Bab 3

395 26 1
                                    

Seminggu sebelum pernikahan, di kediaman Surya, Sarah mendapat panggilan yang berasal dari asisten Aldebaran. Pria itu memberitahu kalau dia akan datang untuk menjemput mempelai wanita.

Sontak saja kabar itu sangat mengejutkan bagi Sarah. Menarik napas dalam-dalam demi membuat dirinya tenang, wanita itu kemudian menjawab setuju dan memastikan putrinya akan siap dibawa oleh asisten Aldebaran tersebut.

Menutup telepon itu, Sarah termenung sejenak di tempat duduknya. Dia merasa aneh karena permintaan mendadak itu.

Tak mau berpikir banyak, Sarah pun pergi ke dapur. Ingin menemui Andin yang di jam segitu biasanya sedang sibuk melakukan pekerjaan rumahannya.

"Andin...."

Gadis yang dicari Sarah kini tengah menyiram tanaman di rumah kaca milik peninggalan mendiang ibu kandungnya. Letaknya tak jauh dari dapur. Mendengar namanya di panggil, buru-buru ia meletakkan penyiram tanaman itu di tanah.

"Ya, Ma." sahutnya dengan langkah tergesa-gesa. Rok panjangnya tampak berkibar tatkala gadis itu berlari. Angin sepoi-sepoi pun menerbangkan helai rambut panjangnya yang kecoklatan.

Sesampainya Andin di hadapan ibu tirinya itu, ia berdiri dengan gugup.

"Apa kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu?"

"Sudah,"

"Perwakilan dari keluarga Al Fahri akan datang. Mereka memberitahu kalau kau akan di jemputnya seminggu sebelum pernikahan."

"Apa?" Terkejut dengan pemberitahuan mendadak itu semakin membuat Andin cemas. Bukannya masih seminggu lagi? Mengapa sekarang jadi dimajukan? Bagaimana ini? Aku belum siap!

"Kau kan tidak tuli, masa begitu saja tidak dengar?!" seru wanita itu dengan mata melotot.

"Cepat bersiap. Kemasi barang-barangmu juga. Jangan bawa pakaian bulukmu itu ke rumah Al Fahri." katanya lagi mengingatkan sebelum kemudian pergi dari dapur.

Andin berdiri dengan lemas tatkala mendengar kalimat final dari ibu tirinya tersebut. Tanpa bisa membantah, ia pergi ke kamarnya yang ada di loteng. Mulai mengemasi barang-barang yang akan dibawanya.

Seorang pelayan datang ke kamarnya sambil membawa gaun selutut berlengan panjang. Gaun itu sangat cantik, berwarna salem dengan brokat di bagian dada dan cetakan bunga di pinggir keliman.

"Cepat mandi. Saya akan menunggu Anda selesai lalu merias wajah Anda." Kata pelayan itu dengan muka ketus. Bahkan meski identitas Andin setara dengan Elsa, para pelayan di rumah itu tidak hormat padanya.

Tidak ada fluktuasi apa pun di wajah cantik Andin saat pelayan berkata ketus dan menatap remeh padanya. Lagi pula hal seperti itu bukan lagi hal baru baginya. Bagimanapun, dia sudah terbiasa.

Ia senang karena akhirnya tidak lagi perlu dimandikan layaknya anak kecil. Dalam beberapa hari mendapatkan perawatan, kulitnya kembali bercahaya, lembut saat disentuh dan senantiasa wangi. Meski bekas luka belum sepenuhnya pudar, tapi itu lebih baik daripada dirinya di masa lalu.

Entah dia harus merasa bersyukur atas perkawinan ini atau tidak, karena telah mengubah sebagian besar hidupnya. Namun saat dia mengingat laki-laki yang akan menjadi suaminya, perasaan takut kembali muncul ke permukaan.

Siang hari itu, mobil sedan berwarna hitam tiba di pekarangan rumah keluarga Saputra. Seorang pria berusia sekitar tiga puluhan keluar dari mobil dengan memakai setelan formal, kedua tangannya terbungkus sarung tangan berwarna putih.

"Selamat datang, Tuan Rendy. Senang akhirnya Anda dapat berkunjung ke rumah kami." Sarah menyambut pria tampan itu dengan sangat ramah. Mungkin sadar betapa pentingnya sosok pria di depannya itu, yang membuat dia berubah sangat sopan padanya.

"Suatu kehormatan bagi saya bisa bertemu dengan Anda, Nyonya Sarah." balas pria itu sama sopannya.

