Sejatinya

2.8K 297 5
                                    

Budayakan untuk membaca part-part sebelumnya. Karena cerita ini merupakan cerbung (cerita bersambung) dari part sebelumnya. Selamat membaca dan rasakan sensasinya ✨

Eits! Jangan lupa vote, Akang, Teteh, Mas, Mbak, Adik, Kakak, Ibu, Bapak, Om, Tante, Paman, Bibi, Kakek, Nenek, Pak guru, Bu guru, pokoknya semuanya, ya!💚
Terima kasih atas dukungannya. Semoga Allah membalas kebaikan kalian, InsyaaAllah🖤.

🔙

"Elsa sayang, kita serahkan semuanya pada Allah, ya, Nak. Semua akan baik-baik saja. Mungkin ini memang takdir yang terbaik untuk Dira." Violin pun tak dapat menahan tangisnya lagi.

"A–apa maksud Tante? Ter–terbaik? Tante jangan asal bicara begitu! Dira enggak akan kenapa-kenapa, 'kan, Tan?" tanya Elsa yang langsung gemetar.

"Keluarga Nadira." Panggilan dari salah seorang dokter membuat semua menoleh ke arahnya.

Violin dan Sofyan langsung menghampiri dokter tersebut dan menunggu ucapan dokter selanjutnya.

"Maaf, saudari Nadira tidak bisa diselamatkan."

⬇️

"Tidak!!!" Elsa terbangun dari mimpi yang paling buruk. Ia mengusap wajahnya yang sudah basah akibat air mata. Ya, selama tertidur ia tetap saja menangis.

"Ya Allah, ini pertanda buruk atau bagaimana?" Buru-buru ia membersihkan badan dan langsung menuju ke rumah sakit tempat Dira dirawat.

Masa bodo dengan absen sekolah! Yang terpenting sekarang adalah Dira, sahabatnya!

Macet ibu kota membuat wanita berkulit putih itu mendesis. Ia masih saja memegangi beberapa lembar tisu yang digunakan untuk mengelap air matanya. Matanya sudah sembab sejak dua puluh menit yang lalu. Supir taksi yang membawanya pergi saja sempat bingung dengan keadaan Elsa yang nampak memprihatinkan.

"Mbak? Mau ke mana?" tanyanya yang sedikit bingung karena Elsa sedari tadi hanya diam tanpa mau menjawab pertanyaannya.

Gadis itu masih diam dan tak merespon apa-apa seperti pengajuan pertanyaan yang sebelumnya. Pandangannya lurus ke depan.

"Mbak?"

Masih tetap diam.

"MBAK!"

"Astaghfirullah." Elsa terlihat kaget. Ia mengerjapkan mata dan terus beristighfar, seperti orang yang baru saja mengumpulkan nyawanya.

"Mbak jangan melamun! Takut nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," harap sang supir dengan sedikit nada yang merasa tak enak dengan Elsa.

"Eh, iya maaf, Pak." Elsa mengusap air matanya kembali.

"Mbak mau ke mana sekarang?" tanya pak supir yang sudah mulai ramah kembali.

"Ke rumah sakit Graha Kasih Bunda, ya, pak," pinta Elsa dengan suara seraknya.

"Baik, Mbak." Pak supir mulai menjalankan kembali mobilnya yang sempat berhenti.

Setelah lima belas menit berjalan, sampailah mereka di depan rumah sakit, Elsa langsung turun dan membayar ongkos taksi tersebut.

Ia berlari bak orang kesetanan. Semua orang dia senggol tanpa meminta maaf. Kakinya terhenti saat berada di depan ruang ICU yang ditempati oleh Dira.

Ceklek ....

Ia melongok dan mendapati ruangan ini sedang disterilkan. Apa maksudnya semua ini?!

"Sus! Suster! Ke mana pasien yang ada di sini, Sus?! Ke mana?!" Dengan kekuatan supernya, Elsa mendorong-dorong tubuh suster itu.

Bisikan Mereka ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang