Membantu Mereka

8.6K 746 34
                                    

Mataku terbuka, terlihat jelas bahwa sanak keluarga tengah berkumpul untuk menjenguk keadaan Kak Kenan.

"Dira sudah bangun?" tanya mamah sembari mengelus kepalaku.

Aku mengangguk dan mengucek-ucekan mata perlahan.

"Sehabis sembuh, Kak Kenan akan pindah ke Netherlands, tempat Nenek," ujar Mamah yang terdengar pilu.

Mataku berkaca.

"Kenapa, Mah? Karena aku, ya?" tanyaku dengan nada sedih.

"Mah, aku janji tidam akan bicara soal itu lagi dengan Kak Kenan. Tolong jangan perbolehkan Kak Kenan pergi, Mah. Aku sayang Kak Kenan," pintaku sesenggukan.

Mamah terlihat mengelap bulir air matanya.

"Kak kenan tidak bisa hidup dengan segelintir rasa takut soal hal semacam itu, Dira. Biarkan Kakakmu tenang. Mamah tak tega melihat dia yang pucat jika mendengar hal berbau mistis," ujar Mamah dengan lembut.

Aku diam. Menoleh ke ranjang Kak Kenan. Dia masih tertidur pulas.

"Mamah ke kamar mandi dulu, ya, sayang," ucap Mamah sembari menuju kamar mandi kecil di dekat lemari tua.

"Dira," panggil Tere yang tiba-tiba saja sudah duduk anteng di sampingku.

Aku menoleh dan memaksakan seulas senyuman.

"Jangan sedih, Dira. Di sini masih ada aku. Aku akan menemanimu," ujarnya sembari tersenyum hangat dan memegang pundakku sebagai tanda penyemangat bagiku.

"Tere, kamu hantu, 'kan? Kenapa kamu bisa menyentuhku?" tanyaku dengan sorot mata penasaran.

"Aku ditugaskan untuk menjagamu dan melindungimu," ujarnya.

Aku mengangguk saja tanda setuju dengan alasannya.

"Aku pergi dulu, ya," pamitnya sembari melambaikan tangan dan menghilang.

"Tolong! Tolong siapa pun yang dapat membantuku, tolong!" teriak seseorang dari luar kamar inap Kak Kenan.

Suaranya benar-benar asing di telingaku. Bukan suara Tere ataupun Mamah.

Aku berjalan perlahan. Membuka pintu dan mendapati banyak orang tengah berhilir mudik di depan kamarku.

"Tolong, tidak ada yang bisa mendengarku!" teriak suara asing itu lagi.

Suaranya terdengar jelas dari samping kamarku. Kusembulkan kepalaku ke pintu sebelah kamar yang tak tertutup.

Di sana aku melihat jelas beberapa orang tengah menangis dan menenangkan satu sama lain. Mereka melihat anak yang kini sedang ingin ditutupi seluruh badannya dengan selimut, tapi aku melihat wajah yang sama dengan anak yang berbaring itu. Bedanya ia sedang berdiri, dan wajahnya pucat pasi. Ia langsung menoleh ke arahku.

Seperti arwah.

"Kau bisa melihatku, 'kan? Hanya kau yang bisa mendengarkanku di sini, 'kan?" tanyanya sembari mendekatiku.

Aku meneguk ludah dengan susah payah. Antara takut dan panik.

"Jawab aku! Aku kenapa?" tanyanya dengan nada merendah, hampir ingin menangis.

"Ka-kau..."

"Aku kenapa?" Dia menatapku dengan sendu.

"Kau sudah tiada," lirihku sembari menunduk.

"Tidak mungkin! Mamah, Papah, aku masih hidup, 'kan? Dengarkan aku Huaaaaaaa." Dia menangis sesenggukan.

Aku tak tega melihatnya.

Ia mulai mendekatiku kembali, tapi tangannya tak bisa menyentuh anggota tubuhku.

"Mengapa aku tak bisa menyentuh dirimu? Apa aku benar-benar mati?" Tangis yang yang dikeluarkan olehnya terdengar semakin kencang.

Jujur aku bingung harus berbuat apa.

"Aku sakit kanker," ungkapnya memulai cerita.

Aku memperhatikannya dengan saksama. Pantas saja rambutnya sudah terlihat menipis. Mungkin pengaruh dari kemoterapi yang pernah dijalaninya.

"Tiga hari yang lalu, aku divonis dokter mengalami kanker otak stadium akhir. Terakhir kulihat bunda pingsan dan Ayah syok berat. Hingga akhirnya aku merasakan diriku yang bisa keluar dari tubuhku. Sepertinya aku koma," lirihnya dengan nafas kasar.

"Setidaknya kamu kini takkan merasakan sakit lagi,"
ujarku sembari memberikan senyuman padanya.

Dia tersenyum.

"Kamu benar! Aku harus bisa merelakan semua ini. Bantu aku, Dira," ujarnya.

Darimana dia tau namaku?

"Apa yang bisa kubantu?" tanyaku.

Dia menunjuk ke arah timur dan memperlihatkan cahaya putih yang sangat memekakkan penglihatan.

"Bantu aku pergi ke sana," pintanya sembari mengangkat bibir membentuk semburat senyuman bahagia.

Awalnya aku ragu, namun akhirnya ia meyakinkanku.

"Baiklah, ayo!" ajakku sembari berjalan di belakangnya.

"Dira, terimakasih sudah mengantarkanku. Doakan supaya aku tenang, ya. Sampai jumpa, Dira!" ujarnya sembari berjalan ke arah cahaya putih itu dan lenyap seketika.

"DIRA!" Mamah memelukku dan terisak pilu.

"Dira lemes, Mah," ucapku yang tiba-tiba saja sudah berada dalam pangkuan mamah.

Sehabis bicara oleh anak tadi, tenagaku seperti diambil dan dikuras dalam-dalam. Tubuhku melemah dan wajahku memucat.

"Jangan bersikap seolah kamu punya teman 'tanda kutip', Nak. Mamah takut kamu kenapa-kenapa," ujar mamah sembari memelukku lebih erat.

"Dira habis membantu mereka, Mah," jelasku sembari mengulas senyuman.

Mamah mengernyitkan dahi.

"Mereka? Siapa, Dira?" Mamah mulai penasaran.

"Mereka yang sudah tenang di alam sana, Mah. Tadi Dira habis membantu mereka menuju ke alamnya," terangku.

Mamah semakin memelukku.

"Mamah enggak bisa kalau percaya sama kamu. Karena umurmu masih terbilang kecil, tapi Mamah juga gak bisa kalau enggak percaya sama kamu. Karena kamu tak pernah membohongi siapa pun." Mamah tersenyum getir sembari mengelus kepalaku.

Aku hanya bisa diam mematung.

"Sekarang ikut Mamah makan, yuk. Dira pasti lapar, 'kan? Jangan pikirkan apa-apa lagi, oke," ajak Mamah sembari mengelus kepalaku.

Aku mengangguk. Semoga saja tidak terpikirkan lagi, ya, Mah.

Jangan baca part selanjutnya ketika ingin tidur. Aku sudah memperingatkanmu kali ini. Jika ada sesuatu, diriku tak tanggung jawab👀.

Bisikan Mereka ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang