Petak Umpet

6.6K 572 20
                                    

"Assalamualaikum, Dira.. main yuk!" Suara panggilan dari luar rumah membuatku bangkit dari kursi.

Salamnya terdengar seperti kebiasaan anak SD yang tak pernah merubah logat bicaranya jika sedang menghampiri rumah temannya.

Ceklek ....

"Wa'alaikumsalam. Ingin main, kah?" Mataku mulai berbinar sembari merapikan baju yang sedikit acak-acakan.

"Iya. Yuk, kita ke tanah lapang saja! Lumayan luas tuh!" Ajakan Elsa–salah satu sahabatku–membuatku mengangguk dengan senyum mengembang.

"Eum ... tunggu sebentar, ya! Aku ganti baju dulu," sahutku yang langsung berlari ke dalam rumah.

"Ayo!" Aku ke luar saat sudah tampil cantik dengan taburan bedak bayi di wajah.

Kami berjalan beriringan sembari bercerita ria. Ya seperti anak SD pada umumnya. Bercerita tentang kucingnya yang melahirkan, hamster yang dimakan kucing tetangga, dan lain sebagainya.

"Eh, Elsa, Dira, kalian tau rumah yang ada di dekat warung kopi terkenal di komplek kita, enggak?" Gery bertanya ke arah kami sembari menyipitkan matanya.

Aku dan Elsa saling bertatapan, berusaha menyiratkan rasa keingintahuan yang tinggi.

"Memang kenapa, Ger?" tanya Elsa sembari membenarkan topi hitam di kepalanya.

"Itu angker tau! Aku pernah lewat situ dan seperti ada yang mengikutiku. Terus ada yang manggil-manggil Abang bakso. Rame deh pokoknya di dalam rumah itu. Padahal kata Bibiku, rumah itu sudah kosong sekitar enam tahun yang lalu," tuturnya yang berhasil membuat kami bergidik ngeri.

"Wah, enggak bisa dibiarkan, nih. Kita harus liat, Dir!" Elsa mantap menatap ke depan jalanan dengan semangat '45.

Aku menggeleng. "Kan kita mau main petak umpet. Lain kali saja," tolakku dengan halus.

"Ah, gak asik, nih!" sewotnya yang langsung cemberut.

Sesampainya di tanah lapang, ternyata tempat tersebut dipenuhi oleh para pekerja yang sedang sibuk memperbaiki sisi dari tanah lapang itu.

"Yah, lagi diperbaiki, tuh! Kita enggak bisa main, deh," keluh Ujin sembari menunduk lesu.

"Aku ada ide!" Ucapan Silla berhasil membuat semua orang menatap ke arahnya dengan penasaran.

"Bagaimana kalau kita mainnya di depan rumah kosong itu? Kan lapangannya lumayan besar, tuh! Pasti seru ,deh," sarannya sembari menyengir lebar.

Elsa mengangguk setuju. Senang dengan perihal yang dilontarkan Silla.

"Aku si yes," ujarku.

"Aku ikut aja."

"Aku ayo-ayo aja."

"NO!" tukas Ujin dengan gemetar.

Kami semua menoleh langsung ke arahnya. " Memang kalian enggak tau mitos rumah itu?" Ujin merapatkan barisan dan menatap kami semua dengan intens.

Kami menggeleng serempak ketika mendengarkan penuturannya itu. "Mitosnya kalau kita sudah memutuskan untuk mengganggu kenyamanan penghuni rumah itu, apa lagi kita sampai berisik dan mengganggu penghuni di sana, salah satu dari kita akan ada yang hilang!"

Bulu kudukku jelas merinding seketika.

"Terus kalau sampai malamnya orang yang hilang itu tidak ketemu, pasti besoknya ia akan kembali tanpa nyawa. Alias udah end!" Ujin membelalakkan matanya sembari memegang tangan tanda merinding telah menguasai tubuhnya.

"Tahayul tuh, Jin!" Silla dengan santai tak mempercayai ucapan Ujin.

"Tapi menurut aku, nih ya, enggak baik main-main sama mitos begitu. Itu kan kepercayaan sebagian orang," nasihatku sembari menatapi mata mereka satu-persatu.

Bisikan Mereka ✔Where stories live. Discover now