Rumah Sakit

4.3K 350 8
                                    

Setelah 4 hari mengambil cuti sekolah, kami masuk tepat di hari jum'at. Sayup-sayup kudengar gosip yang menyebar tentang Hilmi. Mereka menggosipkan bahwa Paul memelihara makhluk tak kasat mata di rumahnya hingga berhasil membahayakan Hilmi. Namun, isu tak mengenakkan itu ditepis kasar oleh Paul yang baru saja datang.

"Heh! Kalau ngomong diayak dulu lah! Lo pikir gua mbah dukun yang bisa memelihara makhluk enggak jelas? Mulut kalian semua itu ember! Diasah mulu setiap hari, sih! Jangan mentang-mentang gua nasrani, lo bisa menghakimi gua seenak jidat lo!" gertak Paul sembari mendorong salah satu laki-laki yang sedang asyik menimbrung dengan teman perempuannya.

"Apa lo? Lawan gua kalau lo cowo!" gertak Paul sembari mengangkat kerah baju lelaki itu.

Jeen namanya, lelaki berperawakan bule, dan tubuhnya tinggi kekar. Namun, gaya bicaranya seperti seorang perempuan.

"Berani lewat omongan doang lo! Dasar flamboyan! Eh, iya emang bener flamboyan, 'kan?" ujar Paul sembari menubrukkan Jeen ke tembok.

"Paul sudah!" leraiku sembari menarik badannya menjauh dari Jeen.

"Hei, gua belum puas! Mulutnya belum gua sumpal pakai kaos kaki gua, nih!" ujarnya yang sepertinya sudah tidak sabar lagi.

"Hus! Sudah!" gertakku yang langsung membuatnya diam.

Sementara Elsa dan Muhzeo yang baru saja datang hanya bisa terheran-heran melihat kejadian ini.

"Loh, kalau enggak merasa, buat apa lo marah, boy?" ujar Jeen yang memang dasarnya mulut pancingan dan berhasil menarik emosi Paul kembali.

"Berani main sama gua?" Hampir ketika tangan kekar paul memukul Jeen, Muhzeo mendorong Paul hingga dirinya terjungkal ke lantai. Elsa dengan sigap membantu Paul bangkit.

Kini, Muhzeo yang mulai tersenyum miring ke arah Jeen, berusaha mengambil alih pertengkaran yang hampir terjadi itu. "Hai, makhluk sejenis lelaki bermulut perempuan! Tidak malukah Anda mempunyai mulut seperti itu, hm? Tidak Malu dengan body kekar Anda, tetapi mulut Anda sangat amat lenjeh seperti kurang perhatian? Pejantan tidak hanya adu mulut, tapi adu nyali dan otot. Apalagi sampai mengadu ke orang tua, huh, kacau!" ujar Muhzeo sembari tersenyum meremehkan.

Jeen menatap marah ke arah Muhzeo. Ia sangat amat merasa dipermalukan. "Kenapa mukanya memerah seperti itu, manis? Blushing seperti yang dilakukan perempuan pada umumnya? Atau malu? Kok malu, sih? Dari kemarin kemana saja rasa malunya, Bu? Merasa biasa saja untuk menampakkan mulut embernya. Dasar flamboyan," ujar Muhzeo dengan kata sengitnya lagi.

Jeen semakin mengepalkan tangannya. Muhzeo tersenyum miring. "Aduh, ngepalin tangan? Mau nonjok? Ayo, deh! Sebelah mana, hm? Pipi? Perut? Wajah? Ayo di mana saja asalkan gua bisa liat sisi lelaki lo, manis!" ujar Muhzeo gemas.

Jeen masih diam tak berkutik. "Aduh ambil tisu, dong! Kasian dia terharu sama kata pernyataan yang ke luar dari mulut gua. Temen-temen gengnya mana, nih? Memang tidak ada niatan untuk membela? Kasihan ini temennya ada yang mau minta balon," ledek Muhzeo sembari tersenyum sinis.

Kurasakan aura kemuakan dalam dirinya. "Ah, cape bicara dengan patung yang biasa muncul di tempat pencucian motor. Ketika menyebarkan gosip, aduh, mulutnya nyerocos sampai kuahnya tumpah-tumpah. Eh, ketika didatangi, langsung diam." Muhzeo merangkul paul yang sudah berada di sampingnya.

"Makannya, Mbak, eh salah, Mas maksudnya. Kalau bicara mboh, ya diayak dulu. Cari tahu kebenarannya. Jangan asal menyebarkan gosip yang sama sekali enggak terjadi dan fakta lapangannya pun tidak ada," ujar Muhzeo sembari tersenyum.

"Baikan atau bagaimana, nih? Eum, atau mau adu jotos di lapangan?" tawar Muhzeo sembari terkekeh.

Jeen menghentakkan kakinya, ke luar kelas tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Muhzeo menatap anggota kumpulan geng Jeen. "Temennya enggak mau disamperin, tuh?" tanya muhzeo.

Bisikan Mereka ✔Where stories live. Discover now