Rekaman Berdarah

6K 491 52
                                    

Mataku terbuka ketika sayup-sayup alarm menggema di telinga. Tanganku sontak bergerak mencari-cari keberadaan alarm dan langsung mematikannya dengan agak kasar. Badanku mengulat seakan-akan melepas rasa pegal selama tidur.

"Sudah bangun, Dira?"

"Astaghfirullah, kau ini!" Aku geram sendiri melihat Tere yang hampir membuat jantungku lompat dari tempatnya.

Tiba-tiba saja ia sudah berada di samping tempat tidurku. Sepertinya enak menjadi hantu. Karena bisa melesat ke mana pun dia mau.

"Hehe maafkan aku, Dira. Oh iya, aku akan mengantarkan kau ke sekolah baru mu. Bersiaplah!" Ucapannya langsung membuat senyumku mengembang bak roti dalam oven.

"Benarkah, Tere? Kau tidak berbohong?" Kali ini aku merasakan rasa senang yang sangat besar. Pasalnya ia tak pernah mengantarku sekolah dari dulu. Alasannya karena takut bila ada yang dapat melihatnya selain diriku.

"Benar," sahutnya singkat.

Aku pun langsung terlonjak dari tempat tidur ternyamanku, bergegas mandi, dan mempersiapkan diri dengan beberapa pakaian sekolah yang telah disiapkan sedari malam.

"Dira, kutunggu kau di bawah, ya!" tuturnya sayup-sayup terdengar dari luar kamar mandi.

Aku hanya mengangguk. Walau kutahu, ia takkan bisa melihatnya.

👀

"Habiskan susumu dulu, Dira!" saran Mamah sembari membereskan sisa piring nasi goreng di meja makan.

Aku yang baru saja berlari dua langkah, langsung berbalik dan menghabiskan susu coklat yang tinggal setengah.  "Mah, Dira berangkat," pamitku sembari ke luar rumah dan mendapati Tere tengah mengayun-ayunkan kakinya di atas kursi panjang depan teras.

"Selesai. Oh iya, kamu tidak sarapan?" tanyaku sembari menatap ke arahnya yang tengah memandang jalanan.

Ia menoleh ke arahku sembari tersenyum kecut. "Apakah aku masih bisa memakan makanan manusia? Kalau bisa, bolehkan aku mencobanya?" Ucapannya itu langsung membuatku tersadar.

Mataku langsung terkenal dengan menutup perlahan mulut yang setengah terbuka.

"Ma–maaf–"

"Enggak apa-apa," sahut Tere sambil terkekeh dan mengelus kepalaku.

"Pakai sepatunya!"

Aku mengangguk dengan mantap dan segera melaksanakan suruhannya. Setelah selesai aku pun bangkit sembari mengatakan, "Ayo, Tere!"

"Semangat sekali kau pagi ini, Dira," ucapnya sembari berjalan melayang di sampingku.

"Tentu saja! Karena hari ini aku diantar olehmu," tuturku sembari tersenyum hangat.

"Memang apa pengaruhnya untukmu?" tanyanya penasaran.

"Kau ini sekarang menjelma menjadi hantu kepo, ya?" tuduhku dengan tawa yang sedikit lepas.

Ia ikut tertawa. "Aku ini tidak kepo! Hanya ingin tau saja, Dira," sanggahnya dengan muka yang sangat polos.

"Sama saja, Tere!" seruku tak mau mengalah.

"Beda, Dira!" elaknya seakan tak ingin kalah juga.

Kemudian kami memandangi satu sama lain. "Wahahahahaha." Gelak tawa berhasil menghiasi kebersamaan kami. Entah mengapa walaupun ada marah yang tercipta, tertawa tetaplah solusinya. Itu menurut persahabatan kami, ya.

"Dira sudah sampai," ujarnya sembari menunjuk ke arah pintu gerbang sekolah.

Aku melirik sekolah itu. Besar, luas dan mewah. Ah, sebelumnya aku tak pernah ke sini. Karena waktu pendaftaran hanya mamah lah yang datang ke sekolah.

Bisikan Mereka ✔Where stories live. Discover now