10 [Is It]

91 0 0
                                    

Waktu berputar, berpacu tanpa sekalipun memberi jeda pada siapapun. Waktu berlalu meninggalkan duka yang tidak pernah sembuh bagi orang yang ditinggalkan oleh yang terkasih.

Dua tahun berlalu setelah papa seno tidak lagi ada di tengah-tengah keluarganya, tapi bagi dimas dan dina, kehilangan papa mereka, masih berbekas jelas.

Om saka juga jauh terlihat menua dari dua tahun lalu. Senyumnya mengendur, dan suaranya tidak setegas seperti sebelumnya. Pertemuan dimas dengan atasanya tersebut, tidak lagi ada canda tawa, ataupun gurauan konyol yang om saka selalu lemparkan pada dimas. Semua pertemuan-pertemuan yang dimas lalui dengan om saka, selalu berakhir dengan nostalgia.

"Om masih ingat jelas dim, rasanya seperti baru kemaren, om masih kelas tiga sekolah dasar, pulang ke rumah sambil nangis, terus papamu tanya sama om, siapa namanya, terus om sebut nama anak kelas om yang suka ngejek om, eh besoknya anak itu kalau ketemu om ketakutan", cerita om saka dua bulan lalu.

"Siapa namanya om", tanya dimas.

"Edi, anak yang jual pecel, nakalnya minta ampun", jawab om saka sambil tersenyum.

Setiap satu cerita selalu berakhir dengan kesedihan yang bisa terbaca jelas di pantulan mata om saka.

"Dulu papamu waktu naksir mamimu, bukannya langsung deketin mamimu, tapi malah jadi temen kakaknya dulu", ujar om saka tiga bulan sebelumnya.

"Om mika", ujar dimas sambil tersenyum.

"Iya si michael", sambut om saka dengan tawanya.

"Papamu itu juniornya michael, dulu semua murid di sekolah nggak ada yang berani sama michael, tapi papamu yang hebat itu, bisa jadi temannya", ujar om saka dengan nada bangga.

"Waktu itu om masih kelas satu SMP, papamu kelas dua SMA, sementara michael udah mulai kuliah, dia ambil jurusan hukum, sementara mamimu sama seperti om, masih SMP, tapi beda sekolah meski masih satu kecamatan", cerita om saka masih dengan senyumnya.

"Nenek kamu itukan belanda totok, jadi otomatis mami sebagai putrinya berwajah cantik dong, mami kamu itu idola waktu kita remaja, papamu nggak suka cowok-cowok ngelihatin mamimu, akhirnya papamu laporan sama michael, kalau banyak cowok nakal yang ngusilin adiknya, terus sama michael papamu di suruh jemput mamimu setiap pulang sekolah", ujar om saka sambil tertawa.

Dimas mendengar semua cerita om saka dengan senyum yang enggan lepas dari wajahnya, karena untuk pertama kalinya, dimas mendengar cerita masa lalu kedua orangtuanya.

"Jadi papa lama ya om nunggu mami", tanya dimas.

"Lumayan dim, mereka baru pacaran saat mamimu SMA, terus nikah begitu papamu lulus kuliah", jawab om saka.

"Mami kenapa dulu nggak kuliah ya om", tanya dimas dengan rasa penasaran.

"Waktu itu kondisi keuangan keluarga kamu memburuk dim, terus tante kamu, tante martha yang biasa bantu di toko, mulai sakit-sakitan, nggak lama martha meninggal, jadi mamimu harus turun tangan, membantu opa untuk menyelamatkan toko", jawab om saka.

"Bukannya papa sama mami menikah nggak lama setelah tante martha wafat om", tanya dimas.

"Iya, waktu itu papamu baru lulus kuliah, langsung meminta nenek untuk di nikahkan sama mamimu", jawab om saka.

''Dulu papamu juga langsung bekerja di bank begitu lulus kuliah, jadi bisa bantu mamimu untuk mempertahankan toko yang terus menerus rugi", tambah om saka.

Cerita nostalgia yang selalu di dongengkan oleh om saka selama dua tahun terakhir, sangat membantu dimas melewati duka hatinya. Duka yang dimas bagi dengan om saka, juga duka yang mami mita bagi dengan dina, membuat mereka semua bertahan, meski kesedihan tak pernah lepas dari lubuk hati mereka.

After SunsetWhere stories live. Discover now