Diganggu

7.8K 656 25
                                    

Hari ini aku telah sampai di rumah bersama sanak keluarga yang lain. Kak kenan sudah sembuh rupanya. Entah perasaan senang atau sedih yang kini berselimut di hatiku. Sedih ketika tahu bahwa Kak Kenan akan meninggalkanku dan juga Mamah untuk pergi ke negeri kincir angin itu.

"Kak Kenan maafkan aku," ujarku sembari memeluknya.

Ia mematung. Jelas aku merasakan bahwa badannya lumayan dingin.

"Lepaskan aku, Dira!" lirihnya tanpa menatapku sama sekali.

Cepat-cepat ku lepaskan pelukanku. "Aku menyayangimu, Kak," ujarku yang kini mulai menangis.

Ia hanya bergeming. Tak mau berkutik sedikit pun.

"Kenan, ayo sayang! Nanti kalau kita tertinggal pesawat, akan rumit urusannya," ucap Nenek sembari menghampiri Kak Kenan.

Nenek melirikku dan tersenyum manis ke arahku. "Jaga dirimu baik-baik, Nadira," ujar nenek sembari mengecup keningku singkat.

Aku mengangguk patuh.

"Ucapkan selamat tinggal pada adikmu dulu, Kenan," ujar Nenek sembari mengelus kepala Kak Kenan.

Kak Kenan diam sambil menatapiku.

"Ohm, baiklah. Mungkin Kak Kenan masih sedikit pusing, Dira. Nenek pamit ya. Permisi," ujarnya sembari menggeret koper.

Aku mengikutinya dari belakang. Kini, Mamah, Papah-yang baru saja pulang-, Paman dan Bibi tengah mengantarkan Nenek dan Kakak ke luar rumah untuk segera pergi ke bandara.

Mamah memelukku dari samping.

"Kak Kenan tidak membencimu. Jangan berpikiran macam-macam soal itu, ya," ujar Mamah sambil berusaha menguatkanku.

Aku mengangguk. Berusaha melepas pilu yang sangat mengganjal di hati.

"Kami pergi dulu," pamit Nenek yang sudah melambai-lambaikan tangannya dari kaca jendela mobil.

Aku menatap Kak Kenan dengan sedih. Ia tak mau melepaskan sepatah kata pun kepadaku.

Mobil yang membawanya kian melaju dan menghilang dari penglihatanku.

Jika kehadiran kemampuanku hanya membuatku dan dirinya berpisah, mengapa kemampuan ini harus datang menimpaku?

"Dira, mari ikut Papah!" Papah hadir di samping sembari mengacak-acak puncak kepalaku dan tersenyum hangat kepadaku.

Ia menggandeng tanganku, membawaku ke kamar yang serba berwarna biru muda.

"Duduk, Nak!" perintahnya.

Aku menurut saja dengan suruhannya. Ia menanyakanku beberapa pertanyaan yang dapat kujawab dengan jelas.

"Bersyukurlah, sayang! Kamu tidak punya penyakit apa-apa. Kamu memang benar-benar mampu melihat 'mereka'. Tolong jangan salah gunakan kemampuanmu ini, Dira" ujarnya sembari mencubit pipi bakpao-ku.

"Pah, Dira takut," ungkapku sembari menggenggam erat tangan kekar miliknya.

Senyuman hangatnya mampu membuatku sedikit tenang. "Papah akan bekerja di sini kembali. Tidak keluar negeri lagi. Paling hanya di luar kota saja. Papah akan menjagamu dan mamah di sini. Papah enggak akan biarkan peri kecil Papah merasa takut dan sendirian," ujarnya sembari mengusap kepalaku.

"Papah janji?" tanyaku sembari menyodorkan jari kelingking ke arahnya.

Ia terkekeh dan mengacak kembali rambut ikalku. "Papah janji, Dira. Papah menyayangimu," ujarnya sembari memelukku dengan erat.

Bisikan Mereka ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang