Kampung Maksiat

4.1K 370 2
                                    

Setelah beristirahat dengan cukup, malamnya Paman langsung menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Hingga sampailah kami di suatu perkampungan. Pada bagian pagarnya terdapat ucapan selamat datang yang ditempeli kerangka kepala kerbau dan rusa. Penjaga yang membawa tongkat berujung tanduk mempersilakan kami masuk. Puluhan sesajen tertata rapih di sepanjang jalan. Se-creepy inikah suasananya?

Orang-orang yang sedang menyembah pohon–yang mungkin saja memang ada iblisnya–memberikan sesajen babi guling. Indra penglihatan kami kini telah dipenuhi dengan pemandangan yang sangat tak lazim itu. Kami dan yang lain tiada henti mengucapkan kalimat tauhid. Jangan sampai kami melakukan hal-hal musyrik di sini, naudzubillahimindzalik.

Kami menuju rumah sang kepala suku yang ditunjukkan oleh dua orang berbadan kekar. Sekitar setengah jam kami menunggu, keluarlah dua orang perempuan sambil membenahi bajunya. Rambutnya acak-acakan dan terdapat bercak merah di sekitaran badan bagian atasnya.

Naudzubillahimindzalik, benar-benar kampung maksiat.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya kepala suku yang baru saja ke luar sembari membenahi kancing bajunya dan rambut yang berantakan.

"Oh, Bapak yang menghubungi saya lusa kemarin, ya?" tanyanya seraya mengerjapkan mata.

"Nggih, Pak. Saya orangnya. Saya ingin mengembalikan ini." Paman menunjukkan kalung yang ditemui membawa sebuah perkara itu.

"Oh, ini kalung milik Suratmo. Dia sudah meninggal beberapa hari yang lalu karena kalung ini tidak jatuh kepada orang yang tepat. Justru orang yang terkena kalung sebelum kalian, menyantet Suratmo hingga mayatnya hangus terbakar," terang Sang Kepala Suku.

Aku meneguk ludah tak percaya. "Di mana kami bisa meletakkan kalung ini?" tanya Paman yang tak ingin berbasa-basi lebih lama dengan orang semacam ini.

"Berikan saja kepada keluarganya. Tunggu! Akan saya suruh pengawal saya untuk menunjukkan rumahnya." Kepala suku itu langsung memanggil seorang bermata merah, badannya hitam legam tampak bukan seperti orang pada umumnya.

"Tunjukkan pada mereka rumah Suratmo!" perintah kepala suku itu yang langsung disambut anggukan tanpa ekspresi.

"Silakan ikuti saja dia!" Ucapannya langsung membuat kami mengangguk. Paman selalu mengingatkan untuk tidak lupa menyebut Asma Allah.

Sesampainya di sebuah rumah kecil, sosok bermata merah itu menoleh ke arah kami. "Ini rumahnya. Saya permisi dulu," ujarnya sembari berjalan dengan agak melamban.

Rumah dari bilik bambu beratapkan alang-alang yang telah mengering kini berada tepat di depan kami. Berbagai macam sesajen menghiasi luar rumah itu. Wangi kemenyan memasuki indra penciuman kami dengan sangat pekat. Bunga Melati tergeletak di sepanjang jalan kecil.

Aku mendekat ke arah Muhzeo. Ia memegang pundakku bermaksud untuk menenangkanku dan meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa.

Paman menyuruh kami untuk menunggu di halaman. Ia masuk ke teras rumah yang hanya dilapisi beberapa lapis daun pisang. Ia mengetuk pintunya.

Kriet ....

Pintu terbuka dengan lebar. "Siapa, ya?" tanya seorang perempuan dengan kantung mata yang menghitam, darah segar mengalir di sudut bibirnya.

"Benar dengan rumah Almarhum Suratmo?" tanya Paman dengan nada yang sepelan mungkin.

"Jangan sebut nama itu lagi, sialan!" umpatnya dengan sorot mata tajam nan merah menyala.

"Maaf, kami hanya ingin mengembalikan kalung ini." Paman memperlihatkan kalung hitam tersebut.

"Terkutuklah dengan kalung itu! Setan!" Perempuan itu terus mengumpat dan mengumpat.

Bisikan Mereka ✔Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