Sarah mempersilahkan Rendy masuk. Seorang pelayan datang membawakan teh untuk pria tersebut.

"Saya tidak akan tinggal lama. Apakah putri Anda sudah siap dibawa pergi?"

Hanya berlalu beberapa menit saja, bahkan teh di atas meja belum disentuhnya namun pria itu sudah tergesa ingin pergi.

Sarah mempertahankan senyum sopannya meski di dalam hati telah mengutuk habis-habisan Rendy karena terlalu tak sabaran. Untung saja bukan putri tercintanya yang dibawa pergi oleh pria ini, atau kalau tidak mungkin dia tak akan tahan membiarkan Elsa dibawa pergi darinya secara mendadak seperti itu.

"Anda terlalu terburu-buru."

"Maaf atas ketidaksopanan saya barusan. Hanya saja, saya menuruti perintah dari tuan muda. Pesawat kami telah siap di tempat untuk membawa nona ke mansion." Rendy menjelaskan secara singkat alasan ketergesaannya.

Fakta ini pun telah diketahui oleh Sarah juga. Bahwa setelah pernikahan berhasil dilakukan, mempelai wanita akan di bawa ke kediaman Al Fahri yang ada di di luar pulau.

Dia sudah dapat membayangkan, bagaimana kira-kira tempat itu. Terbelakang, jauh dari perkotaan, tidak ada mal, tidak bisa shopping... ugh, membayangkan saja membuat dia merinding. Lagi-lagi untung bukan Elsa yang dibawa.

"Panggil dia turun." Perintah Sarah pada pelayan.

Tak lama kemudian, Andin turun membawa tas kecil dan koper sedang yang dibawa pelayan, berisikan pakaian serta barang-barangnya.

Melihat turunnya Andin, Rendy langsung berdiri. Ia lantas berpamitan pada Sarah, dengan sikap sopan menyapa Andin, membantu membawakan tas jinjing di tangan calon istri tuannya itu menuju ke mobil.

Di teras, Andin menatap sedih rumah megah yang telah lama di tinggalinya. Bahkan di saat terakhir pun, dia tidak di izinkan untuk menemui ayahnya.

"Kau bisa menemui ayahmu nanti setelah resmi menjadi istrinya."

Adalah ucapan Sarah saat Andin memohon untuk bisa dipertemukan dengan Surya sebelum dia pergi namun berakhir gagal.

Sebagai putrinya, dia ingin mengucapkan selamat tinggal pada sang ayah tapi yang didapatinya hanyalah penolakan kejam serta ancaman tak ada habisnya. Meski sakit hati, Andin hanya bisa menggertakkan gigi menerima kenyataan kejam itu lagi.

"Nona, silakan masuk mobil. Kita harus pergi sekarang." Rendy mengingatkan di samping pintu mobil yang terbuka.

Tak rela, Andin menundukkan kepalanya dengan sedih. Sepasang matanya yang berkaca-kaca tak luput dari perhatian Rendy ketika gadis itu berbalik. Seolah tak melihat apa pun, Rendy tetap mempertahankan fasad tenang serta tak goyahnya.

Di lantai tiga, Elsa berdiri mengamati seluruh kejadian dengan menyembunyikan diri agar tidak terlihat oleh orang-orang di teras. Tatapan sedih dan tidak rela Andin barusan membuat hatinya berbunga-bunga. Untunglah keputusannya itu tepat dilakukan. Atau kalau tidak, dia mungkin dipenuhi penyesalan tak ada habisnya.

Sampai mobil yang membawa Andin pergi, barulah Elsa berani menampakkan diri. Gadis anggun itu berdiri di balkon kamarnya. Dengan senyum lebar, ia menarik napas dalam-dalam, menikmati udara segar sebuah kebebasan.

"Akhirnya, aku tidak perlu terikat lagi dengan perjodohan konyol itu." ungkapnya dengan raut bahagia. Memikirkan bahwa dirinya bebas sekarang, ia bisa sepenuhnya memfokuskan tujuannya untuk merayu pria yang dikaguminya.

Ia jadi tak sabar untuk bisa bertemu dengan pria itu lagi. Terakhir kali, karena tak ada waktu dan keadaan tak memungkinkan untuk saling berkenalan, ia hanya bisa menatap punggung pria tampan itu dari kejauhan. Nanti, apabila mereka bertemu kembali, ia berjanji tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu lagi.

"Aku harus bisa mendapatkannya. Tak peduli apa pun caranya, dia harus jadi milikku!"

Pengantin Pengganti (On-Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang