5 [Shrivel]

176 0 0
                                    

"Dimass", seru raka dengan suara baritonya begitu dia keluar dari arah kitchen.

Dimas yang masih mendengar cerita rendra soal anak-anaknya, langsung berdiri dan memeluk raka. Sementara rendra yang baru bertemu raka dua hari lalu, hanya mengangkat cangkirnya untuk raka.

"Kamu ngapain di kitchen ka", tanya rendra.

"Masak buat kalian dong", ujar raka pada rendra.

"Pesen aja belum udah di masakin", ujar dimas.

"Selera kamu tuh semua warga solo udah tau", ujar raka.

"Udang teriyaki", jawab rendra dan helda bersamaan.

Jawaban keduanya yang serempak, membuat wajah dimas memerah. Melihat wajah dimas yang memerah helda langsung tertawa.

"Setiap kemana aja pasti yang di cari udang", ujar raka.

"Sofi mana nih", tanya raka menambahi.

"Bentar lagi juga dateng", jawab rendra.

"Yang di omongin udah nyampe tuh", ujar helda sambil menunjuk pintu cafe yang terbuka.

"Sofiii", panggil dimas dan raka bersamaan.

Sofi dengan kecantikan dan keanggunannya langsung berjalan menuju suara yang begitu gemuruh memanggil namanya.

"Haii, apa kabar kalian", ujar sofi sambil memeluk satu persatu teman-temannya.

"Duduk sini sof", pinta helda karena sofi belum juga melepas pelukannya untuk dimas.

"Mau minum apa sayang", tanya rendra pada sofi, istrinya.

Ucapan rendra yang terdengar lembut dan penuh kasih sayang, hanya dibalas sofi dengan senyum sinisnya.

"Gimana kabar anak-anak", tanya helda pada sofi.

Sofi kemudian menceritakan dengan atusias soal perkembangan anak-anaknya, dan helda tersenyum sambil mengusap lengan sofi.

"Kamu yang kuat ya da, semuanya pasti bisa terlewati", ujar sofi pada helda, setelah usai menceritakan tentang anak-anaknya.

Kehidupan memang sudah mengambil sisi cerita bahagia dari masing-masing yang duduk di sofa cafe tersebut. Masing-masing punya cerita dengan ending yang masih terlihat samar. Begitupun dengan dimas, pernikahan miliknya yang dimas kira akan selamanya, nyatanya hancur dan membawa serta dirinya yang bisa ia tawarkan pada perempuan lain.

Dimas memang terlihat baik-baik saja dari luar, tapi pada kenyataannya, jiwanya terlampau rapuh. Berbeda sekali dengan dimas saat usianya tujuh belas tahun, saat hidup hanyalah untuk bersenang-senang. Kehidupan remaja dimas, nyaris tak pernah tersentuh kesedihan. Bahkan pertandingan basket terakhirnya sebagai murid SMA dulu, penuh gemuruh dan warna warni sorak sorai penonton.

Dua bulan sebelum dimas dan angkatannya mengikuti ujian nasional, pertandingan basket antar sekolah yang dimas dan timnya ikuti musim tersebut, adalah yang terakhir untuk mereka, sebelum mereka berstatus mahasiswa.

"Ini moment kita untuk mengukir memori yang kekal abadi", ujar vano.

"Sok puitis kamu no", ujar arvin.

Gelanggang olahraga yang di jejali oleh penonton dari berbagai siswa SMA di solo, menjadi saksi untuk dimas, raka, gilang, arvin dan vano yang ada di tim inti, untuk mengukir memori terakhir mereka sebelum lulus SMA.

SMA Nusa Bangsa saat itu menghadapi SMA Don Boshco di babak final. Ratih, nindy, helda, renata dan yang lainnya juga sudah duduk di tempat duduk penonton sejak setengah jam sebelum pertandingan dimulai. Tak ketinggalan Cheerleaders dari SMA Nusa Bangsa, tanpa lelah meneriakkan yel-yel mereka untuk memberi support tim basket SMA Nusa Bangsa.

After SunsetWhere stories live. Discover now