Empat Tersangka.

3K 289 6
                                    

🔙

Puk ... puk ....

Suara langkahan kaki mendekat seketika.

Inikah akhir dari kisah hidupku?

Benarkah?

Aku menoleh dan ....

⬇️

"Aaa!!!"

Skrek ....

"Cepat pergilah!" Ucapannya kali ini dapat kukenali dengan baik.

Sudah pasti suara itu adalah suara Dahlia. Sejak kapan dia berada di sini?

Namun, tunggu! Mengapa bajunya hampir mirip persis dengan baju yang dipakai pembunuh Hila tadi? Bedanya pembunuh tadi menggunakan sepatu hitam. Sedangkan Dahlia menggunakan sandal gunung.

Ah, enggak beres!

"Pergi, Nadira! Kalau tidak cepat, bisa-bisa nyawamu akan terancam," jelasnya sembari memandang sekitar.

Aku mengangguk dan masih agak kalut. Dia tersenyum hampir mirip dengan senyuman smirk milik perempuan pembunuh tadi.

Aku langsung lari dengan cepat ke arah depan.

Brugh ....

"Aaa! Ku mohon jangan bunuh aku! Jangan!" teriakku seraya menutup mata ketika seseorang menubruk tubuhku hingga terpental cukup jauh.

"Hei, Nadira! Ya Ampun, akhirnya ketemu. Ini aku Elsa! Kamu kenapa? Dari tadi kamu ke mana saja?" Pertanyaan dari Elsa membuatku membuka mata perlahan.

"E-el." Badanku sudah sangat lemas. Aku hampir menubruknya saat berniat untuk memeluk.

Ku lihat yang lain nampak panik melihat keadaanku. Tangisku pecah kala mengingat kejadian mengerikan tadi. Suatu mukjizat dan keberkahan ketika Allah masih memberikan jalan kepadaku untuk tetap bertemu dengan kawanku. Alhamdulillah, aku bisa selamat walaupun ada sedikit luka di tangan.

"A-aku bertemu pembunuh Hila. D-dia hampir saja membunuhku," jelasku pada Elsa yang masih terus menangis dan berdzikir tanpa henti.

Srek ... Srek ....

Kami langsung menoleh ke sumber suara.

"Neng, mau dipotong yang sebelah mana?" Pertanyaan dari sesosok makhluk menyeramkan membuat kami nampak melotot. Lehernya terlihat hampir putus dan kapak berdarah dibawanya dengan cara diseret ke lantai.

Kami menatap satu sama lain dalam artian 'Kamu juga melihat?'

Setelah terdiam selama beberapa detik akhirnya kami pun bertekad untuk ....

"Kabur!" Teriakan Paul menjadi aba-aba bagi kami untuk langsung lari. Kami sama-sama lari ke arah gerbang depan sekolah. Tak peduli dengan para satpam yang nantinya akan memergoki dan memarahi kami sekalipun.

"Aaa!"

"Loh, loh, e-eh? Kalian kenapa bisa di sini? Masuk lewat mana, toh?" Pak Tejo hampir kelimpungan melihat keberadaan kami yang sudah basah kuyup karena keringat.

Teman-temannya yang lain juga menatap dengan terheran-heran. "Eh, tunggu! Tunggu!" Salah satu teman Pak Tejo memberhentikan kami dan menatap dengan Tatapan aneh.

"Lebih baik sebelum pulang, kalian ke masjid dulu dan bersihkan badan kalian dengan air wudhu. Kalau tidak, akan ada makhluk yang betah menempel dengan kalian." Petuahnya itu berhasil membuat kami terdiam dan saling pandang. Kami hanya mengangguk dan izin pamit untuk segera meninggalkan daerah mengerikan itu.

Bisikan Mereka ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang