Kak Kenan?

3.1K 292 8
                                    

Semenjak kejadian yang menimpaku di rumah Omah, ibadah yang semula terasa malas untuk dikerjakan, kini mulai dilakukan dengan rutin dan ditambah beberapa ibadah sunnah lainnya. Aku selalu teringat akan pesan Paman yang terus menyuruhku untuk lebih dekat dengan Allah agar tubuhku tak jadi sasaran empuk para makhluk tak kasat mata itu.

Waktu itu, jam masih menunjukkan pukul tiga pagi. Hawanya saja sudah menjadi bukti bahwa air yang mangalir akan terasa sangat dingin. Mungkin lebih dingin dari air es.

Sholat tahajud ini agak berbeda dari biasanya. Mungkin karena efek dari film "Makmum" yang kutonton tadi malam.

Aku lebih rutin melaksanakan sholat tahajud dua rakaat. Namun, anehnya ketika di pertengahan sholat, aku mendadak lupa jumlah rakaat. Padahal sholat tahajud yang ku laksanakan ini, ya seperti yang dijelaskan tadi, hanya berjumlah dua rakaat.

"Kau salah! Seharusnya kau salam bukan berdiri kembali."

Deg ....

Dengan hati yang setengah deg-degan dan fokus yang mulai buyar ke mana-mana, aku memutuskan untuk menyegerakan salam.

"Assalamu'alaikum warahmatullah .... Assalamu'alaikum warahmatullahi ...." Refleks mataku langsung menoleh ke segala arah dan tak mendapati siapapun di sekitarku.

Pikiranku mulai melayang ke satu titik. Bagaimanapun juga insting seorang adik terhadap kakak sangatlah kuat. Dapat kupastikan dengan baik kalau suara tadi merupakan suara Kak Kenan. Dadaku sesak dan bulir air mata tiba-tiba saja sudah membasahi pipi.

"Aaa ... hiks ... hiks ...."

Ya Allah, apa yang terjadi pada Kak Kenan? Tidak biasanya aku merasakan hal seperti ini.

Ceklek ....

"Dira, kenapa? Kok keras sekali menangisnya? Dira kenapa, sayang?"  Mamah dan Papah sepertinya baru selesai melaksanakan sholat tahajud juga. Mereka berdua langsung membantu untuk menenangkanku.

"Ta–tadi .... " Mamah mencoba menguatkanku agar aku bisa melanjutkan ceritanya dengan baik.

"A–aku dengar suara Kak Kenan, Mah, hiks .... "

Keduanya terlihat saling bertatapan dan bernapas lega. "Ya Allah, Dira, kami pikir kamu kenapa. Mungkin kamu sedang halusinasi saj–"

Drt ... Drt ....

Getar ponsel Papah membuat kami semua spontan menoleh. Ia menatap kami sebentar sebelum akhirnya mengangkat telepon.

"Iya, Mah?"

"Oh, iya. Mungkin ponselnya sedang dimatikan. Ada apa, Mah?" Pandangan matanya terlihat menoleh ke arah Mamah.

Raut wajahnya yang semula biasa saja, kini mulai sedikit mengerutkan dahi. "A–apa?! Mamah serius?"

Mamah memegang pundaknya seraya bertanya, "Pah, Siapa?"

"Ma–mahmu." Ia menyerahkan ponselnya kepada Mamah.

"Waalaikumussalam, Mah."

"Astaghfirullah, kenapa bisa begitu, Mah? Sekarang bagaimana keadaannya?" Wajah Mamah kini nampak tegang. Kupegang tangannya kuat-kuat.

"O–oke, Violin segera ke sana, ya. Insyaa Allah, paling lambat lusa Violin sampai."

"Iya, Mah, Waalaikumussalam."

"Kenapa mah??" Kini giliran aku yang bingung setengah mati.

Mamah menatapku sembari mengusap puncak kepalaku. Tak berselang lama, ia langsung memelukku dan menangis cukup keras.

Bisikan Mereka ✔Where stories live. Discover now