Pengganti (On-Going) Where stories live. Discover now