Tertukar.

3.3K 317 2
                                    

Pst ... pst ... ssth!

Suara bisikan membuatku melenguh sembari membuka mata perlahan. Suasana masih gelap. Namun, aku memutuskan untuk bangun melaksanakan sholat tahajud.

Ba'da subuh ketika aku ke luar kamar,  Mamah dan Papah nampaknya sudah tidak ada di rumah. Suasana semakin aneh saat ku lihat cahaya matahari yang tidak terlalu terik maupun mendung. Namun, aku mengabaikannya sebagai hal biasa dan segera berlalu menuju sekolah.

Angin sepoi berubah menjadi agak kencang sampai menerbangkan beberapa barang ringan. Hawa dingin yang ada benar-benar menusuk tulang. Sesampainya di sekolah, aku agak dikejutkan dengan auranya yang begitu mencekam. Keanehan semakin tercipta saat tak ada seorang pun yang menyapaku seperti biasa. Semua asyik melamun dan bercakap dengan wajah datar.

Salah seorang menunjukku dengan wajah terkejut dan ketakutan. Aku hanya bisa tersentak kaget ketika yang lain mulai ikut-ikutan melakukan hal yang sama. A–ada apa?

Aku mulai berlari ke lantai atas. Sinyal di bawah benar-benar tak bisa diandalkan. Jalan satu-satunya adalah dengan menghubungi Elsa. Karena sedari tadi, aku benar-benar tak melihat keberadaan salah seorang temanku di sini.

Puk ....

"Astaghfirullah!" Aku menoleh kaget ketika pundakku ditepuk kencang dengan tangan yang dingin.

"Hei, ada apa?" Pertanyaannya sedikit membuatku lega. Setidaknya gadis itu tak seaneh yang lain.

Namun, setelah kuperhatikan kembali, penampilannya nampak sangat lusuh dan tak seperti motif seragam angkatanku. Kalau boleh kuingat-ingat, motifnya seperti angkatan pertama yang fotonya pernah ditunjukkan oleh guruku.

"Mengapa melamun? Ada yang salah denganku?" Pertanyaannya membuatku sedikit tersadar dan langsung kubalas dengan gelengan ringan. Bukannya mendapatkan ketenangan, kini hawa tak enak malah menghantui diriku.

"Namaku Rahayu. Salam kenal." Ia mengulurkan tangan sembari tersenyum hangat.

Aku menyambutnya dengan penuh keraguan. Darahku seperti berhenti mengalir saat kurasakan dingin di tangannya. Bahkan dapat kujamin kalau tangannya benar-benar sedingin es.

"A-aku, Dira." Ucapanku sudah gugup setengah mati, tetapi aku tetap mencoba untuk memaksakan seutas senyum.

"Kau manis, Dira. Yuk, kita bicara di pojok sana saja!" Semula ajakannya membuatku sedikit ragu. Namun, aku berusaha untuk menghempaskan rasa takutku. Aku pun mengangguk mengiyakan.

"Kau kenapa seperti orang kebingungan?" Matanya kini  memperhatikanku dari atas sampai bawah.

Aku tak langsung menjawab karena aku takut bila hal ini merupakan jebakan. Bila lengah sedikit, bisa-bisa terjadi sesuatu yang tak diinginkan padaku. Sungguh, aku belum bisa memastikan dia manusia atau bukan.

"Ah, aku enggak apa-apa, Rahayu."

Matanya nampak menoleh ke arah lain. Lalu ia menatapku kembali. "Kamu tidak ke ruang seni? Bukankah ada acara presentasi dan sudah mulai sedari tadi?" tanyanya sambil membenarkan poni.

Aku sedikit dikejutkan dengan kepalanya yang mempunyai luka bekas sayatan. Kalau ia tak menyingkirkan poninya, mungkin aku tak akan tau jika ada luka sayatan panjang itu. Aneh. Nampaknya luka itu telah mengering atau bahkan yang lebih mengerikan lagi adalah, sedikit membusuk.

Aku berusaha tak menggubrisnya. Saat kuingat kata-katanya, dahi ku mulai mengerut karena bingung. Ruang seni? Presentasi? Ah, mungkin saja aku tak mendengar pengumuman kemarin sebelum pulang sekolah. Karena memang kemarin ada pengumuman yang tak terlalu tertangkap jelas oleh indra pendengaranku.

Bisikan Mereka ✔Where stories live. Discover now