Villa Delia

4K 322 0
                                    

"Kau tau tidak, Dira? Sepupuku punya villa baru. Rencananya aku ingin ikut ke villa barunya. Kau ingin ikut tidak?" Di akhir jam pelajaran ini, Elsa terlihat sangat antusias sekali. Pantas saja. Ternyata itu alasannya.

Aku tampak menimbang-nimbang ajakannya sembari memasukkan beberapa buku pelajaran ke dalam tas.

"Ayolah kumohon kau ikut, ya?" Tanganku diraih olehnya. Matanya nampak berbinar menaruh banyak harapan padaku.

Aku hanya bisa terkekeh. "Nanti antarkan aku pulang untuk izin dulu ke Mamah, ya?"

"Hore! Eum, baiklah. Ayo, pasti Okta sudah menjemput!" ujar Elsa dengan semangat yang tinggi.

Suasana sekolah yang masih sangat ramai membuat kami nampak mencari-cari keberadaan mobil milik sepupu Elsa itu. Dan tak lama, sebuah mobil hitam mengklakson kami dan menyuruh untuk segera masuk.

"Hai, Okta!" Sapaan Elsa itu dibarengi oleh tepukan dengan sepupunya.

"Hai, Elsa! Sudah siap?" tanya Okta dan melirik ke arahku.

"Oh iya, ini Dira temanmu itu?" Okta tersenyum ramah kepadaku. Elsa dan aku langsung membalas dengan anggukan kepala.

"Hai! Aku senang bertemu denganmu. Semoga kita bisa jadi sahabat baik," ujar perempuan itu sembari mengajakku bersalaman.

Aku menerima ulurannya. "Oke."

Setelah sampai rumah dan mendapatkan izin dari Mamah, aku bergegas berpamitan, membawa barang seperlunya dan melaju ke arah villa di Bogor.

Ternyata perjalanan menuju villa itu sungguh melelahkan. Lika-liku jalan beraspal berhasil kami tempuh dalam kurun waktu tiga jam. Hawa dingin mulai menyeruak ketika memasuki wilayah dengan sebutan "Kota Hujan" itu.

Hingga sampailah kami di depan villa unik dan megah di sebrang jalan. Pak supir memakirkan mobilnya di halaman rumah milik pribadi yang terbilang cukup luas.

Okta mempersilahkan kami turun.

"Assalamualaikum, Pah!" Okta berteriak sembari memeluk dan mencium kening seorang pria yang kira-kira berumur empat puluh tahun.

"Wa'alaikumussalam, Putri ajaibnya Papah. Eh, ada Elsa .... Kalau ini, siapa?" Seorang lelaki yang dipanggil Papah oleh Okta itu melayangkan senyumannya ke arah kami.

"Saya Dira, sahabat Elsa." Dengan hormat aku langsung bersalaman dengan Papah Okta.

"Oalah .... Kalau saya, Renal. Panggil saja Om Renal."

Aku tersenyum sembari mangut-mangut. "Oke, Om."

Kulirik Okta yang ternyata tengah asik melihat pemandangan sekitaran villa yang akan segera ia tempati itu.

Namun, sepertinya aku merasakan keganjalan sedari tadi. Tengkukku agak panas, seperti ada yang sengaja mengembuskan napas.

Aku menoleh ke arah belakang. Namun, tak ada apa-apa. Yang ku dapati hanyalah sebuah perkebunan tua di samping villa ini. Ah, mungkin hanya perasaan saja.

"Assalamualaikum." Seorang pria datang kepada kami dengan pakaian jaket dinas dan tersenyum simpul.

"Wah, Pak Hardi, ya? Waduh, kami belum sempat masuk rumah. Kalau kita duduk di ayunan besar itu saja, bagaimana?"

Pak Hardi tersenyum sembari mengangguk. Tak ada tanda-tanda kalau beliau keberatan.

Aku menatap ayunan itu terus menerus. Hawa mistis dapat kurasakan jelas saat penghuni ayunan tersebu merasa terganggu dengan kedatangan kami.

"Duduk sini, Dira!" ajak Elsa yang sudah terlebih dahulu duduk di atas ayunan besar itu.

Aku menggeleng dan tersenyum. Lebih baik aku memilih berdiri di samping ayunan itu tanpa mau menatap penghuninya yang bisa saja mengajakku bicara saat tahu aku dapat melihatnya.

Bisikan Mereka ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora